Sore menjelang magrib kak.... gimana kabarnya hari ini? semoga baik ya... ada ada saja ya tingkah Arga, tapi dia itu lucu... selamat membaca Kak, jangn lupa tinggalkan komennya ya...terima kasih kak
"Kenapa anda berpura-pura di depan Pak Rangga Pak?" Dengan tatapan heran Lalita menatap sang suami. "Aku memiliki alasan sendiri," sahut Arga. Lalita hanya bisa menghela nafas, ada rasa bersalah kepada Rangga tau bila maksud Arga untuk menyakiti Rangga dia pasti tidak akan mau mengikuti rencana suaminya itu. Malam itu Arga nampak sibuk di ruang kerjanya, entah apa yang dia kerjakan hingga larut malam pria itu masih di ruang favoritnya itu. Sementara Arga sibuk, Lalita terus memikirkan Rangga, rasa bersalahnya semakin menjalar kuat membuat matanya enggan mau terpejam. Saat pikirannya ramai akan rasa bersalah, terlihat Arga masuk dengan membawa berkas. "Kamu belum tidur?" tanya Arga heran. "Tidak bisa tidur Pak," sahut Lalita. Arga kemudian duduk di samping Lalita, dia memberikan berkas yang dibawanya. "Perjanjian kita yang baru." Lalita nampak heran, perjanjian baru? tangannya pun membuka satu persatu berkas itu. Kedua matanya membualt sempurna melihat isi dari berka
"Tidak penting Lalita," sahut Rangga. Wanita itu menghela nafas, apa sebaiknya dia mengatakan yang sebenarnya kepada Rangga? Saat dia dalam kebingungan suara Rangga mengejutkannya. "Lalita." "Iya Pak." Dia menatap Rangga dengan tersenyum. "Memang kami menikah kontrak Pak." Mendengar jawaban Lalita pria itu kembali bertanya, "Apa kamu mencintai Arga?" Tatapannya berubah sendu, dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan, tapi ketika Arga dekat dengannya wanita itu merasa nyaman. Senyuman ketir perlahan kentara, "Saya tidak tau Pak, tapi saya tidak suka apabila dia dekat dengan wanita lain, saya selalu menunggunya ketika dia pulang malam, saya juga khawatir ketika dia sakit dan masih banyak lagi keanehan lainnya." Jawaban Lalita cukup membuat Rangga sadar, bahkan pria itu tidak bisa lagi melanjutkan perasaannya. "Dia sering menindas saya tapi saya tidak membencinya." Lalita tertawa merutuki keanehannya. "Saya aneh kan Pak Rangga." Meski hatinya cidera tapi Rangga
Lalita terus memikirkan ucapan Arga di mobil, apa sudah saatnya dia memberikan mahkotanya? "Tidak, aku masih takut. Katanya sakit sekali." Wanita itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Perlahan wanita itu membalikkan badannya menatap Arga yang sudah terlelap dalam tidurnya. "Apa anda benar-benar menginginkan hal itu???" ##### "Arga, Papa mengundang kamu untuk makan malam sekalian ada yang ingin beliau sampaikan ke kamu." Kania menyampaikan pesan papanya. Arga dengan tegas menolak, dia mengatakan bila ada yang disampaikan cukup disampaikan di kantor saja tanpa tidak usah bertele-tele seperti ini. Raut wajah sedih Kania mencuat, wanita itu bergeming hingga sekian detik kemudian dia berbicara, "Apa kamu tidak menganggap kami keluarga lagi Arga?" Pria itu nampak menghela nafas, dia hanya tidak ingin istrinya kecewa seperti beberapa waktu yang lalu. "Mengertilah Kania, aku dan Lalita sudah menikah." Wanita itu tersenyum ketir, dia sebenarnya sudah tahu apabila Arga dan Lalita
