Melihat Arga dipaksa berlutut membuat hati Lalita tak karuan, pria yang biasanya angkuh kini harus di bawah demi menyelamatkan dirinya. "Mas aku mohon." Air mata terus Lalita terjatuh. Pria itu tak tega melihat istrinya yang histeris melihatnya. "Aku mohon lepaskan istriku." Pinta Arga sambil mendongakkan kepala. Suara tawa kembali terdengar, kedua pria paruh baya saling tatap kemudian tersenyum licik. "Baiklah tapi kamu jangan melawan apabila mereka memukulmu!" Lalita yang tau kelicikan mereka berusaha memberi tahu Arga tapi pria itu lagi-lagi karena takut kehilangan istri dan anaknya mengiyakan keinginan penculik itu. "Baiklah." Sebuah kayu menghantam punggungnya, pria itu memejam menahan rasa sakit yang baru saja menghujamnya. "Mas...... " Lalita berteriak sekerasnya bahkan dia memaki Arga dengan sebutan bodoh.Makian Lalita tak berpengaruh, pria itu tetap berlutut. Kembali dia mendapatkan pukulan lagi, dan kali ini dia sedikit mendoyongkan tubuhnya ke depan kare
Air mata Lalita mengalir deras, dia tak bisa membayangkan apabila hidup sendiri tanpa sang suami. Kakek? Anaknya? dan dirinya sendiri harus bagaimana? setelah Arga pergi. "Mas bangun! beraninya kamu pergi seperti ini Mas!" Lalita semakin histeris. Ketiga pria tampan di belakangnya nampak saling pandang, raut wajah mereka sulit dibayangkan. Terlebih Gilang, dia menggeleng semakin tak karuan. "Bagaimana ini." Cicitnya pelan. "Mas aku janji berapapun kamu mintanya akan aku penuhi tanpa lelah aku akan jadi istri penurut Mas... Tapi tolong bangunlah!" Teriak Lalita. Wanita itu membuka kain penutup tubuh suaminya, dia menciumi wajah tampan sang suami. Saat itu dia merasakan hal yang aneh. Setaunya orang yang sudah mati tubuhnya pasti dingin tapi tubuh suaminya tidak, apa mungkin karena baru meninggal? Rangga pun datang mendekat, dia meminta Lalita untuk ikhlas. "Aku nggak rela dia pergi Pak Rangga." Tatapannya tak lepas dari sang suami. "Semua sudah takdir kamu harus iklhas
"Mas kamu so sweet sekali, tuh kan air mataku menetes." Kania menghapus air mata bahagianya. Damar tersenyum kemudian memeluk Kania dengan erat. "Semoga aku terus menjadi alasan air mata bahagiamu keluar sayang." Bisiknya penuh cinta. Usai makan, mereka kembali bekerja. Hingga jam pulang telah tiba. Sore itu Arga menghubungi Damar untuk membawanya pergi melihat Anan dan kliennya. Dia ingin melihat wajah orang yang telah membuat istrinya tersiksa waktu itu. Tak kurang dari satu jam Damar sudah tiba di rumah Arga, mereka segera berangkat agar sampai di penjara tidak kemalaman. Di rumah tahanan mereka sekarang, Damar meminta sipir untuk membawa keluar Anan. Melihat pria paruh baya itu darah Arga mendidih, ingin sekali dia membunuh pria itu dengan tangannya sendiri. "Lepaskan aku Arga." Pria itu menatap Arga dengan tatapan sinisnya. "Jangan bermimpi Anan!" Sahut Arga dengan mengepalkan tangan. Sebenarnya hukuman pak Anan dan klien satunya hanya sepuluh tahun saja tapi karena Ar
