Lalita terus memikirkan ucapan Arga di mobil, apa sudah saatnya dia memberikan mahkotanya? "Tidak, aku masih takut. Katanya sakit sekali." Wanita itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Perlahan wanita itu membalikkan badannya menatap Arga yang sudah terlelap dalam tidurnya. "Apa anda benar-benar menginginkan hal itu???" ##### "Arga, Papa mengundang kamu untuk makan malam sekalian ada yang ingin beliau sampaikan ke kamu." Kania menyampaikan pesan papanya. Arga dengan tegas menolak, dia mengatakan bila ada yang disampaikan cukup disampaikan di kantor saja tanpa tidak usah bertele-tele seperti ini. Raut wajah sedih Kania mencuat, wanita itu bergeming hingga sekian detik kemudian dia berbicara, "Apa kamu tidak menganggap kami keluarga lagi Arga?" Pria itu nampak menghela nafas, dia hanya tidak ingin istrinya kecewa seperti beberapa waktu yang lalu. "Mengertilah Kania, aku dan Lalita sudah menikah." Wanita itu tersenyum ketir, dia sebenarnya sudah tahu apabila Arga dan Lalita
"Kalau begitu... mari kita lakukan, Mas." Usai berucap demikian Lalita memejamkan matanya, malam ini mungkin akan menjadi malam bersejarah dalam hidupnya, malam dimana dia memberikan mahkotanya kepada Arga suami dinginnya. Mendapatkan lampu hijau dari istrinya, Arga tidak membuang waktu lagi, dia melepas setiap kancing bajunya. "Setelah ini, tidak ada kesempatan untuk mengubah pikiranmu, Lalita." Melihat tubuh kekar sang suami membuat jantung Lalita berpacu dengan cepat, wajahnya juga menjadi pucat pasi. Arga segera membawa tubuh Lalita ke ranjang, dia mulai menyatukan bibirnya dengan bibir sang istri."Ahh...." Serangan bertubi-tubi Lalita dapatkan, pria itu bermain dengan ganas mungkin karena pengaruh obat yang baru dikonsumsinya.Keganasan Arga benar-benar membuat Lalita kewalahan. Dia tidak merasa sakit, hanya saja... dia serasa terus dipacu oleh Arga. "T-tolong, pelan-pelan, Mas....""Maaf Sayang." Dengan mata yang mengisyaratkan berbeda. Kata maaf terucap bukan bera
"Ingat-ingat lagi kebersamaan kita dulu Arga, aku yang selalu ada untuk kamu!" Kania mencoba mengingatkan Arga akan masa lalu. Tapi.... Pria itu menyebik, masa lalu hanya lah masa lalu yang tidak perlu diingat lagi. "Masa lalu itu tidak penting buatku Kania." Kania melemas, obsesi terhadap Arga membuatnya kehilangan segalanya tak hanya pekerjaan bahkan Arga telah memutuskan persahabatan yang lama mereka jalin. "Arga pikirkan lagi," pintanya dengan memohon. Arga kali ini tidak bisa dibujuk, sebanyak apapun Kania memohon keputusannya tidak dapat diubah. Di sisi lain, Lalita yang merasa sakit hati pergi ke rooftop, dia terus saja merutuki kebodohannya karena dengan mudah terbujuk rayuan Arga, padahal perjanjian itu bisa saja diubah oleh Arga kembali. "Sudah berhasil meniduri ku kini mau dekat lagi sama Kania itu!" Kekesalan Lalita semakin memuncak ketika teringat akan desahannya di bawah Arga kemarin. "Tapi pada waktu itu aku juga menikmatinya, Arrrggggg," dia memegangi k
Setiap hari Arga dan Lalita menikmati masa-masa indah mereka, nggak di rumah maupun di kantor Arga selalu ingin bersama istrinya. "Bucin akut." Damar menggelengkan kepalanya. Suatu hari Rangga dan Gilang datang ke Winata Group, pembangunan proyek mereka sudah berjalan oleh karenanya ada yang harus dibahas kembali. "Kenapa ruangan Arga dikunci?" CEO siputra Group dan asistennya pergi ke ruangan Damar untuk bertanya. "Sudah menjadi kebiasaan Pak Arga, setiap mendekati jam istirahat pasti seperti itu." Sambil menyiapkan berkas, Damar menjawab pertanyaan Rangga. "Memangnya apa yang dilakukan Pak Arga?" sahut Gilang. Raut wajah Damar berubah menjadi bingung, apa dia harus mengatakan aib atasannya kepada sahabat plus mantan rivalnya itu? "Olahraga." Kata kiasan itu yang bisa Damar katakan. Kerutan kerutan di dahi kedua pria tampan itu semakin kentara, siang-siang olahraga di kantor? ngapain? Mereka saling tatap masih dengan ekspresi bingungnya. "Tiga puluh menit lagi, kit