"Kalau begitu... mari kita lakukan, Mas." Usai berucap demikian Lalita memejamkan matanya, malam ini mungkin akan menjadi malam bersejarah dalam hidupnya, malam dimana dia memberikan mahkotanya kepada Arga suami dinginnya. Mendapatkan lampu hijau dari istrinya, Arga tidak membuang waktu lagi, dia melepas setiap kancing bajunya. "Setelah ini, tidak ada kesempatan untuk mengubah pikiranmu, Lalita." Melihat tubuh kekar sang suami membuat jantung Lalita berpacu dengan cepat, wajahnya juga menjadi pucat pasi. Arga segera membawa tubuh Lalita ke ranjang, dia mulai menyatukan bibirnya dengan bibir sang istri."Ahh...." Serangan bertubi-tubi Lalita dapatkan, pria itu bermain dengan ganas mungkin karena pengaruh obat yang baru dikonsumsinya.Keganasan Arga benar-benar membuat Lalita kewalahan. Dia tidak merasa sakit, hanya saja... dia serasa terus dipacu oleh Arga. "T-tolong, pelan-pelan, Mas....""Maaf Sayang." Dengan mata yang mengisyaratkan berbeda. Kata maaf terucap bukan bera
"Ingat-ingat lagi kebersamaan kita dulu Arga, aku yang selalu ada untuk kamu!" Kania mencoba mengingatkan Arga akan masa lalu. Tapi.... Pria itu menyebik, masa lalu hanya lah masa lalu yang tidak perlu diingat lagi. "Masa lalu itu tidak penting buatku Kania." Kania melemas, obsesi terhadap Arga membuatnya kehilangan segalanya tak hanya pekerjaan bahkan Arga telah memutuskan persahabatan yang lama mereka jalin. "Arga pikirkan lagi," pintanya dengan memohon. Arga kali ini tidak bisa dibujuk, sebanyak apapun Kania memohon keputusannya tidak dapat diubah. Di sisi lain, Lalita yang merasa sakit hati pergi ke rooftop, dia terus saja merutuki kebodohannya karena dengan mudah terbujuk rayuan Arga, padahal perjanjian itu bisa saja diubah oleh Arga kembali. "Sudah berhasil meniduri ku kini mau dekat lagi sama Kania itu!" Kekesalan Lalita semakin memuncak ketika teringat akan desahannya di bawah Arga kemarin. "Tapi pada waktu itu aku juga menikmatinya, Arrrggggg," dia memegangi k
Setiap hari Arga dan Lalita menikmati masa-masa indah mereka, nggak di rumah maupun di kantor Arga selalu ingin bersama istrinya. "Bucin akut." Damar menggelengkan kepalanya. Suatu hari Rangga dan Gilang datang ke Winata Group, pembangunan proyek mereka sudah berjalan oleh karenanya ada yang harus dibahas kembali. "Kenapa ruangan Arga dikunci?" CEO siputra Group dan asistennya pergi ke ruangan Damar untuk bertanya. "Sudah menjadi kebiasaan Pak Arga, setiap mendekati jam istirahat pasti seperti itu." Sambil menyiapkan berkas, Damar menjawab pertanyaan Rangga. "Memangnya apa yang dilakukan Pak Arga?" sahut Gilang. Raut wajah Damar berubah menjadi bingung, apa dia harus mengatakan aib atasannya kepada sahabat plus mantan rivalnya itu? "Olahraga." Kata kiasan itu yang bisa Damar katakan. Kerutan kerutan di dahi kedua pria tampan itu semakin kentara, siang-siang olahraga di kantor? ngapain? Mereka saling tatap masih dengan ekspresi bingungnya. "Tiga puluh menit lagi, kit
Arga mengulurkan tangannya, membantu sang istri naik pesawat. "Ini pertama kali saya naik pesawat Mas," ujar Lalita dengan grogi. Arga yang hampir selalu naik pesawat nampak heran, bagaimana bisa ada orang yang belum pernah naik pesawat. "Kamu dari peradaban mana? hingga belum pernah naik pesawat." Bukannya rasa iba pria itu malah mengejek sang istri. Ejekan Arga membuat Lalita kesal, biaya naik pesawat sangat mahal, tidak semua kalangan bisa naik pesawat. Namun kekesalan Lalita sirna setelah dia masuk ke dalam jet, matanya pun membulat sempurna. "Mas ini pesawat tipe apa? kenapa dalamnya begini?" Wanita itu nampak heran, setaunya dalam pesawat adalah deretan kursi penumpang padahal untuk pesawat kelas bisnis atau pesawat milik konglomerat berbeda. "Tipe tertinggi," sahut Arga dengan tertawa. Arga menggandeng tangan istrinya menuju tempat duduk mereka. "Empuk sekali Mas." Cuitan Lalita mengundang tawa Arga kembali. Setelah memastikan semua aman, pesawat pun siap