Setiap hari melihat Arga yang menyayangi istrinya membuat Lili iri, bahkan dia mulai membayangkan dirinya yang berada di posisi Lalita. Suatu hari Lalita sehabis minum obat sangat mengantuk, dia yang biasanya menunggu Arga pulang malam ini tidur terlebih dahulu. Melihat istrinya yang sudah tidur Arga tak ingin membangunkannya, dia kembali turun karena perutnya lapar. Sesampainya di ruang makan, kerutan-kerutan mulai kentara. Perasaan dia belum memerintah pelahyan untuk menyiapkan makanan tapi di meja makan sudah tersaji aneka menu makanan. Ketika hendak menarik kursi, terlihat Lili membawa semangkung sup ikan. "Eh Mas Arga, sudah pulang?" Wanita itu berbasa-basi kepada sepupunya. "Tidak usah melempar pertanyaan retoris!" Kata Arga sarkasme. Lili terdiam, dia menunduk. "Maaf Mas Arga." Cicitnnya pelan-pelan. "Sudahlah." Arga tak peduli. Pria itu melihat menu-menu di meja, dia sungguh bingung ingin makan yang mana. Namun dengan lancangnya Lili hendak meletakkan lauk d
Kania menggelengkan kepala, sungguh calon suaminya pintar sekali memainkan kata. "Memangnya kamu mau mencicil apanya dulu Mas?" tanya Kania. "Rambut, mata, telinga, tangan, kaki dan lainnya." Pria itu kembali tertawa. "Itu nggak nyicil tapi kontan." Sahut Kania bersungut. Pria itu menyabukkan tangan di pinggang calon istrinya, dia menatap wanitanya begitu dalam. "Kamu mau apa Mas?" tanya Kania dengan bibir yang memucat. Segera kedua bibir mereka bertemu, pautan tak dapat terelakkan. Keduanya begitu menikmati pautan panas mereka hingga lupa apabila mereka masih di aula. Para petugas hotel yang ingin membersihkan aula harus ternodai matanya karena ulah pasangan itu. Tau ada pelayan hotel yang ingin bersih-bersih, Damar menyudahi pautannya. "Ternyata ada yang melihat live kita." Dia berbisik di telinga sang kekasih. "Kamu sih mas, ciuman disini," sahut Kania. Akhirnya mereka pindah ke kamar yang baru saja Damar booking. "Mas kenapa kita tidak pulang saja." Kania d
Arga dan Lalita memutuskan kembali ke kamar mereka, tapi ketika akan masuk ke dalam ruangan pribadi mereka, tiba-tiba Lili datang dengan memegangi perutnya. "Arga tolong antar aku ke rumah sakit." Pintanya sambil menahan sakit. Pria itu terlihat santai menatap Lili yang kesakitan, sedangkan Lalita begitu gugup takut terjadi apa-apa dengan bayi yang berada di dalam kandungan wanita itu. "Mas antar dia ke rumah sakit." Lalita segera meminta Arga untuk mengantarnya ke rumah sakit. Namun bukannya segera menolong Lili, Arga justru berjalan menuju tangga, dari tempatnya berdiri dia berteriak memerintah pelayan untuk memanggil sopir, lalu dia kembali ke tempat istrinya dan Lili berada. "Bentar lagi sopir akan kemari, aku mau ke kantor jadi kamu diantar sopir saja." Lalu Arga masuk ke dalam kamarnya. Sementara itu, Lalita bingung harus bagaimana. Sungguh suaminya sangat tega."Sabar Lili." Lalita mengelus perut Lili. 'Kenapa jadi sopir yang mengantar aku.' batin Lili kesal. Wanita itu
"Pak kerja sama dengan Bu Indah telah terjalin, keuntungan yang mungkin akan kita dapat setelah proyek ini berjalan kira-kira mencapai puluhan milyar bahkan sampai di angka triliun." Damar memberikan laporannya. Senyuman tersungging di bibir Arga, kerja sama dengan semua klien selalu berjalan mulus bahkan keuntungan yang dia dapat tak tanggung-tanggung. Sebagai rasa terima kasih kepada kliennya, Arga memerintahkan Damar untuk memberi hadiah mewah. "Beli hadiah yang disukai wanita Damar." Ujar