"Aku bukan pria brengsek yang suka mempermainkan wanita Kania!" Suara dingin Damar mencuat. Tatapan Damar yang kian menajam membuat wanita itu sedikit ketakutan. "Jika tidak kenapa tidak mau menemui Papa." Tanpa berani memandang mata sang kekasih Kania mengutarakan protesnya. Damar hanya bisa menghela nafas, bukan tidak mau hanya saja dia harus mempersiapkan segalanya dahulu, dia yakin apabila Papa Kania meminta dirinya untuk segera melamar. "Bukannya tidak mau Sayang, tapi tunggulah sebentar." Damar berusaha membujuk Kania. "Hanya bertemu saja apa sih susahnya!" Manager itu memberengut membuat Damar semakin frustasi akan sikapnya. "Baiklah nanti aku akan datang ke rumah." Akhirnya Damar setuju datang ke rumah Kania, meski dia tak tau jawaban apa yang akan diberikan kepada kedua orang tua Kania. Wajah memberengut perlahan berubah, terlihat Kania begitu bahagia sehingga tanpa sadar dia memeluk Damar dengan erat. "Makasih Damar, kamu memang terbaik." "Sama-s
Mobil Damar telah terparkir rapi di depan rumah Kania tapi pria itu masih di dalamnya. Dia memikirkan apa yang harus dikatakan kepada kedua orang tua kekasihnya. Di kantor mungkin dirinya terbiasa bicara atau bahkan memerintah Pak Hutama tapi kali ini momentnya sungguh berbeda. "Ayo Damar." Dia menyemangati dirinya sendiri dan meyakinkan semua akan baik-baik saja. Sejurus kemudian Damar keluar dari mobil, dia berjalan menuju pintu rumah mewah itu. Di depan pintu dia memberi salam kepada salah satu pelayan yang terlihat ingin keluar rumah. "Anda tamu Nona Kania ya." Pelayan perempuan itu tersenyum. Kelihatannya kehadiran Damar sudah ditunggu hingga pelayan pun tahu. Anggukan kecil Damar membuat pelayan itu mempersilahkannya masuk. Menunggu beberapa saat, kini Kania dan kedua orang tuanya keluar. Damar yang awalnya duduk kini berdiri menjabat calon mertuanya. "Selamat malam Ibu dan Pak Hutama." Sapanya. Terlihat pria itu sedikit gugup dengan tatapan kedua orang tua Kania. K
"Sayang boleh aku bertanya sesuatu?" Di dalam mobilnya Damar bertanya pada sang kekasih. Kania yang fokus melihat jalanan ibukota pun menoleh, "Apa Mas?" Balik dia bertanya. "Kenapa kalian kaum hawa suka sekali dengan kata terserah, kenapa nggak ngomong langsung mau ini, ingin kesini, mau kesana atau apalah." Pertanyaan Damar mengundang tawa wanita itu, giginya yang putih terlihat bahkan suara tawa mulai terdengar. "Biar kalian kaum Adam peka dengan kita," sahut Kania enteng. "Peka yang bagaimana? kamu para pria bukan cenayang yang bisa tahu keinginan kalian." Damar merasa heran dengan jawaban Kania, padahal kamu pria itu mahkluk yang tidak mau ribet, wanitanya bilang ini pasti segera diturui tanpa drama. "Maka dari itu pria terus belajar jadi cenayang Mas biar bisa langsung tau apa yang kami inginkan." Penjelasan Kania benar-benar membuat Damar tak tahu harus berkata apa, ternyata wanita bukanlah mahkluk sederhana, mereka jauh menyeramkan dan ancaman para kaum Adam
