Tak kunjung mendapatkan balasan, Direktur keuangan itu memutuskan kembali ke ruangannya. Pria paruh baya itu berpikir mungkin Sang anak ikut dinas luar CEO. Di ruangannya setelah usai makan siang, Kania dan Damar kembali bekerja. Damar yang terbiasa kerja cepat dan fokus nampak tak menghiraukan Kania yang justru tak fokus, kedua netra Sang kekasih terus saja menatap Damar. "Dia sungguh tampan." Manager itu berbicara dalam hati sambil terus menatap atasannya. Tau apabila sang kekasih terus menatapnya, Damar pun berkomentar. "Pekerjaan tidak akan mungkin selesia apabila kamu terus menatap aku Kania." Terlihat Kania tersentak kaget, sejurus kemudian dia mulai membuka laptop miliknya. Melihat Kania, bibir Damar tertarik. Sungguh menggemaskan sekali kekasihnya. "Jika tidak di kantor pasti sudah aku cium dirimu." Keduanya kini fokus dengan pekerjaan masing-masing hingga tak jam pulang telah datang. Damar yang masih ada urusan bersama Arga meminta Kania untuk pulang terlebih
"Aku bukan pria brengsek yang suka mempermainkan wanita Kania!" Suara dingin Damar mencuat. Tatapan Damar yang kian menajam membuat wanita itu sedikit ketakutan. "Jika tidak kenapa tidak mau menemui Papa." Tanpa berani memandang mata sang kekasih Kania mengutarakan protesnya. Damar hanya bisa menghela nafas, bukan tidak mau hanya saja dia harus mempersiapkan segalanya dahulu, dia yakin apabila Papa Kania meminta dirinya untuk segera melamar. "Bukannya tidak mau Sayang, tapi tunggulah sebentar." Damar berusaha membujuk Kania. "Hanya bertemu saja apa sih susahnya!" Manager itu memberengut membuat Damar semakin frustasi akan sikapnya. "Baiklah nanti aku akan datang ke rumah." Akhirnya Damar setuju datang ke rumah Kania, meski dia tak tau jawaban apa yang akan diberikan kepada kedua orang tua Kania. Wajah memberengut perlahan berubah, terlihat Kania begitu bahagia sehingga tanpa sadar dia memeluk Damar dengan erat. "Makasih Damar, kamu memang terbaik." "Sama-s
Mobil Damar telah terparkir rapi di depan rumah Kania tapi pria itu masih di dalamnya. Dia memikirkan apa yang harus dikatakan kepada kedua orang tua kekasihnya. Di kantor mungkin dirinya terbiasa bicara atau bahkan memerintah Pak Hutama tapi kali ini momentnya sungguh berbeda. "Ayo Damar." Dia menyemangati dirinya sendiri dan meyakinkan semua akan baik-baik saja. Sejurus kemudian Damar keluar dari mobil, dia berjalan menuju pintu rumah mewah itu. Di depan pintu dia memberi salam kepada salah satu pelayan yang terlihat ingin keluar rumah. "Anda tamu Nona Kania ya." Pelayan perempuan itu tersenyum. Kelihatannya kehadiran Damar sudah ditunggu hingga pelayan pun tahu. Anggukan kecil Damar membuat pelayan itu mempersilahkannya masuk. Menunggu beberapa saat, kini Kania dan kedua orang tuanya keluar. Damar yang awalnya duduk kini berdiri menjabat calon mertuanya. "Selamat malam Ibu dan Pak Hutama." Sapanya. Terlihat pria itu sedikit gugup dengan tatapan kedua orang tua Kania. K
