“Brengsek kamu Rangga!” Amarah yang sudah di ubun-ubun tidak dapat ditahan. Tangan Arga akhirnya tergerak menarik kerah baju Rangga, menjauhkan Lalita dari sahabatnya. Setelah itu dia mendorong tubuh Rangga dengan kuat sehingga pria yang tidak waspada itu terhuyung ke belakang dan terjungkal. “Pak Rangga.” Teriak Lalita ketika Rangga terjatuh. Tatapan Arga kembali menajam setelah melihat dua kotak makanan, senyumnya begitu sinis. Rasa perih kembali menghujam dadanya, setelah sadar bila kotak makanan yang istrinya siapkan tadi pagi bukanlah untuknya. Kini tatapan tajam Arga mengarah ke Lalita. Dia segera menarik tangan wanita itu dengan kuat dan membawanya pergi dari rooftop. “Sakit Pak!” Pekik Lalita Rangga yang mendengar Lalita kesakitan menunjukkan ekspresi khawatir, ingin menolong tapi tertahan mengingat dirinya bukan siapa-siapa. Sejenak Rangga terdiam. Awalnya Rangga heran dengan sikap Arga. Namun kini dia paham kenapa sahabatnya bersikap demikian. “Tak kusangka, kamu me
“Saya bilang cukup Pak.” Wanita itu terisak.Dengan linangan air mata, Lalita menatap sang suami. “Saya bukan wanita seperti itu.” Lalu dia pun bangkit dari tempat duduknya, Lalita berusaha menghapus air matanya yang seolah tak ingin berhenti. Dengan tatapan kosong, wanita itu berjalan menuju meja kerjanya. Tidak ingin menangis meski hatinya begitu sakit karena perkataan Arga, Lalita memilih untuk menenggelamkan diri di pekerjaannya.Sementara Arga yang masih dikuasai amarah memutuskan untuk pergi keluar kantor.Sepulang dari kantor, Lalita memilih pulang ke rumah ibunya, untuk menenangkan diri sejenak di sana.“Ibu.” Ketika sang ibunda membukakan pintu, wanita itu segera memeluk ibunya.Mata wanita paruh baya itu memutar mencari keberadaan menantunya. “Arga mana?” Lalita pun melepas pelukannya, dengan senyuman yang dipaksakan wanita itu menatap sang ibunda. “Mas Arga sibuk, ibu.” “Arga sudah tau belum kalau kamu ke sini?” Dengan tatapan lembut beliau bertanya.Lalita kembali ters
Seorang wanita cantik dengan penampilan elegan tersenyum menatap Arga, sedangkan pria itu yang mendengar namanya disebut pun menoleh. “Kania.” Bibir tipisnya menyebut nama wanita itu. “Akhirnya aku kembali Arga,” ujarnya senang. Arga berdiri, mengajak Kania untuk duduk di sofa. Kania adalah teman kuliah Arga, dia pergi keluar negeri untuk melanjutkan studinya. Selain teman, Kania juga anak dari salah satu petinggi perusahaan di bidang keuangan atau biasa disebut direktur keuangan. Sementara mereka mengobrol di sofa, Lalita di mejanya tampak kesal. Sakit hati akan ucapan Arga kemarin belum hilang kini ditambah lagi suaminya ngobrol akrab dengan seorang wanita. “Siapa dia? Apa dia mantan kekasih Pak Arga?” Lalita bermonolog sendiri menerka-nerka siapa wanita itu. Pikiran wanita itu terus melayang, membuat dirinya tidak fokus bekerja. Laporan yang biasanya cepat diselesaikan kini terbengkalai, bahkan yang dipegang hanya satu berkas saja sedari tadi. “Kenapa aku kesal melihat mere
Wanita itu mengerutkan alis, suaminya baru saja pulang tapi kenapa ingin pergi lagi? Lalita malah bengong.“Cepat! Aku memerintahmu untuk menyiapkan baju ganti bukannya bengong!” Suara bariton Arga membuyarkan lamunannya.Tanpa kata, Lalita beranjak. Dia segera mengambilkan baju ganti untuk suaminya itu.Sementara Arga mandi, Lalita meletakkan satu setelan jas dan aksesorisnya di tempat tidur, saat itu lah dia mendengar ponsel suaminya berdering.Lalita yang kepo melihat siapa yang menghubungi suaminya. ‘Kania’ memanggil.Entah mengapa hati Lalita menjadi sakit, dibanding dirinya pasti Arga lebih memilih sahabatnya itu. Setelah Arga berangkat, Lalita berdiri di balkon. Dia ingin melihat bintang tapi malam sedang muram sehingga kerlipan bintang-bintang tak nampak.Wanita itu mengingat kembali perjalanannya menjadi istri Arga, banyak hal manis yang terjadi. Tak terasa bibirnya menyunggingkan senyuman tapi senyuman itu perlahan hilang setelah rasa sakit atas tuduhan Arga datang merasuk
