"Iblis!" Meski pipinya sakit karena tamparan pria paruh baya itu, Lalita tak berhenti mengolok untuk meluapkan amarahnya. Merasa kesal dengan olokan Lalita kedua pria itu keluar. "Wanita sialan!" Umpat salah satu dari mereka. Tapi sejurus kemudian mereka justru tertawa, "Sudahlah hidupnya tinggal hari ini saja." Sementara mereka tertawa senang, Arga di rumahnya nampak frustasi, Kakek juga sangat sedih. Seluruh anak buahnya sudah dikerahkan tapi hasilnya nihil. "Siapa sebenarnya penculik itu, kenapa semua tidak bisa menemukan keberadaan Lalita." Ujar pria tua itu. Arga menggeleng, dia juga tidak tahu. Damar yang biasanya begitu sangat diandalkan kali ini juga tak berkutik, semua jejak digital hampir tak ditemukan. Rangga dan Gilang pun sama, mereka juga tak bisa menemukan informasi apapun. "Penculik Lalita kelihatannya adalah seorang ninja." Celetuk Gilang yang membuat Rangga menatapnya tajam. Damar turut menyahut, "Mereka kelihatannya sudah merencanakan jauh-jauh hari
Melihat Arga dipaksa berlutut membuat hati Lalita tak karuan, pria yang biasanya angkuh kini harus di bawah demi menyelamatkan dirinya. "Mas aku mohon." Air mata terus Lalita terjatuh. Pria itu tak tega melihat istrinya yang histeris melihatnya. "Aku mohon lepaskan istriku." Pinta Arga sambil mendongakkan kepala. Suara tawa kembali terdengar, kedua pria paruh baya saling tatap kemudian tersenyum licik. "Baiklah tapi kamu jangan melawan apabila mereka memukulmu!" Lalita yang tau kelicikan mereka berusaha memberi tahu Arga tapi pria itu lagi-lagi karena takut kehilangan istri dan anaknya mengiyakan keinginan penculik itu. "Baiklah." Sebuah kayu menghantam punggungnya, pria itu memejam menahan rasa sakit yang baru saja menghujamnya. "Mas...... " Lalita berteriak sekerasnya bahkan dia memaki Arga dengan sebutan bodoh.Makian Lalita tak berpengaruh, pria itu tetap berlutut. Kembali dia mendapatkan pukulan lagi, dan kali ini dia sedikit mendoyongkan tubuhnya ke depan kare
Air mata Lalita mengalir deras, dia tak bisa membayangkan apabila hidup sendiri tanpa sang suami. Kakek? Anaknya? dan dirinya sendiri harus bagaimana? setelah Arga pergi. "Mas bangun! beraninya kamu pergi seperti ini Mas!" Lalita semakin histeris. Ketiga pria tampan di belakangnya nampak saling pandang, raut wajah mereka sulit dibayangkan. Terlebih Gilang, dia menggeleng semakin tak karuan. "Bagaimana ini." Cicitnya pelan. "Mas aku janji berapapun kamu mintanya akan aku penuhi tanpa lelah aku akan jadi istri penurut Mas... Tapi tolong bangunlah!" Teriak Lalita. Wanita itu membuka kain penutup tubuh suaminya, dia menciumi wajah tampan sang suami. Saat itu dia merasakan hal yang aneh. Setaunya orang yang sudah mati tubuhnya pasti dingin tapi tubuh suaminya tidak, apa mungkin karena baru meninggal? Rangga pun datang mendekat, dia meminta Lalita untuk ikhlas. "Aku nggak rela dia pergi Pak Rangga." Tatapannya tak lepas dari sang suami. "Semua sudah takdir kamu harus iklhas
