Di dalam mobil Rangga, Lalita terdiam sembari menatap luar jendela. Dirinya sungguh lelah dengan sikap Arga, antara tindakan dan ucapannya tidak pernah sinkron. Rangga sesekali menatap Lalita yang nampak sedih itu. “Apa kamu memikirkan Arga?” Tanya Rangga. Mendengar pertanyaan Rangga, Lalita pun menoleh. Dia tersenyum. “Tidak Pak Rangga.” Ucapnya berbohong. Wanita itu kembali melemparkan tatapannya setelah menjawab pertanyaan Rangga. “Bagaimana bila kita jalan-jalan dulu?” Tawaran Rangga kembali membuat Lalita menoleh, sebenarnya dia enggan jalan-jalan tapi…. daripada pulang cepat dan bertemu Arga lebih baik dia menerima tawaran Rangga. “Baik Pak,” sahut Lalita. “Kamu ingin jalan-jalan ke mana?” Pria itu kembali bertanya. Lalita nampak berpikir, “Ke mana ya….” Hingga beberapa saat kemudian dia berbicara, “Kita ke pekan Raya saja Pak.” Rangga mengerutkan alisnya, Pekan Raya? “Kamu suka ke Pekan Raya?" Dengan ekspresi heran. “Suka Pak, karena di Pekan Raya apa-apa ada.” Samb
"Apa?" Lalita nampak terkejut dengan apa yang dia dengar barusan.Bahkan wanita itu hampir tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar, bagaimana mungkin Rangga mencintainya.Sementara Lalita tengah bingung, Rangga justru tersenyum. "Apa kamu bisa mencintaiku Lalita?"#####Di sofa Lalita nampak melamun, permintaan Rangga benar-benar membuatnya bingung harus bagaimana? Ingin menolak tapi Rangga selalu ada buatnya, Rangga juga lah yang selalu ada ketika Arga menyakitinya."Kenapa jadi rumit begini?!" Lalita memegangi kepalanya.Saat bersamaan Arga datang, melihat buket bunga membuat amarah yang sempat teredam kini mencuat kembali."Apa ini bunga dari Rangga?" Tatapannya sinis, wajahnya juga nampak merah.Helaan nafas terdengar, dirinya yang sangat bingung kini harus mendapatkan pertanyaan menyudutkan dari suaminya. "Iya Pak." Dua kata pengakuan dari Lalita semakin mengobarkan api amarah CEO itu."Beraninya kamu membawa bunga pemberian lelaki lain ke rumah, Lalita, ingatlah kamu a
Kalimat Arga terhenti, pria itu meragu. Tatapannya mengarah ke Lalita yang sudah menatapnya, tatapan istrinya sungguh sendu. Apa Arga akan mengungkap statusnya? Disaat dirinya tengah bingung, Rangga menanti kelanjutan kalimatnya, dia penasaran dengan apa yang akan Arga sampaikan. "Lalita adalah apa Arga?" Arga hanya diam, kebingungannya semakin kentara. "Jika tidak ada yang ingin kamu sampaikan biarkan aku dan Lalita pulang," kembali Rangga berkomentar. Komentar Rangga membuatnya tertantang, tanpa pikir panjang dia menaikkan tangan Lalita dan tangannya. Terlihat dua cincin indah yang melingkar di jari manis mereka. "Kamu tahu kan Rangga, apa artinya ini?" Melihat cincin kawin mereka membuat Rangga sangat syok, tubuhnya terhuyung ke belakang. "Tidak mungkin Arga," ucapnya lirih. Rangga berucap demikian bukan tanpa alasan, dia cukup paham dengan sahabatnya itu, pria dingin yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada wanita tiba-tiba menunjukkan cincin kawin. Sej
"Maaf saya telat."Rangga masuk ruangan Arga dengan senyum sumringah, sedikit pembicaraan yang dia dengar tadi membuatnya bahagia dan saking bahagianya pria itu nyaris tidak bisa menyembunyikannya.Melihat wajah sumringah sahabatnya membuat Arga curiga bahkan pikiran negatif mulai muncul di kepalanya, "Dia sangat bahagia apa jangan-jangan....." Arga bermonolog sendiri dalam hati.Selang Rangga duduk, Arga berdiri dia ijin sebentar karena harus menghubungi seseorang.Diluar ruangannya Arga mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi sang istri, memastikan dimana istrinya saat ini."Kamu dimana?" Kalimat pertanyaan Arga segera lontarkan begitu Lalita menerima panggilannya."Saya di bawah bersama Mario Pak."Ada rasa lega, berarti istrinya dan Rangga tidak bertemu di rooftop seperti waktu itu.Pria itu kembali dengan perasaan lega, ternyata dia over thinking dengan rasa bahagia Rangga.Namun rasa leganya tidak bertahan lama setelah Lalita masuk ruangan, terlihat tatapan Rangga tertuju pada L