Dari Inggris mereka ke Negara Prancis, dan kota yang menjadi pilihan mereka adalah Kota Mode Paris, kenapa Paris menjadi pilihan? itu Karena Lalita ingin mengunjungi menara Eiffel. "Astaga Mas, bagus sekali." Lalita begitu takjub dengan keindahan menara itu. "Iya sayang, meksi aku kesini berkali-kali tapi tidak pernah bosan," sahut Arga. Sejurus kemudian, Arga memeluk Lalita. Dia mengungkapkan betapa bahagianya dia saat ini berkunjung ke manara Eiffel bersama orang yang dia cintai. "I Love You Sayang." Kata cinta pertama akhirnya terucap. Dengan senyuman bahagia, Lalita melepas pelukan sang suami. Dia berlari mendekati menara Eiffel sambil berteriak, "Eiffel im in love...." Arga pun turun mengejar Lalita, ini bukan drama maupun sandiwara tapi benar-benar adegan pasangan suami istri yang saling jatuh cinta. Tak terasa dua Minggu telah berlalu, moment bulan madu mereka harus berakhir hari ini. Hari ini di negara Yunani mereka akan bersiap terbang kembali ke tanah air. "Dua Ming
"Pak Rangga kenapa anda disini?" Vina nampak terkejut, pikirannya kemana-mana. Apa dia sudah tau jika yang tidur dengannya malam itu adolah Amira? "Tentu mengunjungi calon istri aku." Rangga malas untuk berdrama lagi, dia ingin segera mengungkap semua kebenarannya. "Mas...." Amira mengkode Rangga agar bisa menahan diri tapi pria itu sudah muak pada Vina terlebih Vina telah membunuh calon bayinya. "Apa anda sudah tau semuanya?" Ucap Vina gugup. "Menurutmu!" Sahut Rangga. Wajah Vina menjadi pucat pasi, tak ada harapan lagi akhirnya dia meminta maaf. Wanita itu juga memohon pada Amira agar dimaafkan. "Aku sangat mencintai Pak Rangga Mir mangkanya aku berbohong." Vina memegang tangan Amira. Namun Amira yang sudah kecewa dan sakit hati pada sahabatnya dengan segera melepas tangan Vina. "Amira kita kan sahabat." Vina kembali berekspresi sedih berharap Amira berubah pikiran namun Amira tidak mau tertipu lagi. Mungkin jika dia hanya ingin bersama Rangga tidak masalah tapi
Sore itu sepulang dari kantor, Rangga pergi ke Villa untuk menemui Vina, dia tidak bisa mengulur waktu lagi untuk mengungkap kedok wanita jahat itu. Rencananya dia akan menjebak Vina agar mengakui semua di hadapannya dan Amira. Melihat kedatangan Rangga, Vina sangat senang. Dia langsung menyambut mantan atasannya itu. "Sore Pak Rangga." Sapanya dengan tersenyum manis. Rangga membalas senyuman Vina. meski sebenarnya hatinya enggan bersikap manis terhadap wanita yang telah membunuh calon bayinya. "Sore." Dia duduk lalu menyandarkan kepalanya dia sofa. "Vina, waktu itu di club aku tidak memakai pengaman apa kamu tidak merasakan tanda-tanda kehamilan?" Pertanyaan Rangga membuat Vina berpikir, bagaimana bisa hamil sedangkan yang tidur dengan Rangga adalah Amira. "Memangnya kenapa Pak?" tanya Vina was-was. "Tidak apa-apa, aku ingin mengumumkan pernikhaan secepatnya." Jawaban Rangga membuat Vina senang, saking bahagianya dia segera memeluk CEO itu. "Sudah lepas,