"Mas kamu so sweet sekali, tuh kan air mataku menetes." Kania menghapus air mata bahagianya. Damar tersenyum kemudian memeluk Kania dengan erat. "Semoga aku terus menjadi alasan air mata bahagiamu keluar sayang." Bisiknya penuh cinta. Usai makan, mereka kembali bekerja. Hingga jam pulang telah tiba. Sore itu Arga menghubungi Damar untuk membawanya pergi melihat Anan dan kliennya. Dia ingin melihat wajah orang yang telah membuat istrinya tersiksa waktu itu. Tak kurang dari satu jam Damar sudah tiba di rumah Arga, mereka segera berangkat agar sampai di penjara tidak kemalaman. Di rumah tahanan mereka sekarang, Damar meminta sipir untuk membawa keluar Anan. Melihat pria paruh baya itu darah Arga mendidih, ingin sekali dia membunuh pria itu dengan tangannya sendiri. "Lepaskan aku Arga." Pria itu menatap Arga dengan tatapan sinisnya. "Jangan bermimpi Anan!" Sahut Arga dengan mengepalkan tangan. Sebenarnya hukuman pak Anan dan klien satunya hanya sepuluh tahun saja tapi karena Ar
Setiap hari melihat Arga yang menyayangi istrinya membuat Lili iri, bahkan dia mulai membayangkan dirinya yang berada di posisi Lalita. Suatu hari Lalita sehabis minum obat sangat mengantuk, dia yang biasanya menunggu Arga pulang malam ini tidur terlebih dahulu. Melihat istrinya yang sudah tidur Arga tak ingin membangunkannya, dia kembali turun karena perutnya lapar. Sesampainya di ruang makan, kerutan-kerutan mulai kentara. Perasaan dia belum memerintah pelahyan untuk menyiapkan makanan tapi di meja makan sudah tersaji aneka menu makanan. Ketika hendak menarik kursi, terlihat Lili membawa semangkung sup ikan. "Eh Mas Arga, sudah pulang?" Wanita itu berbasa-basi kepada sepupunya. "Tidak usah melempar pertanyaan retoris!" Kata Arga sarkasme. Lili terdiam, dia menunduk. "Maaf Mas Arga." Cicitnnya pelan-pelan. "Sudahlah." Arga tak peduli. Pria itu melihat menu-menu di meja, dia sungguh bingung ingin makan yang mana. Namun dengan lancangnya Lili hendak meletakkan lauk d
Kania menggelengkan kepala, sungguh calon suaminya pintar sekali memainkan kata. "Memangnya kamu mau mencicil apanya dulu Mas?" tanya Kania. "Rambut, mata, telinga, tangan, kaki dan lainnya." Pria itu kembali tertawa. "Itu nggak nyicil tapi kontan." Sahut Kania bersungut. Pria itu menyabukkan tangan di pinggang calon istrinya, dia menatap wanitanya begitu dalam. "Kamu mau apa Mas?" tanya Kania dengan bibir yang memucat. Segera kedua bibir mereka bertemu, pautan tak dapat terelakkan. Keduanya begitu menikmati pautan panas mereka hingga lupa apabila mereka masih di aula. Para petugas hotel yang ingin membersihkan aula harus ternodai matanya karena ulah pasangan itu. Tau ada pelayan hotel yang ingin bersih-bersih, Damar menyudahi pautannya. "Ternyata ada yang melihat live kita." Dia berbisik di telinga sang kekasih. "Kamu sih mas, ciuman disini," sahut Kania. Akhirnya mereka pindah ke kamar yang baru saja Damar booking. "Mas kenapa kita tidak pulang saja." Kania d
Arga dan Lalita memutuskan kembali ke kamar mereka, tapi ketika akan masuk ke dalam ruangan pribadi mereka, tiba-tiba Lili datang dengan memegangi perutnya. "Arga tolong antar aku ke rumah sakit." Pintanya sambil menahan sakit. Pria itu terlihat santai menatap Lili yang kesakitan, sedangkan Lalita begitu gugup takut terjadi apa-apa dengan bayi yang berada di dalam kandungan wanita itu. "Mas antar dia ke rumah sakit." Lalita segera meminta Arga untuk mengantarnya ke rumah sakit. Namun bukannya segera menolong Lili, Arga justru berjalan menuju tangga, dari tempatnya berdiri dia berteriak memerintah pelayan untuk memanggil sopir, lalu dia kembali ke tempat istrinya dan Lili berada. "Bentar lagi sopir akan kemari, aku mau ke kantor jadi kamu diantar sopir saja." Lalu Arga masuk ke dalam kamarnya. Sementara itu, Lalita bingung harus bagaimana. Sungguh suaminya sangat tega."Sabar Lili." Lalita mengelus perut Lili. 'Kenapa jadi sopir yang mengantar aku.' batin Lili kesal. Wanita itu
