Melihat ekspresi Arga membuat Lalita malah geli sendiri, sungguh suami dinginnya kini bermetamorfosis menjadi maniak mesum kelas kakap. "Sabar Mas." Niatnya ingin menenangkan sang suami tapi ternyata Arga semakin frustasi mendengar kalimat Lalita barusan. "Sabarku setipis tisu." Cicitnya pelan. Lalita yang sudah lapar mengajak Arga untuk turun, sudah waktunya untuk makan. Pulang bulan madu seharusnya menjadi hari bahagia tapi Arga malah kelihatan murung, di ruang makan dia juga terlihat hanya makan sedikit, tentu hal ini mencuri perhatian sang Kakek. "Kenapa makan sedikit sekali Arga?" Pria tua itu menatap sang cucu yang sudah selesai makan. "Tidak nafsu makan Kek," jawab Arga. Kini pandangan Kakek mengarah ke Lalita, "Suami kamu kenapa tidak nafsu makan? apa ada masalah?" Kalimat tanya Kakek membuat Lalita bingung harus menjawab apa. Belum sempat Lalita bersuara, Arga sudah menjawab pernyataan sang Kakek. "Tidak apa-apa Kek, Arga kurang enak badan saja. Maklum h
Para Dokter segera mengecek kembali keadaan Lalita, namun masih belum ada tanda-tanda sadar. Cukup lama menunggu tapi Lalita masih belum sadar sehingga Arga kembali mengamuk. "Kenapa istriku belum sadar juga! kalian bisa bekerja atau tidak!" Rasa khawatir Arga sudah memuncak. Dokter yang saat ini menangani Lalita tak tau harus bagaimana lagi, hal yang bisa dilakukan adalah memantau keadaan pasien. Di depan ruangan UGD, Arga mondar-mandir. Dia berharap istrinya segera sadar agar bisa mendapatkan penanganan selanjutnya. Rangga yang kebetulan berkunjung di rumah sakit miliknya tak sengaja melihat Arga, dia bergegas mendekat. "Arga apa yang kamu lakukan disini?" Raut wajah yang semula baik-baik saja kini entah mengapa turut khawatir. "Lalita di dalam, dia pingsan," jawab Arga. Jawaban sahabatnya membuat Rangga terkejut, sehingga banyak kalimat tanya yang dia lontarkan. "Jangan banyak bertanya Rangga! kamu membuat aku semakin pusing saja!" Dia berucap kesal. Rangga mengang
"Pak Arga." Di ambang pintu terlihat direktur pemasaran datang ingin menghadap sang CEO. "Masuk." Titah Arga dingin. Ketika perintah masuk diterima, pria paruh baya itu berjalan mendekat. "Ini laporan detail pemasarannya Pak Arga." Setumpuk berkas Pak Hutama letakkan di atas meja. Tanpa ekspresi pria itu mengambil berkas-berkas yang baru diletakkan, dia segera mengecek. Usai membaca sekilas, Arga kembali menutup berkasnya dan meletakan kembali di atas meja. "Baiklah berkasnya akan saya pelajari." Masih dengan ekspresi datarnya. Arga kembali mengerjakan pekerjaannya, tapi melihat bayangan Pak Hutama yang tak kunjung pergi pria itu kembali menoleh. "Apa ada yang ingin dibicarakan lagi?" Pak Hutama nampak ragu, tapi.... Sesaat kemudian dia membuka suara. "Pak Arga saya mohon maafkan Kania, dia sekarang sakit dan ingin bertemu dengan anda." Terlihat pria tua itu sangat sedih. Kekesalannya terhadap Kania sampai sekarang masih teringat, andai saja malam itu dia tidak
"Nggak papa lah Mas daripada nggak sama sekali," bujuk Lalita sambil mengelus lengan suaminya. Suaminya memaksakan senyum kemudian dia mengangguk. Di tempat tidur kini mereka sekarang, ciuman bertubi-tubi yang Lalita dapatkan membuat dirinya naik ke awan, hasrat yang tidur selama tiga Minggu sekarang menggelora, bahkan dia sudah tidak sabar merasakan milik suaminya yang perkasa. "Mas jangan lama-lama." Wanita itu memohon dengan tubuh yang terus menggeliat. Paham akan keinginan istrinya, Arga segera melakukan penyatuan. Kamar yang sunyi menjadi berisik karena ulah pasangan itu, tubuh yang bekerja keras membuat keringat keluar cukup banyak meski ruangan itu bersuhu rendah. Kenikmatan yang pria itu berikan membuat sang wanita mendesah hebat hingga tubuhnya menegang yang tandanya dia mendapatkan puncak kenikmatan. Sementara dirinya melemas, Arga masih bekerja keras untuk mengejar pelepasannya dan sampailah dia di puncak klimaks. Dengan nafas memburu pria itu terkapar di sam