Dari rumah sakit Rangga kembali ke kontrakan Amira lagi, dia mengkonfirmasi Amira terkeit obat penggugur kandungan. Mendengar ucapan Rangga, Amira sangat shock. Bagaimana bisa vitamin menjadi obat penggugur kandungan? "Aku sungguh tidak tahu." Dengan raut wajah sedih Amira menunduk. Sementara Rangga berpikir keras, secara logika tidak mungkin ada dokter yang sengaja memberikan obat penggugur kandungan, pihak farmasi juga tidak mungkin melakukan kelalaian yang fatal jadi permasalahannya di Amira. Apakah obat itu tertukar atau gimana? "Apa ada yang kesini sebelum kamu keguguran?" Tanya Rangga dengan menatap sang wanita. Amira terperangah menatap Rangga, dia baru menyadari kedatangan Vina beberapa hari lalu. "Mas Vina datang kesini, dia menginap juga." Ucapan Amira membuat Rangga mengepalkan tangan, dia yakin Vina lah yang membunuh calon bayinya. "Beraninya dia melenyapkan calon bayiku." Ujar Rangga. Rangga bangkit, dia ingin membuat perhitungan dengan Vina, dia
Amira terus kesakitan, dia mencoba menghubungi Rangga tapi Pria itu tidak mengangkat panggilannya. Berkali-kali Amira menghubungi Rangga tapi tetap sama, Rangga tidak menerima satu pun panggilan darinya. Sakit yang semakin menusuk membuat Amira tak tahan. Saat bersamaan terdengar pintu diketuk. Sambil menahan rasa sakit, wanita itu membukakan pintu. "Andi." Kata Amira pelan. Melihat sahabatnya yang sangat pucat dan kesakitan membuat Andi khawatir, "Kamu kenapa Amira?" tanyanya panik. "Perut aku sakit." Jawabnya. Tak tahan akan sakit di perutnya, Amira lalu pingsan. Andi sempat kebingungan hingga akhirnya dia membawa Amira ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan tangannya Andi membawa tubuh Amira masuk ke dalam. "Dokter Dokter! " Teriak Andi. Beberapa dokter yang mendengar teriakan segera sigap, lalu menggiring Andi ke ruang gawat darurat.Tau jika pasien mengalami keguguran, Dokter segera melakukan tindakan. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Andi cem
Tatapan Lalita kini mengarah ke Amira, dia tersenyum melihat Rangga datang dengan seorang wanita. "Kekasih kamu ya Mas." Goda Lalita. Rangga tersenyum lalu mengangguk. Lalita cukup senang akhirnya Rangga sudah menemukan wanita. Masih mempertahankan senyumannya Lalita duduk di samping Amira. "Hay, aku Lalita." Dia menyodorkan tangan pada Amira. "Hay, saya Amira." Amira melakukan hal yang sama. Lalita dan Amira mengobrol, dan bersamaan dokter keluar dari ruang operasi. "Bagaimana keadaan istri saya Dok?" Damar segera bertanya. "Baik, kedua bayinya juga sehat." Ucapan Dokter membuat Damar menitikkan air mata, kini statusnya berubah menjadi seorang ayah. Rangga yang melihat teman serta rekan kerjanya bahagia pun turut bahagia, dia dapat merasakan kebahagian Damar. "Selamat atas kelahiran anak kamu." Ujarnya dengan senyuman hangatnya. "Terima kasih Pak Rangga." Pria itu memeluk Rangga. Tak selang lama, dua orang suster keluar membawa dua bayi mungil,
Mual dan muntah semakin parah, hingga Amira ijin tidak masuk karena lemas. "Apa yang kamu perlukan Amira? akan aku belikan." Vina menunjukkan wajah khawatirnya. Bukan khawatir karena sahabatnya sakit tapi dia khawatir jikalau Amira hamil. "Tidak perlu Vin, terima kasih." Ujar Amira. Karena harus kembali ke villa, Vina pun pamit dan sebelum pergi dia bilang jika akan datang lagi. Amira mengangguk, meski dia sedikit heran dengan sikap Vina yang tiba-tiba berubah jadi perhatian. Tak ingin ambil pusing, Amira mengabaikan kecurigaannya.Di sisi lain, Rangga yang mendengar kabar jika Amira sakit jadi panik, dia segera pergi ke kontrakan Amira untuk menjenguk kekasihnya itu. "Pak Rangga." Kedua bola mata Amira membulat melihat kedatangan sang pria. "Masih saya panggil Pak." Rangga menjentikkan jarinya pelan dia dahi sang wanita. Amira menggosok dahinya dengan tangan, meski jentikn tangga Rangga tidak sakit tapi dia sedikit lebay di hadapan CEO itu. "Iya Mas." Ujarnya. Ingat akan