Hari libur telah tiba, Damar meminta ijin kepada Arga agar memberinya kebebasan untuk hari ini karena rencananya dia ingin mengajak Kania ke sebuah tempat yang indah. "Padahal aku ingin kamu mewakili aku bertemu seseorang." Arga nampak tidak rela apabila Damar berkencan daripada mengerjakan pekerjaannya. Lalita yang datang membawa minuman nampak memarahi suaminya. "Mas ini hari libur loh, kenapa sih masih saja menyuruh Pak Damar bekerja?" Sambil meletakan minuman di atas meja. Arga melirik istrinya dengan kesal, "Pembela Damar datang." Cicitnya pelan. Wanita itu turut bergabung, "Bukannya membela cuma kamu ini diktator sekali. Pak Damar punya kekasih yang juga butuh waktunya bukan hanya kamu." Kalimat pembelaan kembali keluar. Damar tersenyum, jika tidak ada Lalita entah bagaimana nasibnya. Mumpung masih ada pembelanya, Damar segera pamit dengan alasan Kania sudah menunggu. Arga hanya bisa menatap punggung Damar dengan kesal andai tidak ada istrinya dia tidak akan mengijinkan
"Kenapa Mas?" Suara Kania terdengar begitu berat. "Tidak apa-apa Sayang." Pria itu terlihat frustasi akan hasrat yang sudah di ubun-ubun. Suasana hening kembali, hanya suara air dan cicitan burung yang terdengar. Tanpa sengaja mata Kania melihat sesuatu yang aneh di antara paha kekasihnya. "Mas kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Kania membuat Damar menatapnya lekat, dari tatapan itu sudah dapat dipastikan apabila dirinya tidak baik-baik saja. Dia menahan gejolak dalam dadanya, menepis bisikan-bisikan iblis yang terus memintanya untuk memakan wanita yang kini ada di hadapannya. "Aku baik sayang." Pernyataan yang sangat kontras, suara yang berat dengan nafas yang sedikit memburu, siapapun pasti tahu kalau dirinya kini melawan nafsunya. "Apa kamu ingin melakukannya Mas?" Kania memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Gelengan kecil Damar tunjukkan, dia tidak ingin melakukan sesuatu diluar aturan. "Tidak sayang." Setelah berucap demikian, Damar mengajak Kania ke d
"Ish pelit sekali." Wanita itu tertawa melihat mode jaim kekasihnya. Sementara itu Damar hanya tersenyum kemudian dia mengajak Kania masuk. Kini mereka berada di ruangan masing-masing, mengerjakan pekerjaan yang sudah menunggu. Saat tengah bekerja tiba-tiba dia mendapatkan pesan dari Gilang, asisten Siputra Grup. "Astaga bagaimana aku bisa lupa." Matanya agak melebar sembari menatap layar ponselnya. Lalu, buru-buru dia pergi ke ruangan sang CEO untuk melapor. "Pak, pengerjaan proyek diluar kota sudah rampung, lusa kita harus datang kesana untuk meresmikan bersama Siputra Group." Asisten itu berdiri di hadapan sang CEO. Arga melemparkan tatapannya, bagaimana bisa laporannya mendadak seperti ini. "Mendadak sekali? apa sebelumnya tidak ada laporan?" "Pihak Siputra Group memberi tahu sudah seminggu yang lalu hanya saja saya lupa." Pria berkacamata itu menunduk, dia sangat was-was takut CEO-nya akan marah. "Kebanyakan pacaran mangkanya lupa!" Kekesalan Arga kemarin mencua
Lirikan maut Lalita membuat Arga tak berani menatap istrinya terlebih setelah sang istri melihat isi dari berkas tersebut. "Mas, apa ini?" Sambil menunjukkan berkas itu. "Aturan untuk Damar." Jawab Arga. Lalita menatap Kania, dia tersenyum menenangkan wanita yang kini berada di sampingnya. "Aturan itu sudah dibatalkan kamu tenang saja ya."Kania berterima kasih sama Lalita, memang ular itu hanya menurut sama pawangnya. Selepas Kania pergi, Arga mulai protes kepada Lalita. Dari dulu