Arga. "Baik Pak." Damar mengangguk kemudian pamit kembali ke meja kerjanya. Di dalam ruangan rapi itu, Damar memikirkan hadiah apa yang cocok untuk wanita. Perhiasan? mobil? atau apa? lama berpikir akhirnya pilihannya jatuh pada perhiasan.Pria itu bergegas keluar kantor untuk membeli mumpung dia agak longgar. Kalung yang bertaburan berlian menjadi pilihannya, mengingat klien CEOnya adalah seorang wanita dengan usia yang cukup matang."Kalung ini pasti tidak mempermalukan Pak Arga." Meliha
"Kejutan?" Pria itu balik bertanya. "Iya Mas." Jawab Kania sambil tersenyum. Mungkin Damar lupa jadi Kania mengingatkannya tapi calon suaminya yang tidak ingin memberikan kejutan tentu menggelengkan kepala. "Tidak sayang." Raut wajah Kania berubah, 'Tidak' pikirnya. Pikiran wanita itu mulai ramai, "Apa akan diberikan besok?" Dia bermonolog dalam hati. Kania meyakinkan dirinya kembali, mungkin Damar memberikan kalung itu ketika di kantor. Kemudian wanita itu tersenyum dan mengangguk sendiri. Hari sudah larut, sudah waktunya Kania pulang tapi Damar yang masih ingin bersama Kania agaknya enggan membiarkan calon istrinya itu pulang. "Menginap disini saja ya Sayang." Pinta Damar. "Kamu ngawur Mas, nanti Mama dan Papa kalau marah gimana?" Kania menatap Damar. Namun tiba-tiba Kania kepikiran akan kalung tadi, apa mungkin Damar memintanya tetap tinggal karena besok pagi ingin memberikan kalung itu padanya? ah so sweet. Kania begitu bahagia membayangkan hal itu. "Tapi jika k
Tak selang lama, Arga datang dengan membawa makanan yang dia beli, melihat Rangga dan Lalita mengobrol membuat cemburu pria itu datang. "Rangga kamu ngapain kesini?" tanya Arga dengan raut wajah marah. "Menjenguk Lalita dan anak kamu." Jawab Rangga santai. Meskipun Rangga tahu jika Arga kesal tapi pria itu tak menggubris sahabatnya, lagipula Lalita masih sakit mana mungkin dia macam-macam. Arga segera mengambil kursi dan duduk di sisi sebelahnya. "Sayang makan dulu." "Aku sudah kenyang Mas tadi Mas Rangga bawakan makanan." Sahut Lalita dengan tersenyum. "Buat nanti aja ya Mas." Sambungnya. Tangan Arga mengepal, hatinya kesal mendengar panggilan Lalita kepada Rangga. "Sejak kapan kamu memanggil nya Mas?" tanya pria itu. "Sejak tadi Mas." Cicit Lalita takut-takut. Rangga yang melihat Lalita ketakutan turut berkomentar. "Arga sudahlah jangan marah, lagipula kan hanya panggilan saja." Pria hangat itu mencoba menenangkan sahabatnya yang dingin itu. "Iya Mas, kan benar a
Lili sangat ketakutan, sebelum keluarga Winata melaporkannya ke pihak berwajib wanita itu ingin mencari cara agar bisa pergi dari rumah mewah itu. Meski perutnya masih belum sepenuhnya sembuh, Lili sudah mengendap-ngendap berusah keluar dari rumah. Usahanya berhasil, dia kini telah keluar dari rumah Arga. Wanita itu berjalan di heningnya malam, ingin sekali berhenti dan istirahat namun dia takut jika orang-orang keluarga Winata menemukannya. Karena kelelahan hampir saja dia tertabrak oleh mobil. Segera pengemudi itu keluar. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Pria itu nampak menatap Lili, melihat tubuh serta wajah Lili yang lumayan membuat pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sahut Lili. "Kamu mau kemana malam-malam begini?" Pria itu kembali bertanya. Lili menggeleng, dia sendiri tidak tau mau kemana. "Bagaimana jika kamu ikut denganku." Pria itu menawarkan jasa kepada Lili. Dengan segera Lili mengiyakan tawaran pria itu. Di dalam mobil, Lili menceritakan kesiala
