"Pak Arga." Di ambang pintu terlihat direktur pemasaran datang ingin menghadap sang CEO. "Masuk." Titah Arga dingin. Ketika perintah masuk diterima, pria paruh baya itu berjalan mendekat. "Ini laporan detail pemasarannya Pak Arga." Setumpuk berkas Pak Hutama letakkan di atas meja. Tanpa ekspresi pria itu mengambil berkas-berkas yang baru diletakkan, dia segera mengecek. Usai membaca sekilas, Arga kembali menutup berkasnya dan meletakan kembali di atas meja. "Baiklah berkasnya akan saya pelajari." Masih dengan ekspresi datarnya. Arga kembali mengerjakan pekerjaannya, tapi melihat bayangan Pak Hutama yang tak kunjung pergi pria itu kembali menoleh. "Apa ada yang ingin dibicarakan lagi?" Pak Hutama nampak ragu, tapi.... Sesaat kemudian dia membuka suara. "Pak Arga saya mohon maafkan Kania, dia sekarang sakit dan ingin bertemu dengan anda." Terlihat pria tua itu sangat sedih. Kekesalannya terhadap Kania sampai sekarang masih teringat, andai saja malam itu dia tidak
"Nggak papa lah Mas daripada nggak sama sekali," bujuk Lalita sambil mengelus lengan suaminya. Suaminya memaksakan senyum kemudian dia mengangguk. Di tempat tidur kini mereka sekarang, ciuman bertubi-tubi yang Lalita dapatkan membuat dirinya naik ke awan, hasrat yang tidur selama tiga Minggu sekarang menggelora, bahkan dia sudah tidak sabar merasakan milik suaminya yang perkasa. "Mas jangan lama-lama." Wanita itu memohon dengan tubuh yang terus menggeliat. Paham akan keinginan istrinya, Arga segera melakukan penyatuan. Kamar yang sunyi menjadi berisik karena ulah pasangan itu, tubuh yang bekerja keras membuat keringat keluar cukup banyak meski ruangan itu bersuhu rendah. Kenikmatan yang pria itu berikan membuat sang wanita mendesah hebat hingga tubuhnya menegang yang tandanya dia mendapatkan puncak kenikmatan. Sementara dirinya melemas, Arga masih bekerja keras untuk mengejar pelepasannya dan sampailah dia di puncak klimaks. Dengan nafas memburu pria itu terkapar di sam
Pagi itu Lalita turun dengan pakaian formalnya, dia yang benar-benar bosan memutuskan pergi ke kantor lebih awal dari kesepakatannya bersama Arga kemarin. "Kenapa berpakaian seperti ini?" Arga menatap Lalita tajam. "Saya masuk hari ini saja ya Mas, udah nggak papa kok." Wanita meyakinkan suaminya apabila dirinya sudah siap kerja. Awalnya Arga tidak setuju tapi Lalita terus memaksa sehingga dia pun menurut. "Baiklah." Saking senangnya diijinkan kerja lebih awal, Lalita menjatuhkan sebuah kecupan di bibir suaminya. Niatnya hanya ingin mengecup sekilas tapi Arga malah memegangi tubuhnya. Lalita melongo, dia berusaha melepas bibirnya tapi tangan Arga seolah mengunci dan tidak membiarkan tubuhnya bergerak. Alhasil, keduanya tetap dalam posisinya dalam waktu yang lama. Yang tanpa mereka sadari ada langkah kaki datang mendekat. "Aish kalian ini, kenapa mesra-mesraan diluar." Pria tua itu menarik kursi. Panik ada Kakek Lalita menggigit bibir Arga hingga suaminya memekik kesakit
"Lalita menuduhku Arga!" Kania tak terima. "Tadi jelas-jelas ada yang menjegal kakiku Mas," sambil melihat Kania. Kania dan Lalita terus berdebat hingga Arga melerai mereka dengan ucapannya. "Sudah! sudah! kita lihat CCTV saja untuk lebih jelasnya!" Arga meminta Damar untuk menunjukkan CCTV dan setelah CCTV dilihat dapat terlihat apa yang sebenarnya terjadi. "Lihat, kan... bukan aku yang menjegal dan membuat istrimu jatuh." Kania tersenyum puas, sebab CCTV yang baru saja disaksikan oleh Arga, Lalita dan juga dirinya memang tidak memperlihatkan perannya dalam membuat Lalita terjungkal. Melihat hal itu, Lalita diam-diam mengepalkan tangannya. Sebab, dia yakin jika benar Kania lah orang yang telah membuatnya celaka. CCTV mungkin tidak menangkap, karena kaki Kania tertutup oleh bagian gaunnya yang menjuntai hingga lantai. "Tapi Mas, aku merasa ada kaki yang menjegal kakiku." Lalita tetap bersikeras. Kania menatap Lalita dengan kesal, dengan mata yang berkaca dia berbicara lirih.