"Pak kerja sama dengan Bu Indah telah terjalin, keuntungan yang mungkin akan kita dapat setelah proyek ini berjalan kira-kira mencapai puluhan milyar bahkan sampai di angka triliun." Damar memberikan laporannya. Senyuman tersungging di bibir Arga, kerja sama dengan semua klien selalu berjalan mulus bahkan keuntungan yang dia dapat tak tanggung-tanggung. Sebagai rasa terima kasih kepada kliennya, Arga memerintahkan Damar untuk memberi hadiah mewah. "Beli hadiah yang disukai wanita Damar." Ujar Arga. "Baik Pak." Damar mengangguk kemudian pamit kembali ke meja kerjanya. Di dalam ruangan rapi itu, Damar memikirkan hadiah apa yang cocok untuk wanita. Perhiasan? mobil? atau apa? lama berpikir akhirnya pilihannya jatuh pada perhiasan.Pria itu bergegas keluar kantor untuk membeli mumpung dia agak longgar. Kalung yang bertaburan berlian menjadi pilihannya, mengingat klien CEOnya adalah seorang wanita dengan usia yang cukup matang."Kalung ini pasti tidak mempermalukan Pak Arga." Meliha
"Baiklah Kek." Arga dan Lalita menyahut barengan. Sementara itu Lili tersenyum puas karena berhasil ikut. "Ya sudah kalau Arga dan Lalita ingin aku ikut." Ujarnya lalu dia pamit ganti pakaian. Raut muka Arga dan Lalita benar-benar berubah, sedangkan Kakek menasehati mereka agar bisa menerima Lili. "Ingat pesan Kakek ya Arga, Lalita." Lalu beliau juga pamit turun ke bawah lagi. "Kakek ada-ada saja." gerutu Arga kesal. "Ya sudah lah Mas," Lalita berusaha menghibur suaminya. Tak selang lama, Lili keluar, Arga dan Lalita bangkit lalu mereka turun ke bawah. Di mobil Arga dan Lalita duduk di bangku depan sedangkan Lili diminta duduk di bangku belakang. "Arga Lalita, aku tidak bisa duduk di belakang." Wanita itu berucap pelan. Arga yang sadari tadi kesal kini semakin kesal setelah mendengar ucapan Lili. "Apa kamu mau menyetir?" tanyanya menahan amarah. "Bukan begitu Arga, bisakah aku duduk di depan dan Lalita duduk di belakang?" Permintaan Lili membuat Arga menge
Siang itu Lalita keluar kamar untuk bersantai sejenak di taman, kepura-puraannya cukup melelahkan serta membosankan sehingga siang itu dia ingin bersantai sejenak. Baru saja dia memetik bunga mawar, terlihat Lili berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin wanita jahat ini lakukan." Gumam Lalita. Raut wajahnya seketika berubah, tapi buru-buru Lalita mengubahnya kembali ke settingan senang. "Eh Lili," Dengan tersenyum dia menyapa Lili. "Hai Lalita." Balas Lili. "Kamu tampak bugar sekali." Lili berbasa-basi dengan berucap demikian. Lalita menatap Lili, 'Jelas bugar, baru saja disiram.' Batinnya yang masih menunjukkan sederet gigi putihnya. Lili turut memetik bunga mawar, dia ingin meniru apa yang Lalita lakukan. Saat bersamaan, Lalita menerima panggilan telpon dari Arga. Pria itu meminta Lalita untuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Damar dan Kania. "Astaga Mas, bisa-bisanya aku lupa kalau mereka akan menikah." Wanita itu baru ingat. "Nanti aku pikirkan hadiahnya
