selamat malam kak, semoga suka sama ceritanya ya.... makasih
Kalimat Arga terhenti, pria itu meragu. Tatapannya mengarah ke Lalita yang sudah menatapnya, tatapan istrinya sungguh sendu. Apa Arga akan mengungkap statusnya? Disaat dirinya tengah bingung, Rangga menanti kelanjutan kalimatnya, dia penasaran dengan apa yang akan Arga sampaikan. "Lalita adalah apa Arga?" Arga hanya diam, kebingungannya semakin kentara. "Jika tidak ada yang ingin kamu sampaikan biarkan aku dan Lalita pulang," kembali Rangga berkomentar. Komentar Rangga membuatnya tertantang, tanpa pikir panjang dia menaikkan tangan Lalita dan tangannya. Terlihat dua cincin indah yang melingkar di jari manis mereka. "Kamu tahu kan Rangga, apa artinya ini?" Melihat cincin kawin mereka membuat Rangga sangat syok, tubuhnya terhuyung ke belakang. "Tidak mungkin Arga," ucapnya lirih. Rangga berucap demikian bukan tanpa alasan, dia cukup paham dengan sahabatnya itu, pria dingin yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada wanita tiba-tiba menunjukkan cincin kawin. Sej
"Maaf saya telat."Rangga masuk ruangan Arga dengan senyum sumringah, sedikit pembicaraan yang dia dengar tadi membuatnya bahagia dan saking bahagianya pria itu nyaris tidak bisa menyembunyikannya.Melihat wajah sumringah sahabatnya membuat Arga curiga bahkan pikiran negatif mulai muncul di kepalanya, "Dia sangat bahagia apa jangan-jangan....." Arga bermonolog sendiri dalam hati.Selang Rangga duduk, Arga berdiri dia ijin sebentar karena harus menghubungi seseorang.Diluar ruangannya Arga mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi sang istri, memastikan dimana istrinya saat ini."Kamu dimana?" Kalimat pertanyaan Arga segera lontarkan begitu Lalita menerima panggilannya."Saya di bawah bersama Mario Pak."Ada rasa lega, berarti istrinya dan Rangga tidak bertemu di rooftop seperti waktu itu.Pria itu kembali dengan perasaan lega, ternyata dia over thinking dengan rasa bahagia Rangga.Namun rasa leganya tidak bertahan lama setelah Lalita masuk ruangan, terlihat tatapan Rangga tertuju pada L
"Kenapa anda berpura-pura di depan Pak Rangga Pak?" Dengan tatapan heran Lalita menatap sang suami. "Aku memiliki alasan sendiri," sahut Arga. Lalita hanya bisa menghela nafas, ada rasa bersalah kepada Rangga tau bila maksud Arga untuk menyakiti Rangga dia pasti tidak akan mau mengikuti rencana suaminya itu. Malam itu Arga nampak sibuk di ruang kerjanya, entah apa yang dia kerjakan hingga larut malam pria itu masih di ruang favoritnya itu. Sementara Arga sibuk, Lalita terus memikirkan Rangga, rasa bersalahnya semakin menjalar kuat membuat matanya enggan mau terpejam. Saat pikirannya ramai akan rasa bersalah, terlihat Arga masuk dengan membawa berkas. "Kamu belum tidur?" tanya Arga heran. "Tidak bisa tidur Pak," sahut Lalita. Arga kemudian duduk di samping Lalita, dia memberikan berkas yang dibawanya. "Perjanjian kita yang baru." Lalita nampak heran, perjanjian baru? tangannya pun membuka satu persatu berkas itu. Kedua matanya membualt sempurna melihat isi dari berka
"Tidak penting Lalita," sahut Rangga. Wanita itu menghela nafas, apa sebaiknya dia mengatakan yang sebenarnya kepada Rangga? Saat dia dalam kebingungan suara Rangga mengejutkannya. "Lalita." "Iya Pak." Dia menatap Rangga dengan tersenyum. "Memang kami menikah kontrak Pak." Mendengar jawaban Lalita pria itu kembali bertanya, "Apa kamu mencintai Arga?" Tatapannya berubah sendu, dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan, tapi ketika Arga dekat dengannya wanita itu merasa nyaman. Senyuman ketir perlahan kentara, "Saya tidak tau Pak, tapi saya tidak suka apabila dia dekat dengan wanita lain, saya selalu menunggunya ketika dia pulang malam, saya juga khawatir ketika dia sakit dan masih banyak lagi keanehan lainnya." Jawaban Lalita cukup membuat Rangga sadar, bahkan pria itu tidak bisa lagi melanjutkan perasaannya. "Dia sering menindas saya tapi saya tidak membencinya." Lalita tertawa merutuki keanehannya. "Saya aneh kan Pak Rangga." Meski hatinya cidera tapi Rangga