"Kenapa anda berpura-pura di depan Pak Rangga Pak?" Dengan tatapan heran Lalita menatap sang suami. "Aku memiliki alasan sendiri," sahut Arga. Lalita hanya bisa menghela nafas, ada rasa bersalah kepada Rangga tau bila maksud Arga untuk menyakiti Rangga dia pasti tidak akan mau mengikuti rencana suaminya itu. Malam itu Arga nampak sibuk di ruang kerjanya, entah apa yang dia kerjakan hingga larut malam pria itu masih di ruang favoritnya itu. Sementara Arga sibuk, Lalita terus memikirkan Rangga, rasa bersalahnya semakin menjalar kuat membuat matanya enggan mau terpejam. Saat pikirannya ramai akan rasa bersalah, terlihat Arga masuk dengan membawa berkas. "Kamu belum tidur?" tanya Arga heran. "Tidak bisa tidur Pak," sahut Lalita. Arga kemudian duduk di samping Lalita, dia memberikan berkas yang dibawanya. "Perjanjian kita yang baru." Lalita nampak heran, perjanjian baru? tangannya pun membuka satu persatu berkas itu. Kedua matanya membualt sempurna melihat isi dari berka
"Tidak penting Lalita," sahut Rangga. Wanita itu menghela nafas, apa sebaiknya dia mengatakan yang sebenarnya kepada Rangga? Saat dia dalam kebingungan suara Rangga mengejutkannya. "Lalita." "Iya Pak." Dia menatap Rangga dengan tersenyum. "Memang kami menikah kontrak Pak." Mendengar jawaban Lalita pria itu kembali bertanya, "Apa kamu mencintai Arga?" Tatapannya berubah sendu, dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan, tapi ketika Arga dekat dengannya wanita itu merasa nyaman. Senyuman ketir perlahan kentara, "Saya tidak tau Pak, tapi saya tidak suka apabila dia dekat dengan wanita lain, saya selalu menunggunya ketika dia pulang malam, saya juga khawatir ketika dia sakit dan masih banyak lagi keanehan lainnya." Jawaban Lalita cukup membuat Rangga sadar, bahkan pria itu tidak bisa lagi melanjutkan perasaannya. "Dia sering menindas saya tapi saya tidak membencinya." Lalita tertawa merutuki keanehannya. "Saya aneh kan Pak Rangga." Meski hatinya cidera tapi Rangga
Lalita terus memikirkan ucapan Arga di mobil, apa sudah saatnya dia memberikan mahkotanya? "Tidak, aku masih takut. Katanya sakit sekali." Wanita itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Perlahan wanita itu membalikkan badannya menatap Arga yang sudah terlelap dalam tidurnya. "Apa anda benar-benar menginginkan hal itu???" ##### "Arga, Papa mengundang kamu untuk makan malam sekalian ada yang ingin beliau sampaikan ke kamu." Kania menyampaikan pesan papanya. Arga dengan tegas menolak, dia mengatakan bila ada yang disampaikan cukup disampaikan di kantor saja tanpa tidak usah bertele-tele seperti ini. Raut wajah sedih Kania mencuat, wanita itu bergeming hingga sekian detik kemudian dia berbicara, "Apa kamu tidak menganggap kami keluarga lagi Arga?" Pria itu nampak menghela nafas, dia hanya tidak ingin istrinya kecewa seperti beberapa waktu yang lalu. "Mengertilah Kania, aku dan Lalita sudah menikah." Wanita itu tersenyum ketir, dia sebenarnya sudah tahu apabila Arga dan Lalita
"Kalau begitu... mari kita lakukan, Mas." Usai berucap demikian Lalita memejamkan matanya, malam ini mungkin akan menjadi malam bersejarah dalam hidupnya, malam dimana dia memberikan mahkotanya kepada Arga suami dinginnya. Mendapatkan lampu hijau dari istrinya, Arga tidak membuang waktu lagi, dia melepas setiap kancing bajunya. "Setelah ini, tidak ada kesempatan untuk mengubah pikiranmu, Lalita." Melihat tubuh kekar sang suami membuat jantung Lalita berpacu dengan cepat, wajahnya juga menjadi pucat pasi. Arga segera membawa tubuh Lalita ke ranjang, dia mulai menyatukan bibirnya dengan bibir sang istri."Ahh...." Serangan bertubi-tubi Lalita dapatkan, pria itu bermain dengan ganas mungkin karena pengaruh obat yang baru dikonsumsinya.Keganasan Arga benar-benar membuat Lalita kewalahan. Dia tidak merasa sakit, hanya saja... dia serasa terus dipacu oleh Arga. "T-tolong, pelan-pelan, Mas....""Maaf Sayang." Dengan mata yang mengisyaratkan berbeda. Kata maaf terucap bukan bera