Keduanya sama-sama berpikir sekarang, Lalita mulai ragu dengan perasaan Arga terhadapnya. Entah ini hanya sekedar rasa cemburu atau memang Arga tidak mencintainya. Ramai dengan pikirannya tak terasa dia menggeleng.Hal ini membuat Rangga menoleh. "Kamu kenapa?" Pertanyaan terlontar. Lalita kembali menggeleng sambil menatap Rangga. Tak ingin Lalita bersedih, Rangga membawa istri sahabatnya ke sebuah danau. Danau itu adalah danau buatan yang ada di dalam komplek perumahan elite miliknya. "Di kota yang sangat ramai seperti ini, saya tak menyangka ada danau indah nan asri begini Pak." Wanita itu tak percaya dengan apa yang dia lihat. Rangga tersenyum kemudian dia mengajak Lalita untuk turun. "Tunggu Pak," Dia berteriak sambil berusaha melepas safety belt. "Ada apa?" Tanya Rangga yang menutup kembali pintu mobilnya. "Sulit sekali dilepas Pak," sahut Lalita. Pria itu mendekatkan tubuhnya, berusaha membantu Lalita yang dalam kesusahan. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Lalita
"Siapa yang berbohong kakek memang tidak enak badan." Meski sudah ketangkap basah tapi Arga masih saja mangkir. Lalita hanya bisa menghela nafas, dia maklum karena memang begitulah suaminya. Karena tak ingin mengganggu waktu istirahat sang Kakek, Lalita pamit kembali ke kamarnya. Tau istrinya berjalan keluar, Arga pun segera menyusul meninggalkan kakek yang heran akan sikap cucu serta cucu menantunya. "Sayang tunggu." Langkah lebarnya membuat Arga dengan cepat bisa menyusul sang istri. Lalita tetap berjalan tanpa menggubris Arga yang kini berada di sampingnya. "Kamu kenapa sih!" Pria itu mulai protes dengan sikap tak peduli Lalita. "Aku lelah Mas," jawab Lalita pelan. Lelah fisik, lelah hati serta lelah pikiran benar-benar membuat Lalita malas berbicara. Setelah di kamar, Lalita merebahkan dirinya di tempat tidur, dia ingin mengistirahatkan sejenak pikirannya. Sementara itu, Arga yang masih kesal mencoba meluapkan amarahnya kepada sang istri. "Lain kali jangan keluar sa
Lirikan Arga menjadi tatapan yang sangat tajam, dapat dilihat apabila dia begitu kesal mendengar kalimat permohonan ijin istrinya. "Apa maksudmu kesana dengan Rangga! kamu pikir aku apa!" Lalita meringis, dia sudah menduga respon Arga akan seperti ini apabila dia menyebut nama Rangga. "Lalu aku kesana sama siapa Mas? sedangkan kamu suamiku malah pergi dengan wanita lain." Kalimat sindiran sengaja Lalita ucapkan, dia berharap suaminya berubah pikiran jika tidak maka dia akan kalah taruhan dengan Kania. "Kesana bersamaku!" Dua kalimat dari Arga membuat Lalita tersenyum senang, akhirnya dia lah pemenang taruhannya. Senang karena menang taruhan wanita itu mencium pipi suaminya dan dengah hati berbunga dia kembali ke meja kerjanya. Melihat sikap istrinya, CEO itu juga tersenyum. Setelah ciuman itu mereka berdua memutuskan untuk baikan dan saling meminta maaf.Jam pulang telah tiba, Arga dan Lalita yang ingin mempersiapkan malam ini pulang terlebih dahulu, sedangkan Kania yang