Damar dan Kania begitu menikmati bulan madu mereka, meski belum bisa unboxing tapi Damar sudah sangat bahagia. "Aku beruntung karena Tuhan telah menciptakan bidadari cantik untukku." Gombalan Damar membuat Kania melambung. Pipi wanita itu juga memerah. "Ih kamu tuh bisa aja Mas." Tangan Kania mencubit kecil perut Damar. "Aduh kok ducubit sih Sayang." Damar pura-pura kesakitan. Kania memeluk suaminya tersebut. Begitulah Damar ketimbang Arga, Damar jauh lebih dewasa. Pria itu selalu memiliki cara untuk membuat Kania ke awan. Selama di Korea, Damar dan Kania tidak banyak keluar mengingat di negara tersebut tengah turun salju. Banyak alat transportasi yang berhenti operasi karena sering terjadi badai. Namun Damar dan Kania cukup senang terlebih Damar karena bisa setiap hari bersama sang Papa. ###### Di rumah sakit, Lili bersiap untuk pulang. Keadaannya sudah cukup baik, luka operasi juga tidak ada masalah jadi pihak rumah sakit sudah mengijinkannya pulang. Wanita itu memiki
Lalita sangat shock mendengar bayi Lili meninggal, dia memeluk Arga dengan erat bahkan wanita itu menangis. Arga pun menenangkan istrinya, "Sudah jangan menangis ini semua sudah takdir Lili dan bayinya." Tak berselang lama suster membawa Lili keluar, wanita jahat itu terlihat sedih. "Lili." Lalita menatap Lili. Tapi Lili justru membuang mukanya, terlihat sekali kebencian di wajah wanita itu. "Mohon maaf, pasien dirawat di ruang kelas berapa?" Tanya suster. "Ruang VVIP." Seketika Lalita menyahut. Suster mengangguk lalu meminta suster lainnya untuk segera menyiapkan ruang VVIP. Arga dan Lalita ikut ke ruang VVIP rencananya Lalita akan menemani Lili. Disaat seperti Lili pasti memerlukan seorang teman, pikirnya. "Lili kamu yang sabar." Dengan lembut Lalita memberikan supportnya kepada Lili. Namun bukannya berterima kasih Lili justru berteriak dan meminta Lalita pergi. "Tidak udah sok baik, aku tahu kamu lah yang membunuh anakku!" Wanita itu histeris. Arga segera meme
Dua hari setelah menikah, Damar dan Kania terbang ke negara gingseng. Selain bulan madu Damar juga ingin mengunjungi sang papa. Kerinduan yang masih belum terpuaskan memutuskan dia dan Kania memilih negara gingseng menjadi tujuan bulan madu mereka. "Sayang kita hanya dapat cuti sepuluh hari jadi bulan madu kita hanya seminggu saja." Ujar David saat dia dan Kania mengemas barang. "Iya Mas, " sahut Kania. "Tapi ngomong-ngomong, gimana banjirnya? apa sudah surut?" Pria itu berharap jika istrinya sudah bisa diunboxing ketika di negara gingseng nanti. "Belum surut Mas." Jawab Kania sambil tertawa. Seketika Damar melemas, dia sudah tidak sabar merasakan nikmatnya malam pertama. "Ya sudah." Hanya dua kata pasrah yang mampu Damar ucapkan. ##### Menjelang siang, Lalita sudah berkutat di dapur untuk membuat bubur. Bubur ini rencananya akan diberikan ke Kakek karena pria tua itu sedang tidak enak badan. Lili yang baru turun nampak heran melihat Lalita menyajikan bubur.