"Sayang boleh aku bertanya sesuatu?" Di dalam mobilnya Damar bertanya pada sang kekasih. Kania yang fokus melihat jalanan ibukota pun menoleh, "Apa Mas?" Balik dia bertanya. "Kenapa kalian kaum hawa suka sekali dengan kata terserah, kenapa nggak ngomong langsung mau ini, ingin kesini, mau kesana atau apalah." Pertanyaan Damar mengundang tawa wanita itu, giginya yang putih terlihat bahkan suara tawa mulai terdengar. "Biar kalian kaum Adam peka dengan kita," sahut Kania enteng. "Peka yang bagaimana? kamu para pria bukan cenayang yang bisa tahu keinginan kalian." Damar merasa heran dengan jawaban Kania, padahal kamu pria itu mahkluk yang tidak mau ribet, wanitanya bilang ini pasti segera diturui tanpa drama. "Maka dari itu pria terus belajar jadi cenayang Mas biar bisa langsung tau apa yang kami inginkan." Penjelasan Kania benar-benar membuat Damar tak tahu harus berkata apa, ternyata wanita bukanlah mahkluk sederhana, mereka jauh menyeramkan dan ancaman para kaum Adam
Hari libur telah tiba, Damar meminta ijin kepada Arga agar memberinya kebebasan untuk hari ini karena rencananya dia ingin mengajak Kania ke sebuah tempat yang indah. "Padahal aku ingin kamu mewakili aku bertemu seseorang." Arga nampak tidak rela apabila Damar berkencan daripada mengerjakan pekerjaannya. Lalita yang datang membawa minuman nampak memarahi suaminya. "Mas ini hari libur loh, kenapa sih masih saja menyuruh Pak Damar bekerja?" Sambil meletakan minuman di atas meja. Arga melirik istrinya dengan kesal, "Pembela Damar datang." Cicitnya pelan. Wanita itu turut bergabung, "Bukannya membela cuma kamu ini diktator sekali. Pak Damar punya kekasih yang juga butuh waktunya bukan hanya kamu." Kalimat pembelaan kembali keluar. Damar tersenyum, jika tidak ada Lalita entah bagaimana nasibnya. Mumpung masih ada pembelanya, Damar segera pamit dengan alasan Kania sudah menunggu. Arga hanya bisa menatap punggung Damar dengan kesal andai tidak ada istrinya dia tidak akan mengijinkan
"Kenapa Mas?" Suara Kania terdengar begitu berat. "Tidak apa-apa Sayang." Pria itu terlihat frustasi akan hasrat yang sudah di ubun-ubun. Suasana hening kembali, hanya suara air dan cicitan burung yang terdengar. Tanpa sengaja mata Kania melihat sesuatu yang aneh di antara paha kekasihnya. "Mas kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Kania membuat Damar menatapnya lekat, dari tatapan itu sudah dapat dipastikan apabila dirinya tidak baik-baik saja. Dia menahan gejolak dalam dadanya, menepis bisikan-bisikan iblis yang terus memintanya untuk memakan wanita yang kini ada di hadapannya. "Aku baik sayang." Pernyataan yang sangat kontras, suara yang berat dengan nafas yang sedikit memburu, siapapun pasti tahu kalau dirinya kini melawan nafsunya. "Apa kamu ingin melakukannya Mas?" Kania memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Gelengan kecil Damar tunjukkan, dia tidak ingin melakukan sesuatu diluar aturan. "Tidak sayang." Setelah berucap demikian, Damar mengajak Kania ke d
"Ish pelit sekali." Wanita itu tertawa melihat mode jaim kekasihnya. Sementara itu Damar hanya tersenyum kemudian dia mengajak Kania masuk. Kini mereka berada di ruangan masing-masing, mengerjakan pekerjaan yang sudah menunggu. Saat tengah bekerja tiba-tiba dia mendapatkan pesan dari Gilang, asisten Siputra Grup. "Astaga bagaimana aku bisa lupa." Matanya agak melebar sembari menatap layar ponselnya. Lalu, buru-buru dia pergi ke ruangan sang CEO untuk melapor. "Pak, pengerjaan proyek diluar kota sudah rampung, lusa kita harus datang kesana untuk meresmikan bersama Siputra Group." Asisten itu berdiri di hadapan sang CEO. Arga melemparkan tatapannya, bagaimana bisa laporannya mendadak seperti ini. "Mendadak sekali? apa sebelumnya tidak ada laporan?" "Pihak Siputra Group memberi tahu sudah seminggu yang lalu hanya saja saya lupa." Pria berkacamata itu menunduk, dia sangat was-was takut CEO-nya akan marah. "Kebanyakan pacaran mangkanya lupa!" Kekesalan Arga kemarin mencua