Arga segera menarik tangan Lalita, sedangkan Rangga yang terjungkal segera bangun. "Arga jangan menyakitinya." Meski dirinya sendiri kesakitan namun Rangga tetap mengkhawatirkan Lalita. Bukannya mendengar ucapan Rangga, Arga malah berujar pedas dengan mengatai Rangga. "Diam lah Pengkhianat!" Mendengar itu semua Lalita menjadi kesal, dengan keras dia melepaskan diri dari tangan Arga. "Cukup Mas, cukup! Pak Rangga tidak seperti yang kamu pikirkan!" Dia berujar dengan lantang membela Rangga. Kalimat pembelaan dari Lalita membuat emosi Arga merangkak. Tangan pria itu mengepal, rahangnya juga mengeras. "Kamu membelanya!" Sambil menunjuk Rangga. Sesaat kemudian dia tertawa sinis, "Owh, aku tahu sekarang, kalian memang ada hubungan di belakang aku." Tak terima dituduh demikian, Rangga menyangkal keras, "Kami tidak ada hubungan apa-apa, kamu salah sangka Arga!" "Mana ada maling yang mau ngaku!" Arga yang sudah terbakar emosi tidak bisa lagi berpikir jernih. Kini tatapan pr
Keesokan harinya Arga langsung pergi ke kantor tanpa sarapan, dia yang masih memendam amarah enggan untuk makan apapun pagi itu.Sesampainya di kantor, Damar datang menghadap melaporkan Lalita yang ijin tidak masuk hari ini."Beraninya ijin tidak masuk, dia pikir perusahaan milik siapa!" Dengan ekspresi marah, dia menatap sang asisten. Mendengar ucapan CEO-nya pria berkacamata itu menyahut dalam hati, "Milik suaminya." Sementara Arga marah di kantor, Lalita di rumah ibunya sibuk di taman kecil di belakang rumah. Dia berusaha menyingkirkan pikirannya tentang Arga."Kamu tidak bekerja?" Tanya sang ibunda yang berjalan mendekat ke arah Lalita. Wanita itu tersenyum, dia meletakkan gunting besar yang dia pegang untuk menggunting dahan dan daun. "Lalita sudah ijin Ibu.,""Bagaimana dengan Arga?" Kembali sang ibu mengajukan pertanyaan.Lalita menghela nafas, dia masih menyimpan kekesalan terhadap suaminya. "Lalita masih kesal dengan Mas Arga ibu, dia juga tidak datang untuk menjemput Lal
Kalimat Lalita membuat pria itu terdiam, dia mulai dapat menilai sikapnya. Kata maaf kembali terucap, bahkan janji dia ucapkan untuk meyakinkan sang istri. "Aku tidak butuh janji Mas, aku butuh bukti." Lalita melepaskan pelukan Arga dia tetap memilih keluar dan meninggalkan suaminya yang masih mematung di dalam mobil. Tak jauh dari parkiran, Kania berdiri menatap mobil Arga. Awalnya dia ingin pergi tapi setelah tau Lalita keluar dan menjauh dari mobil sahabatnya dia memutuskan berbalik. Kania berjalan mendekat, mengetuk kaca mobil.Sesaat kemudian, Arga keluar. "Kamu baik-baik saja Arga?" tanya Kania."Iya, ayo kembali ke kantor." Pria memilih tidak melanjutkan makannya.Tak ada yang bisa Kania lakukan selain menurut apa yang Arga perintahkan.Sepanjang jalan, Arga hanya diam berbeda sekali dengan saat mereka berangkat tadi. "Arga kamu baik-baik saja?" Dia menjatuhkan tangan di pundak Arga. "Iya baik," sahut Arga tanpa melepaskan pandangannya. Kania tersenyum, dia paham pasti
"Kamu mau apa Mas?" Gestur waspada telah Lalita siapkan, dia cukup tau apa yang akan suaminya lakukan dengan tatapan licik seperti ini.Meskipun sang istri sudah memasang kewaspadaan namun Arga cukup cerdik membaca situasi sehingga dia bisa mencuri momen saat Lalita lengah.Alhasil tubuh istrinya terkunci dengan tubuhnya yang kekar."Mas jangan macam-macam," ujar wanitanya dengan kesal. "Aku nggak macam-macam hanya satu macam saja." Wajah liciknya semakin terlihat jelas.Tapi.... kekhawatirannya sirna setelah tangan Arga mengelus wajahnya dengan lembut.Arga berharap Lalita mempercayainya lagi karena saat ini dia benar-benar ingin memperbaiki semua.Arga membawa Lalita dalam pelukannya, dan di dalam pelukan suaminya dia merasa aneh. Tiba-tiba rasa mual datang menyerang, hingga tangannya mendorong tubuh Arga dengan kuat. "Mas aku mual." sambil menutup mulutnya.Mengetahui istrinya yang tiba-tiba mual, Arga jadi panik. "Kamu sakit sayang?" Nada khawatir terdengar jelas dari mulut pria
