“Saya bilang cukup Pak.” Wanita itu terisak.Dengan linangan air mata, Lalita menatap sang suami. “Saya bukan wanita seperti itu.” Lalu dia pun bangkit dari tempat duduknya, Lalita berusaha menghapus air matanya yang seolah tak ingin berhenti. Dengan tatapan kosong, wanita itu berjalan menuju meja kerjanya, dia mengerjakan apapun yang bisa dia kerjakan tak peduli meski hatinya begitu terluka saat ini.Arga yang masih dikuasai amarah memutuskan untuk pergi daripada hatinya makin terkoyak melihat istrinya.Sepulang dari kantor, Lalita memilih pulang ke rumah ibunya, untuk menenangkan diri sejenak disana.“Ibu.” Ketika sang ibunda membukakan pintu, wanita itu segera memeluk ibunya.Mata wanita paruh baya itu memutar mencari keberadaan menantunya.“Arga mana?” Lalita pun melepas pelukannya, dengan senyuman yang dipaksakan wanita itu menatap sang ibunda.“Mas Arga sibuk, ibu.” “Arga sudah tau belum kalau kamu kesini?” Dengan tatapan lembut beliau bertanya.Lalita kembali tersenyum, “Sud
Seorang wanita cantik dengan penampilan elegan tersenyum menatap Arga, sedangkan pria itu yang mendengar namanya disebut pun menoleh.“Kania.” Bibir tipisnya menyebut nama wanita itu.“Akhirnya aku kembali Arga,” ujarnya senang.Arga berdiri, mengajak Kania untuk duduk di sofa.Kania adalah teman kuliah Arga, dia pergi keluar negeri untuk melanjutkan studinya. Selain teman, Kania juga anak dari salah satu petinggi perusahaan di bidang keuangan atau biasa disebut direktur keuangan.Sementara mereka mengobrol di sofa, Lalita di mejanya tampak kesal. Sakit hati akan ucapan Arga kemarin belum hilang kini ditambah lagi suaminya ngobrol akrab dengan seorang wanita.“Siapa dia? Apa dia mantan kekasih Pak Arga?” Lalita bermonolog sendiri menerka-nerka siapa wanita itu.Pikiran wanita itu terus melayang, membuat dirinya tidak fokus bekerja. Laporan yang biasanya cepat diselesaikan kini terbengkalai, bahkan yang dipegang hanya satu berkas saja sedari tadi.“Kenapa aku kesal melihat mereka??” Sa
Wanita itu mengerutkan alis, suaminya baru saja pulang tapi kenapa ingin pergi lagi? Lalita malah bengong.“Cepat! Aku memerintahmu untuk menyiapkan baju ganti bukannya bengong!” Suara bariton Arga membuyarkan lamunannya.Tanpa kata, Lalita beranjak. Dia segera mengambilkan baju ganti untuk suaminya itu.Sementara Arga mandi, Lalita meletakkan satu setelan jas dan aksesorisnya di tempat tidur, saat itu lah dia mendengar ponsel suaminya berdering.Lalita yang kepo melihat siapa yang menghubungi suaminya. ‘Kania’ memanggil.Entah mengapa hati Lalita menjadi sakit, dibanding dirinya pasti Arga lebih memilih sahabatnya itu. Setelah Arga berangkat, Lalita berdiri di balkon. Dia ingin melihat bintang tapi malam sedang muram sehingga kerlipan bintang-bintang tak nampak.Wanita itu mengingat kembali perjalanannya menjadi istri Arga, banyak hal manis yang terjadi. Tak terasa bibirnya menyunggingkan senyuman tapi senyuman itu perlahan hilang setelah rasa sakit atas tuduhan Arga datang merasuk
"Pak Arga?"Lalita yang saat itu sedang memiliki janji bertemu pria yang akan dijodohkan dengannya nampak terkejut setelah tau apabila pasangan kencan butanya adalah CEO-nya sendiri."Kamu mengenalku?" Sang CEO bertanya heran.Wanita itu mengangguk, jelas dia mengenalnya. Arga Rahardi Winata adalah CEO di tempat dia bekerja."S-saya … OB di perusahaan Pak Arga,” jawabnya ragu.Tatapan pria itu semakin sinis dan dingin setelah tau wanita yang akan sang Kakek jodohkan dengannya adalah OB-nya sendiri.Suasana terlihat begitu canggung, Lalita semakin tak nyaman dengan sikap Arga yang tidak bersahabat.“Kamu menerima perjodohan ini karena harta kakek, kan?” Tatapan pria itu masih sinis, terlihat ada rasa benci akan wanita yang telah dijodohkan dengannya.Terkejut sebelumnya belum hilang kini dia harus kembali terkejut dengan kalimat CEO-nya itu.“Maaf, Pak … kelihatannya Anda salah paham terhadap saya.”Pria itu mendengus, sinis. “Bila bukan harta, apalagi yang wanita seperti kamu inginkan
“Selamat pagi, Pak!” Sapaan-sapaan yang terdengar kompak itu membuat Lalita yang sedang fokus membersihkan lantai lobi menghentikan pekerjaannya. Dia yang menggunakan seragam merah–seragam OB lantas memutar tubuh dan menemui rupanya … sang CEO telah datang. Melihat para satpam dan karyawan lain bersikap hormat, Lalita pun tidak mau kalah. Dia, dengan kain pel di tangan menunduk, hormat. “Selamat pagi, Pak Arga….” ujar Lalita pelan, kemudian kembali mengangkat pandangan. Di sanalah, pandangan mereka bertemu. Duk! Entah terkejut atau bagaimana, kaki Arga menabrak ember berisi air pel milik Lalita. Hal itu membuat air kotor di ember tersebut mencuat, dan bahkan beberapa cipratannya mengotori celana dan sepatu mengilap miliknya.Jantung Lalita serasa mau copot. Dia pun buru-buru berujar, meski gagap, “M-maafkan saya, Pak. S-saya akan bersihkan–” Lalita sudah bersiap untuk mengelap sepatu Arga yang terkena cipratan air, tetapi ketika dia berjongkok, Arga lebih dulu menghindar. Sel
“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga.Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tam
"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya." Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah m
Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m