Mbak Rosita dan Mbak Widi pun menyalami kami. Lalu kami mulai berangkat."Hati-hati," kata Mas Dasep setengah berteriak mengiringi kepergian kami. *Mobil berhenti di sebuah desa dekat pantai. Bau khas air laut, angin segar, dan juga suara deburan ombak langsung terdengar begitu mesin mobil dimatikan dan pintu mobil dibuka.Pak Hendar membukakan pintu mobil untukku, dan kami langsung menuju kediamannya yang cukup sederhana. Rumah kecil namun asri, di pinggir rumahnya teronggok bahan-bahan dan alat kerjainan tangan yang tak kutahu namanya."Mari, kita menunggu di sebelah sini." Pak Hendar mengajak ke teras rumahnya.Aku dan Ibu Rosita duduk lesehan di lantai teras yang sudah dialasi karpet. Sementara Mbak Widi sibuk menggelar karpet di atas tanah untuk nanti para ibu-ibu duduk menyimak penyuluhan. Dan Pak Hendar sibuk membawakan kami makanan dari dalam rumahnya, aneka kue kering dalam toples dan air mineral disajikannya untuk kami."Sudah jam sepuluh, tapi belum ada yang datang. Maklu
"Soalnya di wilayah sini dilarang, kecuali kalau polisinya langsung yang menyebar," jawab Mbak Widi begitu lantang."Benarkah begitu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Hendar, karena dia yang orang sini, jadi dia pasti tahu peraturannya.Pak Hendar tampak mengingat beberapa saat. "Setahu saya, memang begitu, tapi kalau tidak salah peraturannya sudah diubah sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu marak buronan yang bersembunyi di kampung ini, jadi ada perubahan peraturan, siapapun boleh menyebar info DPO untuk membantu kepolisian," jawabnya."Itu kan dua tahun yang lalu, Pak. Sekarang sudah lewat. Kampung ini sudah bersih, tak mungkin ada DPO," timpal Mbak Widi sengan segera, sesaat setelah Pak Hendar menjawab pertanyaanku.Ada yang aneh dengan sikap Mbak Widi. Dia seperti tak suka aku menyebar DPO ini. Apa jangan-jangan dialah Ayu, bersembunyi di balik cadar dan baju panjangnya? Dari perawakannya tak beda jauh, tinggi badannya pun kutaksir sama dengan Ayu. Apalagi, Pak Hendar bilang bahwa Mb
"Tunggu dulu, Mur!" cegah Mas Dasep saat aku berbalik badan hendak memanggil Pak Hendar ke depan warung."Kenapa, Mas?""Pak Hendar sudah lihat selebarannya, kan?" tanyanya."Sudah.""Kalau begitu, Mbak Widi bukan Ayu. Karena Pak Hendar sudah pernah melihat wajah asli Mbak Widi sebelum bercadar, maka jika memang Mbak Widi itu Ayu, Pak Hendar pasti akan langsung mengenali wajah dalam selebaran itu. Mana mungkin dia akan diam saja," lanjut Mas Dasep."Bisa saja Pak Hendar gak ngeuh, Mas. Lebih baik kita tanya saja untuk memastikan. Soalnya aku sangat curiga pada Mbak Widi."Aku menarik tangan Mas Dasep agar dia mengikutiku, kebetulan Abiyyu sedang tidur.Ketika sampai di depan warung, Pak Hendar baru saja selesai menyantap bakso yamin dan minum. Mila membersihkan meja dan membawa mangkuk kotor beserta gelasnya.Aku dan Mas Dasep duduk berhadapan dengan Pak Hendar. "Gimana Pak, rasanya bakso buatan saya?""Enak, Mbak. Meski komposisinya lebih banyak tepungnya ketimbang daginya, tapi teks
"Ada apa ini, Mang?" Mas Dasep terlihat sangat panik karena Mang Sidik membawa seorang perempuan yang menangis bersamanya ke rumahku. Semakin panik karena baik aku maupun Mas Dasep sama sekali tak mengenali perempuan itu, sepertinya dia bukan dari kampung sini. "Saya nemu Mbak ini lagi nangis di pos depan, makanya saya bawa ke sini. Kasihan. Mas Dasep kan sekarang Ketua RT, tolonglah Mbak ini," jawab Mang Sidik."Iya, tapi kenapa dia menangis dan wajahnya babak belur begitu?" tanya Mas Dasep."Makanya ayo kita tanya dulu, saya juga tidak tahu kenapa. Dia gak mau cerita sama saya." Mang Sidik menjawab.Mas Dasep mengajak Mang Sidik dan perempuan itu masuk ke dalam rumah, aku mengikuti mereka dari belakang.Aku menyuguhkan air dan beberapa kue kering dari dalam toples. Perempuan ini terlihat sangat lapar sekali, sepertinya dia sudah lama menangis. Dia makan kue dengan lahap sambil malu-malu."Makan saja, tidak apa-apa, jangan merasa sungkan," kataku sambil mengompres dan mengobati luk