Lalita kembali muntah, tubuhnya benar-benar lemas namun rasa mual terus memaksa dirinya mengeluarkan isi yang ada di dalam perut. "Kamu kenapa sih Sayang?" Pria itu semakin khawatir. "Bau kamu Mas," Lalita meminta Arga untuk sedikit menjauh darinya.Masih dalam kebingungan, Arga mencium bau tubuhnya sendiri tapi bau tubuhnya wangi lantas kenapa Lalita memintanya menjauh?"Sayang aku rasa tidak ada yang salah dengan bau badanku? lagipula aku sudah mandi" Arga membujuk Lalita agar dia bisa mendekat.Namun baru berjalan satu langkah Lalita sudah mencegahnya. "Justru bau wangi itu Mas yang membuat aku mual." Kembali Arga dirundung kebingungan, dia masih tidak paham dengan apa yang terjadi dengan Lalita, bagaimana bisa bau wangi membuat mual? "Aneh sekali," gumamnya pelan.Dirasa mualnya sudah reda, Lalita meminta Arga keluar karena dia juga ingin keluar.Kini Lalita duduk di atas tempat tidur, sementara Arga duduk di sofa. "Sayang kapan aku boleh mendekat?" Dia begitu ingin berada disa
Buru-buru Amira melepaskan diri, dia segera menunduk, "Maafkan saya Pak." "Tidak apa-apa." Sahut Rangga. Amira segera pamit pergi sementara Rangga terus menatap punggung wanita itu. "Apa dia yang kupaksa malam itu?" Tak ingin terus memikirkan Amira, Rangga kembali ke ruangannya.Di atas mejanya sudah banyak berkas yang menumpuk, padahal ketika dia pergi tadi mejanya sudah kosong. "Apa lagi ini." Gumamnya yang merasa malas mengerjakan berkas-berkas tersebut. Tak selang lama, Gilang datang melapor. Dia menunjukkan salah satu desain yang perusahaan perlukan. "Bagus sekali siapa yang mendesain?" tanya Rangga sambil menelisik desain yang diberikan oleh Gilang. "Amira salah satu pegawai magang." Jawab Gilang. Rangga mengerutkan alisnya, "Apa dia yang tadi menghadap?" Kini tatapannya beralih ke Gilang. Asisten itu mengangguk, dia kembali menunjukkan desain Amira yang lain. CEO tampan nan hangat itu mengukir senyuman, "Dia lagi." Sungguh Rangga tak menyangka, jika seorang
Rangga dillanda kebingungan hingga dia menemukan sebuah catatan kecil yang terjatuh di lantai. Senyum pria itu merekah, "Ternyata." kini dia tahu siapa wanita yang telah dia paksa untuk melayani hasrat biologisnya semalam. Amira Ningrum, seorang gadis muda yang kini magang di kantor Rangga, semalam dia berada di club karena diminta menghadiri pesta teman sekelasnya dulu. Alhasil dia yang ingin pulang terlebih dahulu malah nyasar.. Namun siapa sangka, gadis polos itu justru berakhir di tempat tidur bersama CEOnya sendiri. Semalaman Amira memikirkan hal tragis yang terjadi padanya namun dia juga tidak berani berkomentar atau menceritakan nasib tragisnya kepada sang teman. "Aku perhatikan dari semalam kamu terlihat sedih, ada apa?" tanya Vina yang merupakan teman seperjuangannya. "Apa terjadi sesuatu ketika di club semalam?" Kembali Vina melanjutkan ucapannya. "Tidak apa-apa Vina, aku hanya teringat akan almarhum adik," sahut Amira berbohong. Tak ingin membuat Vina terus bertanya