Lalita terus memikirkan ucapan Arga di mobil, apa sudah saatnya dia memberikan mahkotanya? "Tidak, aku masih takut. Katanya sakit sekali." Wanita itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Perlahan wanita itu membalikkan badannya menatap Arga yang sudah terlelap dalam tidurnya. "Apa anda benar-benar menginginkan hal itu???" ##### "Arga, Papa mengundang kamu untuk makan malam sekalian ada yang ingin beliau sampaikan ke kamu." Kania menyampaikan pesan papanya. Arga dengan tegas menolak, dia mengatakan bila ada yang disampaikan cukup disampaikan di kantor saja tanpa tidak usah bertele-tele seperti ini. Raut wajah sedih Kania mencuat, wanita itu bergeming hingga sekian detik kemudian dia berbicara, "Apa kamu tidak menganggap kami keluarga lagi Arga?" Pria itu nampak menghela nafas, dia hanya tidak ingin istrinya kecewa seperti beberapa waktu yang lalu. "Mengertilah Kania, aku dan Lalita sudah menikah." Wanita itu tersenyum ketir, dia sebenarnya sudah tahu apabila Arga dan Lalita
"Kalau begitu... mari kita lakukan, Mas." Usai berucap demikian Lalita memejamkan matanya, malam ini mungkin akan menjadi malam bersejarah dalam hidupnya, malam dimana dia memberikan mahkotanya kepada Arga suami dinginnya. Mendapatkan lampu hijau dari istrinya, Arga tidak membuang waktu lagi, dia melepas setiap kancing bajunya. "Setelah ini, tidak ada kesempatan untuk mengubah pikiranmu, Lalita." Melihat tubuh kekar sang suami membuat jantung Lalita berpacu dengan cepat, wajahnya juga menjadi pucat pasi. Arga segera membawa tubuh Lalita ke ranjang, dia mulai menyatukan bibirnya dengan bibir sang istri."Ahh...." Serangan bertubi-tubi Lalita dapatkan, pria itu bermain dengan ganas mungkin karena pengaruh obat yang baru dikonsumsinya.Keganasan Arga benar-benar membuat Lalita kewalahan. Dia tidak merasa sakit, hanya saja... dia serasa terus dipacu oleh Arga. "T-tolong, pelan-pelan, Mas....""Maaf Sayang." Dengan mata yang mengisyaratkan berbeda. Kata maaf terucap bukan bera
"Ingat-ingat lagi kebersamaan kita dulu Arga, aku yang selalu ada untuk kamu!" Kania mencoba mengingatkan Arga akan masa lalu. Tapi.... Pria itu menyebik, masa lalu hanya lah masa lalu yang tidak perlu diingat lagi. "Masa lalu itu tidak penting buatku Kania." Kania melemas, obsesi terhadap Arga membuatnya kehilangan segalanya tak hanya pekerjaan bahkan Arga telah memutuskan persahabatan yang lama mereka jalin. "Arga pikirkan lagi," pintanya dengan memohon. Arga kali ini tidak bisa dibujuk, sebanyak apapun Kania memohon keputusannya tidak dapat diubah. Di sisi lain, Lalita yang merasa sakit hati pergi ke rooftop, dia terus saja merutuki kebodohannya karena dengan mudah terbujuk rayuan Arga, padahal perjanjian itu bisa saja diubah oleh Arga kembali. "Sudah berhasil meniduri ku kini mau dekat lagi sama Kania itu!" Kekesalan Lalita semakin memuncak ketika teringat akan desahannya di bawah Arga kemarin. "Tapi pada waktu itu aku juga menikmatinya, Arrrggggg," dia memegangi k
Setiap hari Arga dan Lalita menikmati masa-masa indah mereka, nggak di rumah maupun di kantor Arga selalu ingin bersama istrinya. "Bucin akut." Damar menggelengkan kepalanya. Suatu hari Rangga dan Gilang datang ke Winata Group, pembangunan proyek mereka sudah berjalan oleh karenanya ada yang harus dibahas kembali. "Kenapa ruangan Arga dikunci?" CEO siputra Group dan asistennya pergi ke ruangan Damar untuk bertanya. "Sudah menjadi kebiasaan Pak Arga, setiap mendekati jam istirahat pasti seperti itu." Sambil menyiapkan berkas, Damar menjawab pertanyaan Rangga. "Memangnya apa yang dilakukan Pak Arga?" sahut Gilang. Raut wajah Damar berubah menjadi bingung, apa dia harus mengatakan aib atasannya kepada sahabat plus mantan rivalnya itu? "Olahraga." Kata kiasan itu yang bisa Damar katakan. Kerutan kerutan di dahi kedua pria tampan itu semakin kentara, siang-siang olahraga di kantor? ngapain? Mereka saling tatap masih dengan ekspresi bingungnya. "Tiga puluh menit lagi, kit