memang pekerjaan Damar seperti ini. Menjadi asisten seorang CEO besar harus siap dengan segala konsekuensinya. Jadi bagaimana bisa seorang kepercayaan CEO terus pacaran dan mengabaikan pekerjaan? Namun bukannya memahami maksud ucapannya Lalita malah terus membela sehingga Arga pun kesal dan marah. "Memang kalian para wanita itu aneh dan lebay." Arga kembali ke meja kerjanya. Dia yang ingin pergi makan siang jadi mengurungkan niatnya dan hanya meminta OB membelikan makanan. "Sudahlah kamu dan Kania
Hingga malam Arga masih belum pulang, hal ini benar-benar membuat Lalita khawatir. "Apa dia keluar kota?" Pikiran Lalita kemana-mana karena memang tak biasanya Arga seperti ini, apalagi ponselnya tidak bisa dihubungi. Mau tak mau Lalita menghubungi Rangga, mungkin CEO itu tau dimana keberadaan suaminya. Panggilan tersambung tapi Rangga tidak menjawab telpon Lalita. Tiga panggilan tak terjawab membuat Lalita menyerah, mungkin Rangga juga sibuk pikirnya. Di sisi lain, Rangga yang memang bersama Arga hanya bisa tersenyum melihat sahabatnya merajuk seperti ini. Bahkan panggilan dari Lalita diminta untuk tidak dijawab. "Pulanglah Arga, kasian istri kamu. Lihatlah tiga panggilan tak terjawab darinya." Rangga menunjukkan ponselnya. "Biarkan saja, aku malas sama dia. Istri macam apa itu, selalu menyalahkan suaminya bahkan mengambil keputusan sendiri!" Pria itu meluapkan isi hatinya pada sang sahabat. Paham akan karakter sahabatnya, Rangga tak berkata apa-apa lagi, dia pun kem
Tak selang lama, Arga datang dengan membawa makanan yang dia beli, melihat Rangga dan Lalita mengobrol membuat cemburu pria itu datang. "Rangga kamu ngapain kesini?" tanya Arga dengan raut wajah marah. "Menjenguk Lalita dan anak kamu." Jawab Rangga santai. Meskipun Rangga tahu jika Arga kesal tapi pria itu tak menggubris sahabatnya, lagipula Lalita masih sakit mana mungkin dia macam-macam. Arga segera mengambil kursi dan duduk di sisi sebelahnya. "Sayang makan dulu." "Aku sudah kenyang Mas tadi Mas Rangga bawakan makanan." Sahut Lalita dengan tersenyum. "Buat nanti aja ya Mas." Sambungnya. Tangan Arga mengepal, hatinya kesal mendengar panggilan Lalita kepada Rangga. "Sejak kapan kamu memanggil nya Mas?" tanya pria itu. "Sejak tadi Mas." Cicit Lalita takut-takut. Rangga yang melihat Lalita ketakutan turut berkomentar. "Arga sudahlah jangan marah, lagipula kan hanya panggilan saja." Pria hangat itu mencoba menenangkan sahabatnya yang dingin itu. "Iya Mas, kan benar a
Lili sangat ketakutan, sebelum keluarga Winata melaporkannya ke pihak berwajib wanita itu ingin mencari cara agar bisa pergi dari rumah mewah itu. Meski perutnya masih belum sepenuhnya sembuh, Lili sudah mengendap-ngendap berusah keluar dari rumah. Usahanya berhasil, dia kini telah keluar dari rumah Arga. Wanita itu berjalan di heningnya malam, ingin sekali berhenti dan istirahat namun dia takut jika orang-orang keluarga Winata menemukannya. Karena kelelahan hampir saja dia tertabrak oleh mobil. Segera pengemudi itu keluar. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Pria itu nampak menatap Lili, melihat tubuh serta wajah Lili yang lumayan membuat pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sahut Lili. "Kamu mau kemana malam-malam begini?" Pria itu kembali bertanya. Lili menggeleng, dia sendiri tidak tau mau kemana. "Bagaimana jika kamu ikut denganku." Pria itu menawarkan jasa kepada Lili. Dengan segera Lili mengiyakan tawaran pria itu. Di dalam mobil, Lili menceritakan kesiala