"Mas." Lalita memanggil Arga yang melamun. Panggilan Lalita sontak membuat pria itu menoleh, "Iya Sayang." Senyuman manis dia lempar ke istrinya. "Kamu memikirkan apa?" tanya Lalita lalu duduk di hadapan suaminya. Arga menggeleng, dia mengelak bahwa dirinya tengah melamun. "Aku tidak memikirkan apa-apa." Meski tau bila suaminya berbohong tapi wanita itu tidak bertanya kembali. "Ya sudah ayo makan siang, aku sudah lapar." Dia berusaha mencairkan suasana dengan mengatakan lapar karena dia tahu Arga pasti akan segera bertindak ketika dia lapar. Tapi.... Respon kali ini berbeda. "Kita makan roti ini saja, pekerjaanku masih banyak." Sambil menyodorkan roti gulung abon pemberian Kania tadi. Dengan tersenyum ketir, Lalita menatap sang suami yang kini malah membuka laptopnya. "Ya sudah aku keluar sendiri, kamu saja yang makan roti ini." Arga yang biasanya selalu perhatian kali ini sedikit berbeda, dia mempersilahkan Lalita keluar makan siang sendiri tanpa ada niatan untuk
Lalita membalikkan badan hendak pergi, tapi tiba-tiba dia berubah pikiran, dia masuk ke dalam dan melihat suaminya bercanda gurau dengan Kania. Mereka yang asik makan tidak memperhatikan Lalita yang masuk, wanita itu berjalan terus dan langsung duduk di samping Damar. "Kenapa saya tidak diberitahu? jika ada acara makan-makan seperti ini?" Damar yang tengah makan jadi tersedak, pria itu tak menduga bila Lalita menyusul sendiri. "Nona Lalita." Damar menjadi pucat pasi. Sementara Damar pucat pasi, Lalita justru tersenyum wanita itu kemudian menatap nanar suaminya yang malah disuapi oleh Kania. Damar menjelaskan apabila ini adalah rencana para petinggi kantor yang ingin merayakan ulang tahun Arga. "Memang kamu sengaja tidak diberitahu agar tidak menimbulkan kecurigaan dan inilah alasan tadi aku mengajak kamu ikut kami." Wanita itu kembali tersenyum. Arga kini gantian menyuapi Kania dan saat itulah dia menengok ke belakang. "Sayang!" Dia segera meletakkan makanan yang
Keesokan harinya di jam makan siang, Rangga dan Gilang datang ke Winata Group. Kedua pria tampan ini kehadirannya di kantor Arga cukup membuat heboh, apalagi sikap Rangga yang hangat pada staf sahabatnya. Berbeda dengan Arga, Rangga selalu membalas sapaan para staf meskipun sapaan mereka hanya sekedar iseng saja.Di depan ruangan CEO kini mereka berada, begitu masuk kedua bola mata Rangga memutar mencari keberadaan Lalita.Melihat Rangga, Arga tersenyum puas. "Syukurlah aku sudah menyuruh Lalita pergi makan siang terlebih dahulu." Batin Arga.Pria itu senyum sendiri merasa bangga akan kecerdasannya yang memilki ide brilian sehingga Rangga tidak melihat istrinya.Sekian menit dari kehadiran Rangga dan Gilang, Damar turut bergabung."Mohon maaf Pak Arga, Pak Hutama keluar makan siang. Apa tidak sebaiknya kita juga makan siang." Damar menyarankan makan siang.Arga nampak kecewa padahal rencananya dia meeting di jam makan siang sehingga Rangga dan Lalita tidak bertemu."Benar kata Pak Dam
Rasa kesal Arga terus bergejolak tatkala teringat akan tatapan Rangga yang begitu hangat terhadap Lalita."Ah, sial!" Pria itu membanting berkasnya.Melihat perilaku sang suami, Lalita pun bangkit lalu berjalan ke meja sang suami."Kenapa sih Mas?" Wanita itu berdiri di samping Arga."Aku masih kesal sama Rangga." Ucapnya ketus.Lalita menghela nafas dalam-dalam, hanya sebuah tatapan sangat dipermasalahkan lantas bagaimana sikapnya dengan Kania?"Kenapa sih Mas kamu jadikan masalah. Toh kami juga tidak ada hubungan apa-apa." Mendengar kalimat itu mata tajam Arga segera melesat, "Jelas jadi masalah, Rangga menyukai kamu Sayang!" Emosi pria itu merangkak naik.Lalita tersenyum, "Nggak enak kan Mas rasanya." Sambil menatap Arga dengan nanar.Raut wajah kesal tiba-tiba berubah menjadi raut wajah bingung, bahkan alisnya mengkerut. "Apa maksud kamu?!""Ya begitu yang aku rasakan ketika Kania dekat sama kamu." "Tapi kan aku dan Kania hanya berteman Sayang jelas berbeda apabila dibanding ka