Lirikan maut Lalita membuat Arga tak berani menatap istrinya terlebih setelah sang istri melihat isi dari berkas tersebut. "Mas, apa ini?" Sambil menunjukkan berkas itu. "Aturan untuk Damar." Jawab Arga. Lalita menatap Kania, dia tersenyum menenangkan wanita yang kini berada di sampingnya. "Aturan itu sudah dibatalkan kamu tenang saja ya."Kania berterima kasih sama Lalita, memang ular itu hanya menurut sama pawangnya. Selepas Kania pergi, Arga mulai protes kepada Lalita. Dari dulu memang pekerjaan Damar seperti ini. Menjadi asisten seorang CEO besar harus siap dengan segala konsekuensinya. Jadi bagaimana bisa seorang kepercayaan CEO terus pacaran dan mengabaikan pekerjaan? Namun bukannya memahami maksud ucapannya Lalita malah terus membela sehingga Arga pun kesal dan marah. "Memang kalian para wanita itu aneh dan lebay." Arga kembali ke meja kerjanya. Dia yang ingin pergi makan siang jadi mengurungkan niatnya dan hanya meminta OB membelikan makanan. "Sudahlah kamu dan Kania
Pagi itu Amira datang menghadap dengan membawa desainnya. Dia mempreseantasikan kepada Rangga detail desainnya itu. Pria itu puas akan kerja keras Amira, inilah desain yang dia cari. "Desain kamu sangat bagus Amira." Puja-puji keluar dari mulut Rangga, sehingga membuat Amira tersipu malu. Sebagai bentuk apresiasi akan kerja keras Amira, Rangga mengajak pegawai magang itu untuk makan siang bersama. "Jangan lupa nanti makan siang bersamaku." Titah pria itu. "Baik Pak." Sahut Amira lalu pamit. Di ambang pintu ada Monica yang juga ingin menghadap, dia juga membawa desain yang akan dia tunjukkan kepada Rangga. Mendengar Rangga ingin mengajak Amira makan siang membuat Monica kesal, bagaimana bisa seorang pegawai magang mendapatkan keistimewaan seperti itu sementara dia yang merupakan senior belum pernah sekalipun diajak makan siang oleh orang nomor satu siputra Group itu. Jam makan siang telah tiba, Amira sudah bersiap untuk pergi makan siang, dia menunggu sang CEO di park
Buru-buru Amira melepaskan diri, dia segera menunduk, "Maafkan saya Pak." "Tidak apa-apa." Sahut Rangga. Amira segera pamit pergi sementara Rangga terus menatap punggung wanita itu. "Apa dia yang kupaksa malam itu?" Tak ingin terus memikirkan Amira, Rangga kembali ke ruangannya.Di atas mejanya sudah banyak berkas yang menumpuk, padahal ketika dia pergi tadi mejanya sudah kosong. "Apa lagi ini." Gumamnya yang merasa malas mengerjakan berkas-berkas tersebut. Tak selang lama, Gilang datang melapor. Dia menunjukkan salah satu desain yang perusahaan perlukan. "Bagus sekali siapa yang mendesain?" tanya Rangga sambil menelisik desain yang diberikan oleh Gilang. "Amira salah satu pegawai magang." Jawab Gilang. Rangga mengerutkan alisnya, "Apa dia yang tadi menghadap?" Kini tatapannya beralih ke Gilang. Asisten itu mengangguk, dia kembali menunjukkan desain Amira yang lain. CEO tampan nan hangat itu mengukir senyuman, "Dia lagi." Sungguh Rangga tak menyangka, jika seorang