Tanpa Lalita tahu, permintaan resign yang diucapkan gadis itu justru membuat Arga semakin kesal. Sebab, dia tahu istrinya sangat perlu pekerjaan. Bagaimana mungkin ingin resign? Pikiran negatif pun hinggap, dan Rangga kembali menjadi peran utama dalam prasangkanya. Saat sedang memikirkan hal ini, Kania datang dengan senyuman manisnya. Wanita itu mengundang Arga untuk menghadiri pesta malam ini. "Pesta?" bibirnya mulai berkomentar. "Iya Arga, untuk merayakan kepulanganku dan diterimanya aku kerja di sini," ujar wanita itu.Usai mengundang Arga, wanita cantik itu mengarah ke meja Lalita. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan sekretaris itu. "Lalita nanti datang ya di pesta aku." Sambil menunjukkan sederet gigi putihnya. "Pesta?" respon yang sama dengan Arga. "Iya pesta aku. Nanti alamat rumahnya aku share di grup." Selesai berucap demikian Kania beranjak namun sebelum pergi dia kembali meminta Lalita untuk hadir. Meski enggan tapi wanita itu tetap mengangguk. "Baiklah." Kan
Arga menatap tajam istrinya yang masuk ke dalam mobil Rangga.Di dalam mobil, Lalita terdiam sedih hingga membuat Rangga merasa tak enak. "Bila kamu ingin pulang dengan Arga, aku tidak apa-apa." "Tidak Pak, mari kita pulang." Lalita mengajak Rangga untuk segera membawanya dari tempat itu.Mobil Rangga dan Lalita sudah melaju, sedangkan Arga masih berdiri menatap kepergian istrinya dengan sahabatnya itu.Dadanya bergejolak hebat, tangannya mengepal kuat. Dia pun akhirnya memutuskan pulang.Sesampainya di rumah, Arga membuang jasnya dengan kuat ke tempat tidur, amarahnya memuncak mengingat kejadian tadi, dia bahkan tak punya muka di depan Rangga.Sepanjang malam pria itu tidak bisa memejamkan matanya, dia terus kepikiran akan istrinya yang belum pulang. "Brengsek kalian!" Tak terasa pagi sudah datang menyapa, Arga yang baru saja bisa memejamkan mata tersentak bangun ketika mendengar suara pintu kamar terbuka.Lalita yang baru pulang hendak membersihkan diri tapi langkahnya terhenti ke
“Kenapa?” Dengan raut sedih Lalita bertanya. Arga melemparkan tatapannya, dia beranjak dari tempat duduk kemudian membelakangi sang istri. “Tidak perlu aku jelaskan alasannya.” Wanita itu tersenyum ketir, dengan bibir bergetar Lalita berbicara. “Kenapa anda membuat saya bingung Pak, bukankah sudah ada Nona Kania?” Mendengar kalimat itu, Arga pun membalikkan badan menatap Lalita dengan tatapan nanar. “Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa.” “Saya harap anda memikirkan lagi keputusan anda,” sahut Lalita. Sepanjang malam Arga terus memikirkan ucapan istrinya, rasa cinta yang dia klaim sebagai rasa aneh terus menyebar ke dalam tubuhnya dan terus membuatnya plin plan, tak sadar akan tindakannya yang terus melukai Lalita. Di pagi harinya seperti biasa mereka berangkat berdua. Dan ketika hampir sampai di tempat biasa Lalita turun, melihat gelagat sopir yang akan menghentikan mobil, Arga bertitah sebaliknya. "Jalan saja terus.""Tapi, Pak...." Meski geram dengan sikap Arga
Di dalam mobil Rangga, Lalita terdiam sembari menatap luar jendela. Dirinya sungguh lelah dengan sikap Arga, antara tindakan dan ucapannya tidak pernah sinkron. Rangga sesekali menatap Lalita yang nampak sedih itu. “Apa kamu memikirkan Arga?” Tanya Rangga. Mendengar pertanyaan Rangga, Lalita pun menoleh. Dia tersenyum. “Tidak Pak Rangga.” Ucapnya berbohong. Wanita itu kembali melemparkan tatapannya setelah menjawab pertanyaan Rangga. “Bagaimana bila kita jalan-jalan dulu?” Tawaran Rangga kembali membuat Lalita menoleh, sebenarnya dia enggan jalan-jalan tapi…. daripada pulang cepat dan bertemu Arga lebih baik dia menerima tawaran Rangga. “Baik Pak,” sahut Lalita. “Kamu ingin jalan-jalan ke mana?” Pria itu kembali bertanya. Lalita nampak berpikir, “Ke mana ya….” Hingga beberapa saat kemudian dia berbicara, “Kita ke pekan Raya saja Pak.” Rangga mengerutkan alisnya, Pekan Raya? “Kamu suka ke Pekan Raya?" Dengan ekspresi heran. “Suka Pak, karena di Pekan Raya apa-apa ada.” Samb