Di dalam kamarnya Lili menangis, setelah kelelahan harus jalan dari depan Kompleks ke rumah, kini Arga kembali mempermainkannya dengan drama kopi. "Apa kurangnya aku Arga! Kenapa kamu tidak menghargai apa yang telah aku lakukan untukmu!" Wanita itu berteriak sambil membuang bantalnya.Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan tapi ambisinya lah yang salah. Hanya demi hasrat terlarang, dia tega mencelakai sepupunya. Seandainya Lili sadar akan keadaannya serta tahu diri jika dia hanya menumpang mungkin mereka bisa berteman baik dan menjadi keluarga yang baik pula. Keesokan harinya wanita itu terlihat tak bersemangat, selain kurang tidur Lili juga kelelahan sehingga membuat tubuhnya lemah Ketika Lili keluar kamar dia sudah melihat Arga duduk di sofa sambil meminum kopi. Dia mengira itu adalah kopi buatannya semalam tapi yang tanpa Lili tahu kopi itu baru saja dibuat oleh Lalita. "Pagi Arga," sapa Lili dengan senyum mengembangnya."Kemarin aku masuk kamar, niatku menunggumu di
Malam semakin larut Arga dan wanita memutuskan untuk pulang.Sesampainya di rumah, Lalita meminta Arga masuk terlebih dahulu memastikan keberadaan Lili. "Ah merepotkan sekali!" Gerutu pria itu. Sebenarnya Arga sudah muak kucing-kucingan seperti ini tapi dia tidak memiliki pilihan lain selain melakoni aktingnya sebelum kebusukan Lili terbongkar. "Ayolah Mas." Lalita memelas. "Baik Sayang," lalu keluar dari mobil. Pria itu berjalan menuju kamarnya, untung saja Lalita memintanya masuk terlebih dahulu jika tidak pasti akan kepergok Lili yang kini duduk di sofa."Apa yang kamu lakukan?" tanya Arga menatap Lili dengan tajam."Perut aku sakit Arga karena tadi aku berjalan dari depan Kompleks sampai ke rumah," Dia memasang raut wajah sesedih mungkin untuk menarik simpati Arga. Dari awal Arga yang sudah memperkirakan semuanya hanya bisa terdiam sambil menahan tawa dalam hati. 'Wanita bodoh' batinnya dengan menatap Lili. "Kenapa kamu tidak menghubungi sopir untuk menjemput?" Seolah tak t
Pulang dari kerja Arga langsung masuk ke dalam kamar tapi sesaat kemudian dia keluar dengan marah-marah."Terus saja tidur, nggak usah mempedulikan aku!" Suara keras Arga membuat Lili yang duduk tak jauh dari tempatnya segera bangkit dan mendekat. Kemarahan Arga menjadi kesempatan Lili untuk mendekati sepupunya itu."Ada apa Arga? kenapa marah-marah." Suaranya dibuat selembut mungkin agar Arga terpesona. "Aku heran sama Lalita! kerjaannya tidur terus, apa dia tidak memikirkan aku yang baru pulang!" jawab Arga yang masih menunjukkan raut marahnya. Lili menyunggingkan senyuman licik dia berhasil membuat Arga memiliki asumsi buruk kepada Lalita."Entahlah Arga aku terkadang juga heran bahkan aku sudah menasehatinya untuk tidak tidur di saat kamu pulang. Tapi kelihatannya istri kamu suka sekali dengan tidur." Lili terlihat memprovokasi, menjelekkan Lalita di depan Arga. "Aku juga hamil tapi tidak seperti Lalita yang malas." Ucapnya kemudian."Iya dia sangat pemalas bahkan tidak peduli
Lili dan Arga turun bersama, dan sesampainya di ruang makan Arga nampak mengerutkan alis ketika melihat hidangan yang tersaji di meja makan."Makanan apa yang kamu masak untuk aku?" Raut wajah Arga terlihat tak suka melihat makanan yang Lili masak."Sup ayam dan telur." Wanita itu nampak was-was melihat raut wajah Arga."Aku sedang tidak ingin makan sup buatkan makanan lainnya," ujarnya kemudian yang membuat Lili melongo menatapnya.Hari sudah malam tapi Arga malah memintanya untuk memasak kembali."Tapi Arga, sup ini baru saja aku masak. Sangat enak kok." dia membujuk Arga agar mau memakan sup buatannya.Tapi Arga tetap bersikeras dia tidak ingin makan sup malam ini. "Lalu kamu mau makan apa?" tanya Lili."Buatkan aku nasi goreng seafood, acar mentimun sama wortel dan telur setengah matang." Meskipun permintaannya sudah banyak tapi pria itu masih berpikir seolah ada yang ingin dia tambahkan lagi. "Oh ya jangan lupa sosis dan kerupuknya." Cicitnya kemudian.Lili kembali menatapnya,