Pagi itu Lalita turun dengan pakaian formalnya, dia yang benar-benar bosan memutuskan pergi ke kantor lebih awal dari kesepakatannya bersama Arga kemarin. "Kenapa berpakaian seperti ini?" Arga menatap Lalita tajam. "Saya masuk hari ini saja ya Mas, udah nggak papa kok." Wanita meyakinkan suaminya apabila dirinya sudah siap kerja. Awalnya Arga tidak setuju tapi Lalita terus memaksa sehingga dia pun menurut. "Baiklah." Saking senangnya diijinkan kerja lebih awal, Lalita menjatuhkan sebuah kecupan di bibir suaminya. Niatnya hanya ingin mengecup sekilas tapi Arga malah memegangi tubuhnya. Lalita melongo, dia berusaha melepas bibirnya tapi tangan Arga seolah mengunci dan tidak membiarkan tubuhnya bergerak. Alhasil, keduanya tetap dalam posisinya dalam waktu yang lama. Yang tanpa mereka sadari ada langkah kaki datang mendekat. "Aish kalian ini, kenapa mesra-mesraan diluar." Pria tua itu menarik kursi. Panik ada Kakek Lalita menggigit bibir Arga hingga suaminya memekik kesakit
"Lalita menuduhku Arga!" Kania tak terima. "Tadi jelas-jelas ada yang menjegal kakiku Mas," sambil melihat Kania. Kania dan Lalita terus berdebat hingga Arga melerai mereka dengan ucapannya. "Sudah! sudah! kita lihat CCTV saja untuk lebih jelasnya!" Arga meminta Damar untuk menunjukkan CCTV dan setelah CCTV dilihat dapat terlihat apa yang sebenarnya terjadi. "Lihat, kan... bukan aku yang menjegal dan membuat istrimu jatuh." Kania tersenyum puas, sebab CCTV yang baru saja disaksikan oleh Arga, Lalita dan juga dirinya memang tidak memperlihatkan perannya dalam membuat Lalita terjungkal. Melihat hal itu, Lalita diam-diam mengepalkan tangannya. Sebab, dia yakin jika benar Kania lah orang yang telah membuatnya celaka. CCTV mungkin tidak menangkap, karena kaki Kania tertutup oleh bagian gaunnya yang menjuntai hingga lantai. "Tapi Mas, aku merasa ada kaki yang menjegal kakiku." Lalita tetap bersikeras. Kania menatap Lalita dengan kesal, dengan mata yang berkaca dia berbicara lirih.
"Mas." Lalita memanggil Arga yang melamun. Panggilan Lalita sontak membuat pria itu menoleh, "Iya Sayang." Senyuman manis dia lempar ke istrinya. "Kamu memikirkan apa?" tanya Lalita lalu duduk di hadapan suaminya. Arga menggeleng, dia mengelak bahwa dirinya tengah melamun. "Aku tidak memikirkan apa-apa." Meski tau bila suaminya berbohong tapi wanita itu tidak bertanya kembali. "Ya sudah ayo makan siang, aku sudah lapar." Dia berusaha mencairkan suasana dengan mengatakan lapar karena dia tahu Arga pasti akan segera bertindak ketika dia lapar. Tapi.... Respon kali ini berbeda. "Kita makan roti ini saja, pekerjaanku masih banyak." Sambil menyodorkan roti gulung abon pemberian Kania tadi. Dengan tersenyum ketir, Lalita menatap sang suami yang kini malah membuka laptopnya. "Ya sudah aku keluar sendiri, kamu saja yang makan roti ini." Arga yang biasanya selalu perhatian kali ini sedikit berbeda, dia mempersilahkan Lalita keluar makan siang sendiri tanpa ada niatan untuk
Lalita membalikkan badan hendak pergi, tapi tiba-tiba dia berubah pikiran, dia masuk ke dalam dan melihat suaminya bercanda gurau dengan Kania. Mereka yang asik makan tidak memperhatikan Lalita yang masuk, wanita itu berjalan terus dan langsung duduk di samping Damar. "Kenapa saya tidak diberitahu? jika ada acara makan-makan seperti ini?" Damar yang tengah makan jadi tersedak, pria itu tak menduga bila Lalita menyusul sendiri. "Nona Lalita." Damar menjadi pucat pasi. Sementara Damar pucat pasi, Lalita justru tersenyum wanita itu kemudian menatap nanar suaminya yang malah disuapi oleh Kania. Damar menjelaskan apabila ini adalah rencana para petinggi kantor yang ingin merayakan ulang tahun Arga. "Memang kamu sengaja tidak diberitahu agar tidak menimbulkan kecurigaan dan inilah alasan tadi aku mengajak kamu ikut kami." Wanita itu kembali tersenyum. Arga kini gantian menyuapi Kania dan saat itulah dia menengok ke belakang. "Sayang!" Dia segera meletakkan makanan yang