Rangga dillanda kebingungan hingga dia menemukan sebuah catatan kecil yang terjatuh di lantai. Senyum pria itu merekah, "Ternyata." kini dia tahu siapa wanita yang telah dia paksa untuk melayani hasrat biologisnya semalam. Amira Ningrum, seorang gadis muda yang kini magang di kantor Rangga, semalam dia berada di club karena diminta menghadiri pesta teman sekelasnya dulu. Alhasil dia yang ingin pulang terlebih dahulu malah nyasar.. Namun siapa sangka, gadis polos itu justru berakhir di tempat tidur bersama CEOnya sendiri. Semalaman Amira memikirkan hal tragis yang terjadi padanya namun dia juga tidak berani berkomentar atau menceritakan nasib tragisnya kepada sang teman. "Aku perhatikan dari semalam kamu terlihat sedih, ada apa?" tanya Vina yang merupakan teman seperjuangannya. "Apa terjadi sesuatu ketika di club semalam?" Kembali Vina melanjutkan ucapannya. "Tidak apa-apa Vina, aku hanya teringat akan almarhum adik," sahut Amira berbohong. Tak ingin membuat Vina terus bertanya
Pikiran Arga sangat liar sehingga dia mengajak sang istri bercinta diluar ruangan, Lalita yang awalnya menolak kini justru merasa senang. Sungguh ide suaminya kini sangat brilian, bercinta di bawah sinar rembulan yang diiringi suara ombak benar-benar pengalaman bercinta yang amazing. "Ini akan menjadi kenangan yang sangat indah" Arga nampak ngos-ngosan setelah mendapatkan pelepasannya. "Iya Mas ternyata seru ya." Ujar Lalita. Sementara Arga dan Lalita menikmati malam panas mereka diluar ruangan, Rangga duduk sendiri di teras villanya yang mengadap kelaut. Dia meminta Gilang untuk membawakan sebotol minuman beralkohol, dia ingin menikmati malam di pulau dewata sembari menghangatkan tubuh. "Anda yakin ingin minum pak?" Gilang nampak mengerutkan alisnya. "Sedikit minum aku rasa tidak apa-apa, malam sangat dingin." Sahut Rangga sambil tersenyum. Tiba-tiba ingin minum bukan tanpa alasan, pria itu sangat stres dengan perasaannya. Awalnya dia dang Gilang nampak baik-saja
Hari yang ditentukan untuk pergi berlibur telah tiba, Satu jet pribadi khusus untuk CEO dan asistennya satu lagi pesawat pribadi untuk para petinggi kantor. "Mari kita berangkat." Gilang terlihat sangat senang. Dia melangkahkan kaki terlebih dahulu menaiki tangga jet tersebut. Para CEO yang biasanya berpakaian formal kini menjelma pria casual dengan tampilan santainya. Sungguh pemandangan yang sangat meremajakan mata. "Astaga Mas Rangga ganteng banget." Mata Lalita terus menatap Rangga yang berpakaian kasual ala-ala anak muda. Mendengar puja-puji yang keluar dari mulut istrinya tentu membuat Arga cemburu. "Kamu pikir dia saja yang ganteng!" Ujarnya kesal. "Iya lah Mas.... " Tanpa sadar Lalita berkata demikian, namun beberapa detik kemudian wanita itu menutup mulutnya. Dia terkekeh menatap Arga. "Maksud aku setelah kamu Mas." Rangga tersenyum senang, meski tidak bisa memiliki Lalita paling tidak wanita itu ngefans pada dirinya. "Pindah ke pesawat satunya Rangga." Tak senang A
Pria itu segera bangkit, dia mencoba membangunkan Kania tapi agaknya wanita itu tidak mau membuka matanya. Segera Damar menggendong tubuh Kania untuk dibawa ke rumah sakit. "Sayang kamu kenapa!" Damar terlihat begitu panik. Memiliki skil mengemudi yang cukup baik membuat dia dengan cepat tiba di rumah sakit. Segera Damar memanggil suster, dan setelah dilakukan pemeriksaan Dokter mengatakan jika Kania kekurangan nutrisi. "Bagaimana bisa dia kekurangan nutrisi?" Damar begitu syok. "Apa istri anda diet?" tanya Sang dokter. "Sepertinya tidak." Jawab Damar ragu-ragu. Tapi jika diingat lagi, beberapa hari ini dia tidak melihat istrinya makan berbeda dengan sebelumnya. Mengingat hal yang memicu pingsan adalah kekurangan nutrisi Dokter segera mengalihkan pemeriksaan Kania ke dokter kandungan, bagaimanapun juga kondisi calon bayi di dalam harus diperiksa. Ketika dokter melakukan USG, kerutan-kerutan terlihat di dahinya, pemeriksaan awalnya menunjukan satu janin saja tapi mengapa tiba