Pikiran Arga sangat liar sehingga dia mengajak sang istri bercinta diluar ruangan, Lalita yang awalnya menolak kini justru merasa senang. Sungguh ide suaminya kini sangat brilian, bercinta di bawah sinar rembulan yang diiringi suara ombak benar-benar pengalaman bercinta yang amazing. "Ini akan menjadi kenangan yang sangat indah" Arga nampak ngos-ngosan setelah mendapatkan pelepasannya. "Iya Mas ternyata seru ya." Ujar Lalita. Sementara Arga dan Lalita menikmati malam panas mereka diluar ruangan, Rangga duduk sendiri di teras villanya yang mengadap kelaut. Dia meminta Gilang untuk membawakan sebotol minuman beralkohol, dia ingin menikmati malam di pulau dewata sembari menghangatkan tubuh. "Anda yakin ingin minum pak?" Gilang nampak mengerutkan alisnya. "Sedikit minum aku rasa tidak apa-apa, malam sangat dingin." Sahut Rangga sambil tersenyum. Tiba-tiba ingin minum bukan tanpa alasan, pria itu sangat stres dengan perasaannya. Awalnya dia dang Gilang nampak baik-saja
Hari yang ditentukan untuk pergi berlibur telah tiba, Satu jet pribadi khusus untuk CEO dan asistennya satu lagi pesawat pribadi untuk para petinggi kantor. "Mari kita berangkat." Gilang terlihat sangat senang. Dia melangkahkan kaki terlebih dahulu menaiki tangga jet tersebut. Para CEO yang biasanya berpakaian formal kini menjelma pria casual dengan tampilan santainya. Sungguh pemandangan yang sangat meremajakan mata. "Astaga Mas Rangga ganteng banget." Mata Lalita terus menatap Rangga yang berpakaian kasual ala-ala anak muda. Mendengar puja-puji yang keluar dari mulut istrinya tentu membuat Arga cemburu. "Kamu pikir dia saja yang ganteng!" Ujarnya kesal. "Iya lah Mas.... " Tanpa sadar Lalita berkata demikian, namun beberapa detik kemudian wanita itu menutup mulutnya. Dia terkekeh menatap Arga. "Maksud aku setelah kamu Mas." Rangga tersenyum senang, meski tidak bisa memiliki Lalita paling tidak wanita itu ngefans pada dirinya. "Pindah ke pesawat satunya Rangga." Tak senang A
Pria itu segera bangkit, dia mencoba membangunkan Kania tapi agaknya wanita itu tidak mau membuka matanya. Segera Damar menggendong tubuh Kania untuk dibawa ke rumah sakit. "Sayang kamu kenapa!" Damar terlihat begitu panik. Memiliki skil mengemudi yang cukup baik membuat dia dengan cepat tiba di rumah sakit. Segera Damar memanggil suster, dan setelah dilakukan pemeriksaan Dokter mengatakan jika Kania kekurangan nutrisi. "Bagaimana bisa dia kekurangan nutrisi?" Damar begitu syok. "Apa istri anda diet?" tanya Sang dokter. "Sepertinya tidak." Jawab Damar ragu-ragu. Tapi jika diingat lagi, beberapa hari ini dia tidak melihat istrinya makan berbeda dengan sebelumnya. Mengingat hal yang memicu pingsan adalah kekurangan nutrisi Dokter segera mengalihkan pemeriksaan Kania ke dokter kandungan, bagaimanapun juga kondisi calon bayi di dalam harus diperiksa. Ketika dokter melakukan USG, kerutan-kerutan terlihat di dahinya, pemeriksaan awalnya menunjukan satu janin saja tapi mengapa tiba
Seiring berjalannya kehidupan Arga dan Lalita normal kembali, siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang suaminya. "Mas." Lalita berjalan menuju meja kerja sang suami. Sementara Arga yang sangat fokus dengan pekerjaannya tidak menyadari kedatangan sang istri. Dia mengira suara langkah kaki yang mendekat adalah langkah sekertarisnya Mawar. Tanpa meliaht dia mengusir sekertarisnya itu yang sebenarnya adalah sang istri. "Letakkan berkasnya lalu pergilah!" Ujar Arga. Lalita hanya tersenyum melihat sang suami. "Aku baru datang tapi kamu sudah menyuruh pergi saja Mas." Sahut Lalita. Sangat mengenal suara itu dengan jelas, Arga pun mengalihkan pandangannya. Dia terkejut jika yang berada di hadapannya adalah sang istri. "Sayang." Dia pun menjeda pekerjaannya. Senyumam manis Arga tunjukkan. "Aku ngantar makan siang tapi malah diusir." Goda Lalita sambil tertawa. "Maaf Sayang, aku kira sekretaris aku." Arga menjelaskan. CEO itu mengajak Lalita dudu