"Apalagi perempuan itu cantik dan masih muda. Jaga suamimu," lanjut Bi Munah berbisik seraya membayar belanjaan dan langsung pergi.Aku menoleh ke Aminah yang tengah berjongkok mengambil stok kopi renteng di belakangku. Sekilas kulihat wajahnya dari samping, ternyata benar, aku baru benar-benar ngeuh bahwa Aminah cantik juga meski wajahnya masih lebam-lebam, manis dengan mata sayu dan tampak lugu. Melihat Aminah, aku jadi meragukan suamiku. Mungkin inilah yang membuatku gelisah dari semalam.Semoga ini hanyalah kegelisahanku saja, aku terlalu cemburu apalagi saat Mas Dasep mengatakan bahwa dia harus menjaga Aminah, untuk berjaga kalau-kalau suami Aminah datang mencarinya."Mbak, ini disimpan di sebelah mana?"Aku terkejut ketika Aminah menoleh dan bertanya. Langsung aku berjongkok mengambil kopi renteng dan menggantungnya di dekat pintu warung. "Nah, sebelah sini," jawabku.Aminah mengikuti arahanku. Aku menyuruhnya memajang lima renteng kopi sachet. Namun, ketika dia memajang renteng
Kulihat Aminah mengejar Mas Dasep hingga ke pintu depan rumah, sambil membawa jaket milik Mas Dasep. Untunglah suamiku itu sudah sampai di dapur keripik, jadi Aminah tak sempat mengejarnya, dia berhenti di teras rumah. "Kenapa manggil suami saya seperti terburu-buru begitu?" tegurku. Aminah langsung menoleh dan mengangguk padaku. "Jaket Mas RT ketinggalan, Mbak," jawabnya. "Suami saya kerjanya dekat, tuh di depan," kataku seraya menunjuk dapur keripik dengan lirikan mata. "Jadi tak perlu jaket." "Tapi, ini jaketnya tergeletak begitu saja di sandaran kursi meja makan." "Iya, memang sengaja ditaruh di situ. Tapi tak setiap keluar rumah harus dipakai juga. Lain kali, kalau mau apa-apa izin saya dulu ya," tegasku. Seketika raut wajah Aminah berubah. Aku menangkap ada rasa tak enak dalam dirinya terhadapku. Aminah langsung berbalik badan hendak masuk kembali ke dalam rumah namun segera kucegah. "Oh iya, nanti tak perlu lagi mengurusi semua keperluan suami saya, ya. Kamu istirahat sa
Suara Aminah terdengar lirih dan gemetaran. Jelas sekali kalau dia merasa ketakutan. Membuat setiap orang yang melihatnya pasti akan merasa kasihan.Aminah duduk bersimpuh di hadapan Mas Dasep, dia meraih kedua tangan suamiku itu dan menggenggamnya."Tolong, Mas RT, jangan suruh saya pulang. Saya tak akan sanggup tinggal bersama suami saya yang pemabuk dan suka mukul," pintanya.Mas Dasep dan Mang Sidik langsung menatapku, jelas aku tak terima Aminah tinggal di sini lebih lama. Kuberi kode pada Mas Dasep untuk segera menepis tangan Aminah dari tangan Mas Dasep. Namun, suamiku itu tak mengindahkan permintaanku. Tampaknya, genggaman tangan Aminah sangat erat sehingga Mas Dasep tak bisa melepasnya.Rasanya, ekspresi wajahku sekarang ini sudah tak karuan melihat Aminah menggenggam tangan suamiku itu."Mbak Aminah, Mbak harus pulang. Jangan takut, nanti RT di sana akan selalu mengawasi suami Mbak. Kalau ada apa-apa, Mbak bisa langsung lari dan lapor ke Pak RT di sana," jelas Mas Dasep."Iy
Ada perasaan tak enak saat membaca WA dari Pak Hendar. Pasalnya, tak pernah ada orang lain yang mengatur bagaimana aku harus berpakaian: pakai baju apa, warna apa, model apa ... tak pernah ada yang meminta selain suamiku. Dan kali ini, Pak Hendar yang hanyalah sebatas orang lain dan rekan kerja, memintaku untuk memakai jilbab dan bros pemberiannya. Rasanya, ada yang aneh."Mas, aku dapat WA dari Pak Hendar." Kuserahkan ponselku pada Mas Dasep dengan keadaan chat dari Pak Hendar itu masih terbuka. Sengaja aku memperlihatkannya pada suamiku, meminta pendapatnya. Sebagai seorang istri, aku memang selalu memberitahu suami jika mendapat pesan atau telepon dari lelaki.Mas Dasep tampak mengerutkan kening, dan berpikir akan sesuatu. Kutangkap raut wajahnya seakan-akan tengah merasa tersinggung."Aku merasa aneh, Mas," kataku."Aneh apanya?""Rasanya aneh aja, ketika orang lain memintaku harus memakai jilbab dan bros seperti itu. Tak pernah ada yang menyuruhku harus berpakaian seperti apa se