Mbak Widi sepertinya tersinggung, membuatku merasa bersalah. Harusnya tadi aku diam saja, tak usah minta maaf segala, toh Mbak Widi sebelumnya tak tahu kalau aku sempat menyangka dia sebagai Ayu."Mbak Murni."Mbak Widi memanggilku, rupanya dia kembali lagi dari kamar belakang sambil membawa selebaran DPO."Saya jadi teringat, ini ada lima belas lembar selebaran lagi yang ketinggalan di sini, kemarin waktu Mbak ngasih ke saya untuk menyebarkannya dan saya tolak, saya lupa tak membereskannya, jadi tidak terbawa pulang oleh Mbak Murni," lanjutnya seraya menyimpan tumpukan selebaran itu dan kembali duduj di sampingku."Oh, iya. Gak apa-apa kok, Mbak. Mungkin dibuang aja selebaran ini, soalnya kemarin Pak Hendar sudah ambil selembar dan minta bantuan Pak RT di sini untuk mencari Ayu," kataku. "Saya kira, tadi itu Mbak ke kamar karena tersinggung saya telah suuzan sama Mbak."Sambil merapikan formulir yang sudah disortir, aku dan Mbak Widi mengobrol tentang kampung ini yang sering dijadika
*Aku terbangun dan melihat Mas Dasep duduk di tepi ranjang sambil memegangi botol minyak kayu putih. Rasa hangat menjalari bagian dada dan perutku, serta aroma minyak kayu putih terasa segar di setiap aku menarik napas."Untunglah kamu sudah bangun," kata Mas Dasep."Aku kenapa, Mas?""Tadi kamu pingsan." Mas Dasep terlihat sangat cemas."Aneh, Mas. Kok begitu sampai rumah tadi, aku jadi merasa lemas dan pusing kepala. Kupikir karena pusing melihat keributan, tapi sepertinya bukan, sekarang perutku malah terasa mual."Sambil memegangi perut, aku mencoba mengibah posisi dari tidur menjadi duduk di tepi ranjang. Mas Dasep membantuku duduk. "Mas telepon mantri, ya. Biar diperiksa penyebab sakitmu itu," katanya.Rasa mual semakin menjalar hingga ke dada, rasanya ingin mengeluarkan sesuatu di dalam tubuh ini, tapi terasa sulit. Mas Dasep menduga kalau aku ini maag karena telat makan."Tadi kamu sibuk banget pagi-pagi, dan berangkat juga dalam kondisi belum sarapan," kata Mas Dasep."Gak,
"Mbak Murni, besok bisa kan temani saya ke kantor polisi?" lanjut Pak Hendar.Suara telepon ku-loudspeaker-kan, sehingga Mas Dasep dapat mendengar percakapanku dengan Pak Hendar. Mas Dasep lanvsung memberi kode dengan menggelengkan kepalanya, menyuruhku untuk menolak ajakan Pak Hendar."Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya juga mendapat chat ancaman seperti Bapak, dan kondisi saya masih belum pulih," jawabku."Jadi, Mbak Murni juga dapat ancaman? Lalu, Mbak Murni sakit apa? Perasaan tadi sehat-sehat aja.""Saya tahu siapa yang mengirimkan pesan itu. Antara dua orang, yaitu Ayu atau Mbak Widi."Aku baru saja hendak menceritakan pada Pak Hendar tentang keracunan makanan yang kualami, namun Mas Dasep langsung merebut ponsel dari tanganku."Istri saya langsung sakit perut begitu pulang dari rumah Bapak, Mantri bilang istri saya keracunan makanan dalam tingkat yang ringan. Sebenarnya, tadi makanan apa saja yang Bapak suguhkan untuk istri saya di sana?" tanya Mas Dasep lewat telepon, dia menaha
"Tidak, Pak. Ambil lagi saja. Saya tak mau terima!" tolakku."Tidak bisa, Mbak. Paket ini harus diterima Mbak hari ini juga. Kalau tidak, nanti saya dianggap menggelapkan paket."Dengan terpaksa kuterima ketiga paket ini, namun hanya kugeletakkan saja di teras rumah.Mas Dasep datang dari dapur produksi begitu Pak Kurir pergi. Ini memang waktunya istirahat untuk makan siang. Suamiku itu mengernyit saat melihat ketiga paketku. "Ada kiriman? Dari siapa?" tanyanya.Lidah ini mendadak kelu untuk sekedar menjawab. Sejenak aku berpikir jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Pasti Mas Dasep akan cemburu dan berpikiran yang tidak-tidak jika tahu Pak Hendar yang mengirim semua ini. "Gak tahu, Mas. Aku belum lihat. Tadi baru saja kurirnya pergi, dia geletakkan begitu saja di sini." Akhirnya aku punya jawaban yang kurasa tepat."Sini, Mas buka ya." Mas Dasep mengambil satu buah paket yang paling besar. Dia membaca nama pengirim di bungkusnya dan langsung terlihat ekspresi wajahnya yang tak e
*Pagi ini Mas Dasep pamit sambil memasang wajah datar dan sikap dingin. Suamiku itu hendak menemui Pak Hendar untuk meminta penjelasan atas paket-paket yang telah dikirimkannya padaku kemarin. Karena nomor telepon Pak Hendar tak aktif, jadi Mas Dasep merasa harus menemuinya secara langsung.Kurasakan masih ada keraguan dalam benak Mas Dasep atas kesetiaanku, terlihat dari sikap dan ekspresinya yang masih saja dingin meski semalam dia sempat melunak dan marahnya sedikit reda. Namun rupanya Mas Dasep memang masih cemburu, dan rasa ragu dan cemburunya itu tidak akan hilang sebelum dia mendapatkan penjelasan dari Pak Hendar. Itulah sebabnya suamiku itu ngotot ingin menemui Pak Hendar hari ini, meskipun sudah kuberitahu bahwa Pak Hendar tak mungkin ada di rumahnya karena hari ini jadwalnya mengisi seminar."Dasep sudah berangkat, Mur?" tanya Bapak Mertua. Dia baru saja tiba sesaat setelah Mas Dasep pergi. Tadi memang Mas Dasep menelepon, meminta bantuan Bapak untuk menggantikannya mengawa
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya