Wanita itu mengerutkan alis, suaminya baru saja pulang tapi kenapa ingin pergi lagi? Lalita malah bengong.“Cepat! Aku memerintahmu untuk menyiapkan baju ganti bukannya bengong!” Suara bariton Arga membuyarkan lamunannya.Tanpa kata, Lalita beranjak. Dia segera mengambilkan baju ganti untuk suaminya itu.Sementara Arga mandi, Lalita meletakkan satu setelan jas dan aksesorisnya di tempat tidur, saat itu lah dia mendengar ponsel suaminya berdering.Lalita yang kepo melihat siapa yang menghubungi suaminya. ‘Kania’ memanggil.Entah mengapa hati Lalita menjadi sakit, dibanding dirinya pasti Arga lebih memilih sahabatnya itu. Setelah Arga berangkat, Lalita berdiri di balkon. Dia ingin melihat bintang tapi malam sedang muram sehingga kerlipan bintang-bintang tak nampak.Wanita itu mengingat kembali perjalanannya menjadi istri Arga, banyak hal manis yang terjadi. Tak terasa bibirnya menyunggingkan senyuman tapi senyuman itu perlahan hilang setelah rasa sakit atas tuduhan Arga datang merasuk
Tanpa Lalita tahu, permintaan resign yang diucapkan gadis itu justru membuat Arga semakin kesal. Sebab, dia tahu istrinya sangat perlu pekerjaan. Bagaimana mungkin ingin resign? Pikiran negatif pun hinggap, dan Rangga kembali menjadi peran utama dalam prasangkanya. Saat sedang memikirkan hal ini, Kania datang dengan senyuman manisnya. Wanita itu mengundang Arga untuk menghadiri pesta malam ini. "Pesta?" bibirnya mulai berkomentar. "Iya Arga, untuk merayakan kepulanganku dan diterimanya aku kerja di sini," ujar wanita itu.Usai mengundang Arga, wanita cantik itu mengarah ke meja Lalita. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan sekretaris itu. "Lalita nanti datang ya di pesta aku." Sambil menunjukkan sederet gigi putihnya. "Pesta?" respon yang sama dengan Arga. "Iya pesta aku. Nanti alamat rumahnya aku share di grup." Selesai berucap demikian Kania beranjak namun sebelum pergi dia kembali meminta Lalita untuk hadir. Meski enggan tapi wanita itu tetap mengangguk. "Baiklah." Kan
Arga menatap tajam istrinya yang masuk ke dalam mobil Rangga.Di dalam mobil, Lalita terdiam sedih hingga membuat Rangga merasa tak enak. "Bila kamu ingin pulang dengan Arga, aku tidak apa-apa." "Tidak Pak, mari kita pulang." Lalita mengajak Rangga untuk segera membawanya dari tempat itu.Mobil Rangga dan Lalita sudah melaju, sedangkan Arga masih berdiri menatap kepergian istrinya dengan sahabatnya itu.Dadanya bergejolak hebat, tangannya mengepal kuat. Dia pun akhirnya memutuskan pulang.Sesampainya di rumah, Arga membuang jasnya dengan kuat ke tempat tidur, amarahnya memuncak mengingat kejadian tadi, dia bahkan tak punya muka di depan Rangga.Sepanjang malam pria itu tidak bisa memejamkan matanya, dia terus kepikiran akan istrinya yang belum pulang. "Brengsek kalian!" Tak terasa pagi sudah datang menyapa, Arga yang baru saja bisa memejamkan mata tersentak bangun ketika mendengar suara pintu kamar terbuka.Lalita yang baru pulang hendak membersihkan diri tapi langkahnya terhenti ke
“Kenapa?” Dengan raut sedih Lalita bertanya. Arga melemparkan tatapannya, dia beranjak dari tempat duduk kemudian membelakangi sang istri. “Tidak perlu aku jelaskan alasannya.” Wanita itu tersenyum ketir, dengan bibir bergetar Lalita berbicara. “Kenapa anda membuat saya bingung Pak, bukankah sudah ada Nona Kania?” Mendengar kalimat itu, Arga pun membalikkan badan menatap Lalita dengan tatapan nanar. “Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa.” “Saya harap anda memikirkan lagi keputusan anda,” sahut Lalita. Sepanjang malam Arga terus memikirkan ucapan istrinya, rasa cinta yang dia klaim sebagai rasa aneh terus menyebar ke dalam tubuhnya dan terus membuatnya plin plan, tak sadar akan tindakannya yang terus melukai Lalita. Di pagi harinya seperti biasa mereka berangkat berdua. Dan ketika hampir sampai di tempat biasa Lalita turun, melihat gelagat sopir yang akan menghentikan mobil, Arga bertitah sebaliknya. "Jalan saja terus.""Tapi, Pak...." Meski geram dengan sikap Arga
Di dalam mobil Rangga, Lalita terdiam sembari menatap luar jendela. Dirinya sungguh lelah dengan sikap Arga, antara tindakan dan ucapannya tidak pernah sinkron. Rangga sesekali menatap Lalita yang nampak sedih itu. “Apa kamu memikirkan Arga?” Tanya Rangga. Mendengar pertanyaan Rangga, Lalita pun menoleh. Dia tersenyum. “Tidak Pak Rangga.” Ucapnya berbohong. Wanita itu kembali melemparkan tatapannya setelah menjawab pertanyaan Rangga. “Bagaimana bila kita jalan-jalan dulu?” Tawaran Rangga kembali membuat Lalita menoleh, sebenarnya dia enggan jalan-jalan tapi…. daripada pulang cepat dan bertemu Arga lebih baik dia menerima tawaran Rangga. “Baik Pak,” sahut Lalita. “Kamu ingin jalan-jalan ke mana?” Pria itu kembali bertanya. Lalita nampak berpikir, “Ke mana ya….” Hingga beberapa saat kemudian dia berbicara, “Kita ke pekan Raya saja Pak.” Rangga mengerutkan alisnya, Pekan Raya? “Kamu suka ke Pekan Raya?" Dengan ekspresi heran. “Suka Pak, karena di Pekan Raya apa-apa ada.” Samb
"Apa?" Lalita nampak terkejut dengan apa yang dia dengar barusan.Bahkan wanita itu hampir tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar, bagaimana mungkin Rangga mencintainya.Sementara Lalita tengah bingung, Rangga justru tersenyum. "Apa kamu bisa mencintaiku Lalita?"#####Di sofa Lalita nampak melamun, permintaan Rangga benar-benar membuatnya bingung harus bagaimana? Ingin menolak tapi Rangga selalu ada buatnya, Rangga juga lah yang selalu ada ketika Arga menyakitinya."Kenapa jadi rumit begini?!" Lalita memegangi kepalanya.Saat bersamaan Arga datang, melihat buket bunga membuat amarah yang sempat teredam kini mencuat kembali."Apa ini bunga dari Rangga?" Tatapannya sinis, wajahnya juga nampak merah.Helaan nafas terdengar, dirinya yang sangat bingung kini harus mendapatkan pertanyaan menyudutkan dari suaminya. "Iya Pak." Dua kata pengakuan dari Lalita semakin mengobarkan api amarah CEO itu."Beraninya kamu membawa bunga pemberian lelaki lain ke rumah, Lalita, ingatlah kamu a
Kalimat Arga terhenti, pria itu meragu. Tatapannya mengarah ke Lalita yang sudah menatapnya, tatapan istrinya sungguh sendu. Apa Arga akan mengungkap statusnya? Disaat dirinya tengah bingung, Rangga menanti kelanjutan kalimatnya, dia penasaran dengan apa yang akan Arga sampaikan. "Lalita adalah apa Arga?" Arga hanya diam, kebingungannya semakin kentara. "Jika tidak ada yang ingin kamu sampaikan biarkan aku dan Lalita pulang," kembali Rangga berkomentar. Komentar Rangga membuatnya tertantang, tanpa pikir panjang dia menaikkan tangan Lalita dan tangannya. Terlihat dua cincin indah yang melingkar di jari manis mereka. "Kamu tahu kan Rangga, apa artinya ini?" Melihat cincin kawin mereka membuat Rangga sangat syok, tubuhnya terhuyung ke belakang. "Tidak mungkin Arga," ucapnya lirih. Rangga berucap demikian bukan tanpa alasan, dia cukup paham dengan sahabatnya itu, pria dingin yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada wanita tiba-tiba menunjukkan cincin kawin. Sej
"Maaf saya telat."Rangga masuk ruangan Arga dengan senyum sumringah, sedikit pembicaraan yang dia dengar tadi membuatnya bahagia dan saking bahagianya pria itu nyaris tidak bisa menyembunyikannya.Melihat wajah sumringah sahabatnya membuat Arga curiga bahkan pikiran negatif mulai muncul di kepalanya, "Dia sangat bahagia apa jangan-jangan....." Arga bermonolog sendiri dalam hati.Selang Rangga duduk, Arga berdiri dia ijin sebentar karena harus menghubungi seseorang.Diluar ruangannya Arga mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi sang istri, memastikan dimana istrinya saat ini."Kamu dimana?" Kalimat pertanyaan Arga segera lontarkan begitu Lalita menerima panggilannya."Saya di bawah bersama Mario Pak."Ada rasa lega, berarti istrinya dan Rangga tidak bertemu di rooftop seperti waktu itu.Pria itu kembali dengan perasaan lega, ternyata dia over thinking dengan rasa bahagia Rangga.Namun rasa leganya tidak bertahan lama setelah Lalita masuk ruangan, terlihat tatapan Rangga tertuju pada L
Rangga dillanda kebingungan hingga dia menemukan sebuah catatan kecil yang terjatuh di lantai. Senyum pria itu merekah, "Ternyata." kini dia tahu siapa wanita yang telah dia paksa untuk melayani hasrat biologisnya semalam. Amira Ningrum, seorang gadis muda yang kini magang di kantor Rangga, semalam dia berada di club karena diminta menghadiri pesta teman sekelasnya dulu. Alhasil dia yang ingin pulang terlebih dahulu malah nyasar.. Namun siapa sangka, gadis polos itu justru berakhir di tempat tidur bersama CEOnya sendiri. Semalaman Amira memikirkan hal tragis yang terjadi padanya namun dia juga tidak berani berkomentar atau menceritakan nasib tragisnya kepada sang teman. "Aku perhatikan dari semalam kamu terlihat sedih, ada apa?" tanya Vina yang merupakan teman seperjuangannya. "Apa terjadi sesuatu ketika di club semalam?" Kembali Vina melanjutkan ucapannya. "Tidak apa-apa Vina, aku hanya teringat akan almarhum adik," sahut Amira berbohong. Tak ingin membuat Vina terus bertanya
Pikiran Arga sangat liar sehingga dia mengajak sang istri bercinta diluar ruangan, Lalita yang awalnya menolak kini justru merasa senang.Sungguh ide suaminya kini sangat brilian, bercinta di bawah sinar rembulan yang diiringi suara ombak benar-benar pengalaman bercinta yang amazing."Ini akan menjadi kenangan yang sangat indah" Arga nampak ngos-ngosan setelah mendapatkan pelepasannya."Iya Mas ternyata seru yw." Ujar Lalita. Sementara Arga dan Lalita menikmati malam panas mereka diluar ruangan, Rangga duduk sendiri di teras villanya yang mengadap kelaut. Dia meminta Gilang untuk membawakan sebotol minuman beralkohol, dia ingin menikmati malam pertama di pulau dewata. Awalnya dia dang Gilang nampak baik-saja tapi beberapa saat kemudian dia mulai tak sadarkan diri. "Lalita." Teriak Rangga. Keesokan harinya, Lalita mengajak Arga untuk pergi ke sebuah pasar tradisional, ada yang ingin dia beli di pasar tersebut. Rangga yang melihat Lalita dan Arga ingik keluar memutuskan untuk
Hari yang ditentukan untuk pergi berlibur telah tiba, Satu jet pribadi khusus untuk CEO dan asistennya satu lagi pesawat pribadi untuk para petinggi kantor. "Mari kita berangkat." Gilang terlihat sangat senang. Dia melangkahkan kaki terlebih dahulu menaiki tangga jet tersebut. Para CEO yang biasanya berpakaian formal kini menjelma pria casual dengan tampilan santainya. Sungguh pemandangan yang sangat meremajakan mata. "Astaga Mas Rangga ganteng banget." Mata Lalita terus menatap Rangga yang berpakaian kasual ala-ala anak muda. Mendengar puja-puji yang keluar dari mulut istrinya tentu membuat Arga cemburu. "Kamu pikir dia saja yang ganteng!" Ujarnya kesal. "Iya lah Mas.... " Tanpa sadar Lalita berkata demikian, namun beberapa detik kemudian wanita itu menutup mulutnya. Dia terkekeh menatap Arga. "Maksud aku setelah kamu Mas." Rangga tersenyum senang, meski tidak bisa memiliki Lalita paling tidak wanita itu ngefans pada dirinya. "Pindah ke pesawat satunya Rangga." Tak senang A
Pria itu segera bangkit, dia mencoba membangunkan Kania tapi agaknya wanita itu tidak mau membuka matanya. Segera Damar menggendong tubuh Kania untuk dibawa ke rumah sakit. "Sayang kamu kenapa!" Damar terlihat begitu panik. Memiliki skil mengemudi yang cukup baik membuat dia dengan cepat tiba di rumah sakit. Segera Damar memanggil suster, dan setelah dilakukan pemeriksaan Dokter mengatakan jika Kania kekurangan nutrisi. "Bagaimana bisa dia kekurangan nutrisi?" Damar begitu syok. "Apa istri anda diet?" tanya Sang dokter. "Sepertinya tidak." Jawab Damar ragu-ragu. Tapi jika diingat lagi, beberapa hari ini dia tidak melihat istrinya makan berbeda dengan sebelumnya. Mengingat hal yang memicu pingsan adalah kekurangan nutrisi Dokter segera mengalihkan pemeriksaan Kania ke dokter kandungan, bagaimanapun juga kondisi calon bayi di dalam harus diperiksa. Ketika dokter melakukan USG, kerutan-kerutan terlihat di dahinya, pemeriksaan awalnya menunjukan satu janin saja tapi mengapa tiba
Seiring berjalannya kehidupan Arga dan Lalita normal kembali, siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang suaminya. "Mas." Lalita berjalan menuju meja kerja sang suami. Sementara Arga yang sangat fokus dengan pekerjaannya tidak menyadari kedatangan sang istri. Dia mengira suara langkah kaki yang mendekat adalah langkah sekertarisnya Mawar. Tanpa meliaht dia mengusir sekertarisnya itu yang sebenarnya adalah sang istri. "Letakkan berkasnya lalu pergilah!" Ujar Arga. Lalita hanya tersenyum melihat sang suami. "Aku baru datang tapi kamu sudah menyuruh pergi saja Mas." Sahut Lalita. Sangat mengenal suara itu dengan jelas, Arga pun mengalihkan pandangannya. Dia terkejut jika yang berada di hadapannya adalah sang istri. "Sayang." Dia pun menjeda pekerjaannya. Senyumam manis Arga tunjukkan. "Aku ngantar makan siang tapi malah diusir." Goda Lalita sambil tertawa. "Maaf Sayang, aku kira sekretaris aku." Arga menjelaskan. CEO itu mengajak Lalita dudu
Lalita terus larut dalam kesedihan, membuat Arga tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sudah membujuk Lalita tapi istrinya terus saja bilang dia harus mengerti. "Terserah kamu lah Sayang." Pagi itu Arga pergi ke kantor dengan marah. Dia sudah tidak bisa mentolerir sikap Lalita lagi, bukan tidak boleh bersedih tapi suami juga ada batasannya. Kekecewaan serta kekesalannya kepada sang istri Arga alihkan ke pekerjaan sehingga pria itu perlahan gila kerja kembali. Pagi buta dia berangkat larut baru pulang, tak terasa sudah sebulan dia seperti itu. Malam itu, Arcello demam tinggi. Baby Sitter sangat panik dan bingung. "Bagaimana ini." Seraut wajah bingung terlihat. Dengan langkah cepat dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar majikannya. Tak berselang lama, Lalita keluar. "Maaf Bu, Tuan Arcello demam." Lalita sangat panik lalu dia berlari ke kamar sang anak. Segera wanita itu membawa Arcello ke rumah sakit, seusai diperiksa Dokter meminta Arcello agar di rawat mengingat bayi setahu
Pria itu terus menatap istri sahabatnya, meski dokter bilang keadaan Lalita baik-baik saja dia tetap saja khawatir bahkan jika Lalita tak kunjung siuman maka dia akan meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tak selang lama Lalita siuman, dia menangis lagi mencari ibunya. "Lalita! terimalah kenyataan jika ibu sudah tiada! kamu pastinya paham jika kita tidak boleh meratapi!" Selama kenal dengan Lalita, inilah kali pertama Rangga membentaknya. "Sabar lah, relakan kepergian ibu." Ujar pria itu kemudian. Wanita itu mengangguk, dan untuk kesekian kalinya Rangga membawa wanita rapuh itu ke dalam pelukannya. "Ada aku Lalita, ada suami kamu, biarkan ibu pulang dengan tenang." Rangga semakin mengerutkan pelukannya. Lalita yang terbawa suasana juga memeluk Rangga dengan erat, dia kini bak seorang adik yang tengah memeluk kakaknya. Sementara itu disisi lain, Arga barus selesai rapat. Dia yang lupa tidak membawa ponsel tentu tidak bisa dihubungi. Kedua netra
"Ibu kenapa meminta maaf." Lalita menggenggam tangan ibundanya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memercing kesakitan. Melihat keadaan wanita tak berdaya itu, Rangga segera memanggil Dokter. Dia tentu tidak ingin terjadi apa-apa dengan ibunda Lalita. Tak berselang lama, dokter datang. Mereka segera diminta untuk memeriksa ibunda Lalita kembali. Dokter menunduk, Rangga yang tau ekspresi ini mengajak sang dokter bicara diluar. "Apa yang terjadi dengan pasien Dok?" Pria hangat itu bertanya dengan tatapan tajam. Ekspresi ketakutan tersirat di wajah sang dokter sehingga membuat Dokter penyakit dalam itu hanya diam. "Apa yang terjadi?" Suara Rangga mencuat. Segera Dokter menatap orang yang paling berkuasa di rumah sakit itu, "Dari hasil tes pencitraan rontgen, sel berbahaya sudah menyebar ke seluruh tubuh pasien itulah yang menyebabkan kami bingung harus bagaimana Pak Rangga." Ujar dokter. "Kenapa sebagai dokter kamu bingung! cepat bertindak!" Rangga yang tidak ingi
Hari itu Arga datang ke kantor dengan wajah sumringah, dia juga tidak marah-marah seperti beberapa hari sebelumnya. Yang lebih mengejutkannya lagi sikapnya terhadap Damar. "Kalau kamu masih mual pelan-pelan saja Damar kalau tidak selesai bisa kamu kerjakan besok." Ucapan Pria itu membuat kerutan-kerutan di dahi Damar terlihat jelas, dari tatapan matanya juga nampak apabila dia bingung. "Tapi kemarin anda bilang.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Arga menyilangkan jari telunjuk di bibirnya. "Ucapan kemarin jangan diambil hati." Lalu pria itu berjalan keluar ruangan asistennya. Siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang untuk Arga. Dia yang masih merasa bersalah ingin menunjukkan perhatiannya kepada sang suami. "Mas." Dengan langkah cepat dia menuju meja kerja suaminya. Melihat istrinya datang, Arga nampak senang. "Sayang." Ujar Arga. Lalita segera memeluk suaminya seraya berkata kangen. "Aku juga sayang," sahut Arga. Beginilah jika