Sesampainya di rumah Arga mengambil sampel minuman sisa di gelas Lalita. Pria itu segera memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa kandungan apa yang ada di dalam minuman itu. "Besok akan saya kirim hasilnya Pak." Kata Dokter. "Aku hanya memberi kamu waktu satu jam." Agaknya pria itu tidak mau menunggu lebih lama lagi. "Tapi Pak...." Kilatan tatapan menyeramkan segera Dokter dapat sehingga pria paruh baya itu tak memiliki pilihan lain selain mengikuti kemauan pasiennya itu. "Baik Pak, dalam waktu satu jam hasilnya akan saya kirim." Lalu Dokter itu pamit. Arga menunggu hasil pemeriksaan dengan cemas, dia takut apabila ada zat berbahaya yang dikonsumsi sang istri. Sudah lebih dari satu jam namun laporan masih belum dia terima sehingga pria itu menghubungi dokter pribadinya kembali. "Cept kirim hasilnya!" Teriak Arga dalam sambungan telponnya. "Maafkan saya Pak, ada sedikit kendala. Sepuluh menit lagi akan saya kirim." Sahut Dokter itu. Merasa kesal, Arga meletakkan pon
Wajah memberengut Kania perlahan memudar bahkan kini senyuman tersungging di bibirnya, "Benarkah Mas?" Dia bertanya sambil menatap Damar.Pria itu mengangguk dengan tersenyum pula dia lega karena calon istrinya sudah tidak cemberut lagi iya. "Iya Sayang." Tangan Damar mengelus pucuk kepala kania.Wanita itu pun memeluk calon suaminya sembari berkata. "Maafkan aku Mas yang telah salah paham.""Iya Sayang tidak apa-apa." kemudian dia mengeratkan pelukan mereka."Lain kali tanya dulu jangan langsung mengambil keputusan sendiri seperti ini." Ujar Damar kemudian."Iya Mas Maafkan Aku." Kata Maaf kembali terucap.Hari ini Damar mendapatkan bonus dari Arga, bonus yang cukup besar sehingga bisa memberikan kalung Kania.Rencananya dia akan membeli kalung itu ketika mereka menikah nanti Namun karena ada masalah seperti ini akhirnya Damar pun memutuskan untuk membeli kalung itu hari ini.Di sisi lain Lalita dan Lili telah mengobrol bersama di ruang keluarga. Lili terus menatap Lalita yang asik m
Di ruangan CEO Damar turut menyambut kedatangan Bu Indah. Dia dan Arga sama sekali tidak menyangka kalau Bu Indah datang sendiri untuk berterima kasih bahkan dengan penuh terima kasih memakai kalung pemberiannya kemarin."Saya sangat berterima kasih Pak Arga atas hadiah yang sangat mewah ini." CEO wanita itu bergantian menatap Arga dan juga Damar secara bergantian."Jangan sungkan Bu Indah Itu hadiah yang tidak seberapa." Sahut Arga.Keduanya mengobrol dan saling berterima kasih sambil membahas planning kerjasama mereka kedepannya.Tak terasa waktu cepat berlalu sudah waktunya bagi Bu Indah untuk pamit.Selepas kepergian wanita nomor satu itu Damar juga pamit kembali ke ruangannya.Ketika jam makan siang datang Damar datang ke ruangan calon istrinya, pria itu ingin mengajak Kani untuk makan siang. "Ajak saja wanita kamu jangan mengajakku!" Kania merespon ajakan Damar dengan ketus. Kerutan-kerutan di dahi Damar mulai terlihat. Ada apa? dia merasa heran dengan ucapan sang wanita yang a