"Sa-saya.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya Rangga sudah menjatuhkan bibirnya, hal ini membuat Amira terkejut lalu mendorong tubuh Rangga. "Pak, jangan seperti ini." Katanya dengan marah. "Kamu telah membohongi aku Amira." Rangga menatap sendu Amira. Melihat tatapan Rangga, Amira nampak iba. Dia tahu dia berbohong tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa. "Dimana letak salahnya Pak, kita juga tidak ada hubungan apa-apa." Ujar Amira. Pria itu mematung, memang benar mereka tidak ada hubungan apa-apa tapi apa yang telah dia lakukan seharusnya Amira paham jika itu adalah bentuk dari rasa cintanya. "Meskipun tidak diungkap, seharusnya kamu bisa merasakan gelagatku Amira," ungkap Rangga. "Iya Pak," cicit Amira pelan. Untuk mengikat Amira, akhirnya Rangga mengungkap perasaannya, dia juga mengajak wanita itu untuk melanjutkan ke tahap yang serius mengingat ucapannya dulu jika dia akan bertanggung jawab. #### Hari ini semua bagian desain sangat sibuk, terlebih Moni
"Hubungi Amira suruh datang ke pameran." Titah Rangga. "Tapi kita masih disini Pak." Gilang mencoba protes. Rangga hanya melempar tatapannya. Tak ingin membantah asisten itu menuruti kemauan sang CEO. Niat awalnya, Rangga ingin datang ke Villa untuk mengambil sesuatu tapi setelah melihat Amira dan Andi, pria itu meminta Gilang putar balik dan kembali. Sementara itu, Amira tidak membuka pesan yang Gilang kirim dia juga tidak menerima panggilan dari asisten CEO-nya itu. Setelah susah payah mencari akhirnya Amira dan Andi, berhasil menemukan alamat Vina. "Pantas nggak ketemu," kata andi. Amira segera memencet bel lalu seorang satpam membukakan pagar. Setelah memberi tahu tujuannya, satpam meminta mereka masuk. Di depan rumah, Andi dan Amira menunggu Vina. Tak selang lama Vina keluar. "Kalian!" Mata Vina terbelalak melihat kedua sahabatnya datang. Dengan wajah gugup dia mendekat. "Bagaimana bisa kalian mendapatkan alamat Villa ini?" tanya Vina dengan menatap A
"Masih di atas tempat tidur, Rangga dan Amira berbincang tentang langkah selanjutnya, apa langsung meminta Vina mengaku? atau membuat permainan dan mengikuti alur Vina? " Bagaimana menurut kamu Amira?" tanya Rangga. "Kita lihat saja rencana Vina Pak Rangga setelah Anda tidak bisa menikahinya, tapi anda jangan bilang kalau saya sudah mengakui semua." Pinta Amira. Rangga mengangguk, jika itu yang Amira minta. Kalau sebenarnya dari dia pribadi ingin langsung mengusir Vina. Keesokannya, sepulang dari kerja Andi menemui Amira kembali bahkan kali ini Andi ikut Amira pulang. Di kontrakan, mereka berbincang kembali tentang Vina. "Andi apa Vina pernah dendam atau sakit hati padaku?" Dengan wajah nanar Amira menatap Andi yang duduk di sebelahnya. "Dendam gimana maksud kamu?" tanya Andi. "Barangkali aku pernah menyakitinya sehingga dia pergi dan seolah tidak menganggap aku temannya padahal selama ini kita selalu bersama." Jawab Amira. Andi menggeleng, dia tidak tahu. Selama