Lalita terus larut dalam kesedihan, membuat Arga tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sudah membujuk Lalita tapi istrinya terus saja bilang dia harus mengerti. "Terserah kamu lah Sayang." Pagi itu Arga pergi ke kantor dengan marah. Dia sudah tidak bisa mentolerir sikap Lalita lagi, bukan tidak boleh bersedih tapi suami juga ada batasannya. Kekecewaan serta kekesalannya kepada sang istri Arga alihkan ke pekerjaan sehingga pria itu perlahan gila kerja kembali. Pagi buta dia berangkat larut baru pulang, tak terasa sudah sebulan dia seperti itu. Malam itu, Arcello demam tinggi. Baby Sitter sangat panik dan bingung. "Bagaimana ini." Seraut wajah bingung terlihat. Dengan langkah cepat dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar majikannya. Tak berselang lama, Lalita keluar. "Maaf Bu, Tuan Arcello demam." Lalita sangat panik lalu dia berlari ke kamar sang anak. Segera wanita itu membawa Arcello ke rumah sakit, seusai diperiksa Dokter meminta Arcello agar di rawat mengingat bayi setahu
Pria itu terus menatap istri sahabatnya, meski dokter bilang keadaan Lalita baik-baik saja dia tetap saja khawatir bahkan jika Lalita tak kunjung siuman maka dia akan meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tak selang lama Lalita siuman, dia menangis lagi mencari ibunya. "Lalita! terimalah kenyataan jika ibu sudah tiada! kamu pastinya paham jika kita tidak boleh meratapi!" Selama kenal dengan Lalita, inilah kali pertama Rangga membentaknya. "Sabar lah, relakan kepergian ibu." Ujar pria itu kemudian. Wanita itu mengangguk, dan untuk kesekian kalinya Rangga membawa wanita rapuh itu ke dalam pelukannya. "Ada aku Lalita, ada suami kamu, biarkan ibu pulang dengan tenang." Rangga semakin mengerutkan pelukannya. Lalita yang terbawa suasana juga memeluk Rangga dengan erat, dia kini bak seorang adik yang tengah memeluk kakaknya. Sementara itu disisi lain, Arga barus selesai rapat. Dia yang lupa tidak membawa ponsel tentu tidak bisa dihubungi. Kedua netra
"Ibu kenapa meminta maaf." Lalita menggenggam tangan ibundanya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memercing kesakitan. Melihat keadaan wanita tak berdaya itu, Rangga segera memanggil Dokter. Dia tentu tidak ingin terjadi apa-apa dengan ibunda Lalita. Tak berselang lama, dokter datang. Mereka segera diminta untuk memeriksa ibunda Lalita kembali. Dokter menunduk, Rangga yang tau ekspresi ini mengajak sang dokter bicara diluar. "Apa yang terjadi dengan pasien Dok?" Pria hangat itu bertanya dengan tatapan tajam. Ekspresi ketakutan tersirat di wajah sang dokter sehingga membuat Dokter penyakit dalam itu hanya diam. "Apa yang terjadi?" Suara Rangga mencuat. Segera Dokter menatap orang yang paling berkuasa di rumah sakit itu, "Dari hasil tes pencitraan rontgen, sel berbahaya sudah menyebar ke seluruh tubuh pasien itulah yang menyebabkan kami bingung harus bagaimana Pak Rangga." Ujar dokter. "Kenapa sebagai dokter kamu bingung! cepat bertindak!" Rangga yang tidak ingi