Di sebuah kamar hotel yang mewah, pasangan pengantin baru tidur dengan saling peluk.Kelelahan karena pesta semalam membuat keduanya masih memejamkan mata meski matahari sudah merangkak naik.Suara dering ponsel membangunkan Damar dan Kania yang masih ingin lebih lama di alam mimpinya."Siapa sih Mas, subuh-subuh telpon." Gerutu Kania tanpa mau melepaskan pelukannya."Entah Sayang." Damar bangun lalu mengambil kacamatanya. Segera dia menerima panggilan telpon yang ternyata dari sang papa. Papanya bilang jika kini sudah berada di Bandara, dia harus segera kembali ke negaranya karena banyak pekerjaan. Semenjak Mama serta adik Damar meninggal dalam tragedi sebuah kecelakaan, Papa Damar memutuskan tinggal diluar negeri. Selain ada tawaran kerja yang lebih menjanjikan alasan Papa Damar tinggal diluar negeri untuk melupakan almarhumah istrinya.Usai menerima telpon, Damar mengambil minum. Ada rasa bersalah karena tidak mengantar papanya ke Bandara."Ada apa Mas?" tanya Kania. "Papa suda
Sebelum acara selesai Arga pamit pulang karena Lalita sudah terlihat kelelahan. Sebenarnya Damar dan Kania masih menginginkan Arga untuk mengikuti acara sampai selesai. "Aku juga ingin tapi Lalita sudah kelelahan." Ujar Arga. Damar tak bisa melarang Arga karena memang perut Lalita sudah besar jadi wajar jika gampang lelah. "Baik Pak. Terima kasih atas hadiahnya." Pria itu merangkul tubuh atasannya. Begitu pula dengan Kania. "Hati-hati Lalita." Kania nampak mengkhawatirkan Lalita. Kini mereka berada di mobil, Lili nampak memberengut karena dia masih ingin di pesta Damar. Sesampainya di rumah, Arga menggendong Lalita karena istrinya mengeluh punggungnya kencang. Lili yang melihat itu tampak mengepalkan tangan, dia menggerutu menganggap jika Lalita terlalu manja. Kakek yang kebetulan keluar kamar mendengar gerutuan Lili. "Ada apa Lili? kenapa kamu menggerutu membicarakan Lalita." Tanya pria tua itu. Wanita jahat itu tersenyum licik, dia bisa menghasut kakek untu
"Baiklah Kek." Arga dan Lalita menyahut barengan. Sementara itu Lili tersenyum puas karena berhasil ikut. "Ya sudah kalau Arga dan Lalita ingin aku ikut." Ujarnya lalu dia pamit ganti pakaian. Raut muka Arga dan Lalita benar-benar berubah, sedangkan Kakek menasehati mereka agar bisa menerima Lili. "Ingat pesan Kakek ya Arga, Lalita." Lalu beliau juga pamit turun ke bawah lagi. "Kakek ada-ada saja." gerutu Arga kesal. "Ya sudah lah Mas," Lalita berusaha menghibur suaminya. Tak selang lama, Lili keluar, Arga dan Lalita bangkit lalu mereka turun ke bawah. Di mobil Arga dan Lalita duduk di bangku depan sedangkan Lili diminta duduk di bangku belakang. "Arga Lalita, aku tidak bisa duduk di belakang." Wanita itu berucap pelan. Arga yang sadari tadi kesal kini semakin kesal setelah mendengar ucapan Lili. "Apa kamu mau menyetir?" tanyanya menahan amarah. "Bukan begitu Arga, bisakah aku duduk di depan dan Lalita duduk di belakang?" Permintaan Lili membuat Arga menge
Siang itu Lalita keluar kamar untuk bersantai sejenak di taman, kepura-puraannya cukup melelahkan serta membosankan sehingga membuat wanita hamil itu sangat pusing. Baru saja dia memetik bunga mawar, terlihat Lili berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin wanita jahat ini lakukan." Gumam Lalita. Raut wajahnya seketika berubah, tapi buru-buru Lalita mengubahnya kembali ke settingan senang. "Eh Lili," Dengan tersenyum dia menyapa Lili. "Hai Lalita." Balas Lili. "Kamu tampak bugar sekali." Lili berbasa-basi dengan berucap demikian. Lalita menatap Lili, 'Jelas bugar, baru saja disiram.' Batinnya yang masih menunjukkan sederet gigi putihnya. Lili turut memetik bunga mawar, dia ingin meniru apa yang Lalita lakukan. Saat bersamaan, Lalita menerima panggilan telpon dari Arga. Pria itu meminta Lalita untuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Damar dan Kania. "Astaga Mas, bisa-bisanya aku lupa kalau mereka akan menikah." Wanita itu baru ingat. "Nanti aku pikirkan ha