Damar dan Kania begitu menikmati bulan madu mereka, meski belum bisa unboxing tapi Damar sudah sangat bahagia. "Aku beruntung karena Tuhan telah menciptakan bidadari cantik untukku." Gombalan Damar membuat Kania melambung. Pipi wanita itu juga memerah. "Ih kamu tuh bisa aja Mas." Tangan Kania mencubit kecil perut Damar. "Aduh kok ducubit sih Sayang." Damar pura-pura kesakitan. Kania memeluk suaminya tersebut. Begitulah Damar ketimbang Arga, Damar jauh lebih dewasa. Pria itu selalu memiliki cara untuk membuat Kania ke awan. Selama di Korea, Damar dan Kania tidak banyak keluar mengingat di negara tersebut tengah turun salju. Banyak alat transportasi yang berhenti operasi karena sering terjadi badai. Namun Damar dan Kania cukup senang terlebih Damar karena bisa setiap hari bersama sang Papa. ###### Di rumah sakit, Lili bersiap untuk pulang. Keadaannya sudah cukup baik, luka operasi juga tidak ada masalah jadi pihak rumah sakit sudah mengijinkannya pulang. Wanita itu memiki
Lalita sangat shock mendengar bayi Lili meninggal, dia memeluk Arga dengan erat bahkan wanita itu menangis. Arga pun menenangkan istrinya, "Sudah jangan menangis ini semua sudah takdir Lili dan bayinya." Tak berselang lama suster membawa Lili keluar, wanita jahat itu terlihat sedih. "Lili." Lalita menatap Lili. Tapi Lili justru membuang mukanya, terlihat sekali kebencian di wajah wanita itu. "Mohon maaf, pasien dirawat di ruang kelas berapa?" Tanya suster. "Ruang VVIP." Seketika Lalita menyahut. Suster mengangguk lalu meminta suster lainnya untuk segera menyiapkan ruang VVIP. Arga dan Lalita ikut ke ruang VVIP rencananya Lalita akan menemani Lili. Disaat seperti Lili pasti memerlukan seorang teman, pikirnya. "Lili kamu yang sabar." Dengan lembut Lalita memberikan supportnya kepada Lili. Namun bukannya berterima kasih Lili justru berteriak dan meminta Lalita pergi. "Tidak udah sok baik, aku tahu kamu lah yang membunuh anakku!" Wanita itu histeris. Arga segera meme
Dua hari setelah menikah, Damar dan Kania terbang ke negara gingseng. Selain bulan madu Damar juga ingin mengunjungi sang papa. Kerinduan yang masih belum terpuaskan memutuskan dia dan Kania memilih negara gingseng menjadi tujuan bulan madu mereka. "Sayang kita hanya dapat cuti sepuluh hari jadi bulan madu kita hanya seminggu saja." Ujar David saat dia dan Kania mengemas barang. "Iya Mas, " sahut Kania. "Tapi ngomong-ngomong, gimana banjirnya? apa sudah surut?" Pria itu berharap jika istrinya sudah bisa diunboxing ketika di negara gingseng nanti. "Belum surut Mas." Jawab Kania sambil tertawa. Seketika Damar melemas, dia sudah tidak sabar merasakan nikmatnya malam pertama. "Ya sudah." Hanya dua kata pasrah yang mampu Damar ucapkan. ##### Menjelang siang, Lalita sudah berkutat di dapur untuk membuat bubur. Bubur ini rencananya akan diberikan ke Kakek karena pria tua itu sedang tidak enak badan. Lili yang baru turun nampak heran melihat Lalita menyajikan bubur.