Arga mengulurkan tangannya, membantu sang istri naik pesawat. "Ini pertama kali saya naik pesawat Mas," ujar Lalita dengan grogi. Arga yang hampir selalu naik pesawat nampak heran, bagaimana bisa ada orang yang belum pernah naik pesawat. "Kamu dari peradaban mana? hingga belum pernah naik pesawat." Bukannya rasa iba pria itu malah mengejek sang istri. Ejekan Arga membuat Lalita kesal, biaya naik pesawat sangat mahal, tidak semua kalangan bisa naik pesawat. Namun kekesalan Lalita sirna setelah dia masuk ke dalam jet, matanya pun membulat sempurna. "Mas ini pesawat tipe apa? kenapa dalamnya begini?" Wanita itu nampak heran, setaunya dalam pesawat adalah deretan kursi penumpang padahal untuk pesawat kelas bisnis atau pesawat milik konglomerat berbeda. "Tipe tertinggi," sahut Arga dengan tertawa. Arga menggandeng tangan istrinya menuju tempat duduk mereka. "Empuk sekali Mas." Cuitan Lalita mengundang tawa Arga kembali. Setelah memastikan semua aman, pesawat pun siap
Dari Inggris mereka ke Negara Prancis, dan kota yang menjadi pilihan mereka adalah Kota Mode Paris, kenapa Paris menjadi pilihan? itu Karena Lalita ingin mengunjungi menara Eiffel. "Astaga Mas, bagus sekali." Lalita begitu takjub dengan keindahan menara itu. "Iya sayang, meksi aku kesini berkali-kali tapi tidak pernah bosan," sahut Arga. Sejurus kemudian, Arga memeluk Lalita. Dia mengungkapkan betapa bahagianya dia saat ini berkunjung ke manara Eiffel bersama orang yang dia cintai. "I Love You Sayang." Kata cinta pertama akhirnya terucap. Dengan senyuman bahagia, Lalita melepas pelukan sang suami. Dia berlari mendekati menara Eiffel sambil berteriak, "Eiffel im in love...." Arga pun turun mengejar Lalita, ini bukan drama maupun sandiwara tapi benar-benar adegan pasangan suami istri yang saling jatuh cinta. Tak terasa dua Minggu telah berlalu, moment bulan madu mereka harus berakhir hari ini. Hari ini di negara Yunani mereka akan bersiap terbang kembali ke tanah air. "Dua Ming
Melihat ekspresi Arga membuat Lalita malah geli sendiri, sungguh suami dinginnya kini bermetamorfosis menjadi maniak mesum kelas kakap. "Sabar Mas." Niatnya ingin menenangkan sang suami tapi ternyata Arga semakin frustasi mendengar kalimat Lalita barusan. "Sabarku setipis tisu." Cicitnya pelan. Lalita yang sudah lapar mengajak Arga untuk turun, sudah waktunya untuk makan. Pulang bulan madu seharusnya menjadi hari bahagia tapi Arga malah kelihatan murung, di ruang makan dia juga terlihat hanya makan sedikit, tentu hal ini mencuri perhatian sang Kakek. "Kenapa makan sedikit sekali Arga?" Pria tua itu menatap sang cucu yang sudah selesai makan. "Tidak nafsu makan Kek," jawab Arga. Kini pandangan Kakek mengarah ke Lalita, "Suami kamu kenapa tidak nafsu makan? apa ada masalah?" Kalimat tanya Kakek membuat Lalita bingung harus menjawab apa. Belum sempat Lalita bersuara, Arga sudah menjawab pernyataan sang Kakek. "Tidak apa-apa Kek, Arga kurang enak badan saja. Maklum h
Para Dokter segera mengecek kembali keadaan Lalita, namun masih belum ada tanda-tanda sadar. Cukup lama menunggu tapi Lalita masih belum sadar sehingga Arga kembali mengamuk. "Kenapa istriku belum sadar juga! kalian bisa bekerja atau tidak!" Rasa khawatir Arga sudah memuncak. Dokter yang saat ini menangani Lalita tak tau harus bagaimana lagi, hal yang bisa dilakukan adalah memantau keadaan pasien. Di depan ruangan UGD, Arga mondar-mandir. Dia berharap istrinya segera sadar agar bisa mendapatkan penanganan selanjutnya. Rangga yang kebetulan berkunjung di rumah sakit miliknya tak sengaja melihat Arga, dia bergegas mendekat. "Arga apa yang kamu lakukan disini?" Raut wajah yang semula baik-baik saja kini entah mengapa turut khawatir. "Lalita di dalam, dia pingsan," jawab Arga. Jawaban sahabatnya membuat Rangga terkejut, sehingga banyak kalimat tanya yang dia lontarkan. "Jangan banyak bertanya Rangga! kamu membuat aku semakin pusing saja!" Dia berucap kesal. Rangga mengang