Seiring berjalannya kehidupan Arga dan Lalita normal kembali, siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang suaminya. "Mas." Lalita berjalan menuju meja kerja sang suami. Sementara Arga yang sangat fokus dengan pekerjaannya tidak menyadari kedatangan sang istri. Dia mengira suara langkah kaki yang mendekat adalah langkah sekertarisnya Mawar. Tanpa meliaht dia mengusir sekertarisnya itu yang sebenarnya adalah sang istri. "Letakkan berkasnya lalu pergilah!" Ujar Arga. Lalita hanya tersenyum melihat sang suami. "Aku baru datang tapi kamu sudah menyuruh pergi saja Mas." Sahut Lalita. Sangat mengenal suara itu dengan jelas, Arga pun mengalihkan pandangannya. Dia terkejut jika yang berada di hadapannya adalah sang istri. "Sayang." Dia pun menjeda pekerjaannya. Senyumam manis Arga tunjukkan. "Aku ngantar makan siang tapi malah diusir." Goda Lalita sambil tertawa. "Maaf Sayang, aku kira sekretaris aku." Arga menjelaskan. CEO itu mengajak Lalita dudu
Lalita terus larut dalam kesedihan, membuat Arga tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sudah membujuk Lalita tapi istrinya terus saja bilang dia harus mengerti. "Terserah kamu lah Sayang." Pagi itu Arga pergi ke kantor dengan marah. Dia sudah tidak bisa mentolerir sikap Lalita lagi, bukan tidak boleh bersedih tapi suami juga ada batasannya. Kekecewaan serta kekesalannya kepada sang istri Arga alihkan ke pekerjaan sehingga pria itu perlahan gila kerja kembali. Pagi buta dia berangkat larut baru pulang, tak terasa sudah sebulan dia seperti itu. Malam itu, Arcello demam tinggi. Baby Sitter sangat panik dan bingung. "Bagaimana ini." Seraut wajah bingung terlihat. Dengan langkah cepat dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar majikannya. Tak berselang lama, Lalita keluar. "Maaf Bu, Tuan Arcello demam." Lalita sangat panik lalu dia berlari ke kamar sang anak. Segera wanita itu membawa Arcello ke rumah sakit, seusai diperiksa Dokter meminta Arcello agar di rawat mengingat bayi setahu
Pria itu terus menatap istri sahabatnya, meski dokter bilang keadaan Lalita baik-baik saja dia tetap saja khawatir bahkan jika Lalita tak kunjung siuman maka dia akan meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tak selang lama Lalita siuman, dia menangis lagi mencari ibunya. "Lalita! terimalah kenyataan jika ibu sudah tiada! kamu pastinya paham jika kita tidak boleh meratapi!" Selama kenal dengan Lalita, inilah kali pertama Rangga membentaknya. "Sabar lah, relakan kepergian ibu." Ujar pria itu kemudian. Wanita itu mengangguk, dan untuk kesekian kalinya Rangga membawa wanita rapuh itu ke dalam pelukannya. "Ada aku Lalita, ada suami kamu, biarkan ibu pulang dengan tenang." Rangga semakin mengerutkan pelukannya. Lalita yang terbawa suasana juga memeluk Rangga dengan erat, dia kini bak seorang adik yang tengah memeluk kakaknya. Sementara itu disisi lain, Arga barus selesai rapat. Dia yang lupa tidak membawa ponsel tentu tidak bisa dihubungi. Kedua netra