Di sebuah kamar hotel yang mewah, pasangan pengantin baru tidur dengan saling peluk.Kelelahan karena pesta semalam membuat keduanya masih memejamkan mata meski matahari sudah merangkak naik.Suara dering ponsel membangunkan Damar dan Kania yang masih ingin lebih lama di alam mimpinya."Siapa sih Mas, subuh-subuh telpon." Gerutu Kania tanpa mau melepaskan pelukannya."Entah Sayang." Damar bangun lalu mengambil kacamatanya. Segera dia menerima panggilan telpon yang ternyata dari sang papa. Papanya bilang jika kini sudah berada di Bandara, dia harus segera kembali ke negaranya karena banyak pekerjaan. Semenjak Mama serta adik Damar meninggal dalam tragedi sebuah kecelakaan, Papa Damar memutuskan tinggal diluar negeri. Selain ada tawaran kerja yang lebih menjanjikan alasan Papa Damar tinggal diluar negeri untuk melupakan almarhumah istrinya.Usai menerima telpon, Damar mengambil minum. Ada rasa bersalah karena tidak mengantar papanya ke Bandara."Ada apa Mas?" tanya Kania. "Papa suda
Sebelum acara selesai Arga pamit pulang karena Lalita sudah terlihat kelelahan. Sebenarnya Damar dan Kania masih menginginkan Arga untuk mengikuti acara sampai selesai. "Aku juga ingin tapi Lalita sudah kelelahan." Ujar Arga. Damar tak bisa melarang Arga karena memang perut Lalita sudah besar jadi wajar jika gampang lelah. "Baik Pak. Terima kasih atas hadiahnya." Pria itu merangkul tubuh atasannya. Begitu pula dengan Kania. "Hati-hati Lalita." Kania nampak mengkhawatirkan Lalita. Kini mereka berada di mobil, Lili nampak memberengut karena dia masih ingin di pesta Damar. Sesampainya di rumah, Arga menggendong Lalita karena istrinya mengeluh punggungnya kencang. Lili yang melihat itu tampak mengepalkan tangan, dia menggerutu menganggap jika Lalita terlalu manja. Kakek yang kebetulan keluar kamar mendengar gerutuan Lili. "Ada apa Lili? kenapa kamu menggerutu membicarakan Lalita." Tanya pria tua itu. Wanita jahat itu tersenyum licik, dia bisa menghasut kakek untu
"Baiklah Kek." Arga dan Lalita menyahut barengan. Sementara itu Lili tersenyum puas karena berhasil ikut. "Ya sudah kalau Arga dan Lalita ingin aku ikut." Ujarnya lalu dia pamit ganti pakaian. Raut muka Arga dan Lalita benar-benar berubah, sedangkan Kakek menasehati mereka agar bisa menerima Lili. "Ingat pesan Kakek ya Arga, Lalita." Lalu beliau juga pamit turun ke bawah lagi. "Kakek ada-ada saja." gerutu Arga kesal. "Ya sudah lah Mas," Lalita berusaha menghibur suaminya. Tak selang lama, Lili keluar, Arga dan Lalita bangkit lalu mereka turun ke bawah. Di mobil Arga dan Lalita duduk di bangku depan sedangkan Lili diminta duduk di bangku belakang. "Arga Lalita, aku tidak bisa duduk di belakang." Wanita itu berucap pelan. Arga yang sadari tadi kesal kini semakin kesal setelah mendengar ucapan Lili. "Apa kamu mau menyetir?" tanyanya menahan amarah. "Bukan begitu Arga, bisakah aku duduk di depan dan Lalita duduk di belakang?" Permintaan Lili membuat Arga menge
Siang itu Lalita keluar kamar untuk bersantai sejenak di taman, kepura-puraannya cukup melelahkan serta membosankan sehingga membuat wanita hamil itu sangat pusing. Baru saja dia memetik bunga mawar, terlihat Lili berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin wanita jahat ini lakukan." Gumam Lalita. Raut wajahnya seketika berubah, tapi buru-buru Lalita mengubahnya kembali ke settingan senang. "Eh Lili," Dengan tersenyum dia menyapa Lili. "Hai Lalita." Balas Lili. "Kamu tampak bugar sekali." Lili berbasa-basi dengan berucap demikian. Lalita menatap Lili, 'Jelas bugar, baru saja disiram.' Batinnya yang masih menunjukkan sederet gigi putihnya. Lili turut memetik bunga mawar, dia ingin meniru apa yang Lalita lakukan. Saat bersamaan, Lalita menerima panggilan telpon dari Arga. Pria itu meminta Lalita untuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Damar dan Kania. "Astaga Mas, bisa-bisanya aku lupa kalau mereka akan menikah." Wanita itu baru ingat. "Nanti aku pikirkan ha