Kulihat Aminah mengejar Mas Dasep hingga ke pintu depan rumah, sambil membawa jaket milik Mas Dasep. Untunglah suamiku itu sudah sampai di dapur keripik, jadi Aminah tak sempat mengejarnya, dia berhenti di teras rumah. "Kenapa manggil suami saya seperti terburu-buru begitu?" tegurku. Aminah langsung menoleh dan mengangguk padaku. "Jaket Mas RT ketinggalan, Mbak," jawabnya. "Suami saya kerjanya dekat, tuh di depan," kataku seraya menunjuk dapur keripik dengan lirikan mata. "Jadi tak perlu jaket." "Tapi, ini jaketnya tergeletak begitu saja di sandaran kursi meja makan." "Iya, memang sengaja ditaruh di situ. Tapi tak setiap keluar rumah harus dipakai juga. Lain kali, kalau mau apa-apa izin saya dulu ya," tegasku. Seketika raut wajah Aminah berubah. Aku menangkap ada rasa tak enak dalam dirinya terhadapku. Aminah langsung berbalik badan hendak masuk kembali ke dalam rumah namun segera kucegah. "Oh iya, nanti tak perlu lagi mengurusi semua keperluan suami saya, ya. Kamu istirahat sa
Suara Aminah terdengar lirih dan gemetaran. Jelas sekali kalau dia merasa ketakutan. Membuat setiap orang yang melihatnya pasti akan merasa kasihan.Aminah duduk bersimpuh di hadapan Mas Dasep, dia meraih kedua tangan suamiku itu dan menggenggamnya."Tolong, Mas RT, jangan suruh saya pulang. Saya tak akan sanggup tinggal bersama suami saya yang pemabuk dan suka mukul," pintanya.Mas Dasep dan Mang Sidik langsung menatapku, jelas aku tak terima Aminah tinggal di sini lebih lama. Kuberi kode pada Mas Dasep untuk segera menepis tangan Aminah dari tangan Mas Dasep. Namun, suamiku itu tak mengindahkan permintaanku. Tampaknya, genggaman tangan Aminah sangat erat sehingga Mas Dasep tak bisa melepasnya.Rasanya, ekspresi wajahku sekarang ini sudah tak karuan melihat Aminah menggenggam tangan suamiku itu."Mbak Aminah, Mbak harus pulang. Jangan takut, nanti RT di sana akan selalu mengawasi suami Mbak. Kalau ada apa-apa, Mbak bisa langsung lari dan lapor ke Pak RT di sana," jelas Mas Dasep."Iy
Ada perasaan tak enak saat membaca WA dari Pak Hendar. Pasalnya, tak pernah ada orang lain yang mengatur bagaimana aku harus berpakaian: pakai baju apa, warna apa, model apa ... tak pernah ada yang meminta selain suamiku. Dan kali ini, Pak Hendar yang hanyalah sebatas orang lain dan rekan kerja, memintaku untuk memakai jilbab dan bros pemberiannya. Rasanya, ada yang aneh."Mas, aku dapat WA dari Pak Hendar." Kuserahkan ponselku pada Mas Dasep dengan keadaan chat dari Pak Hendar itu masih terbuka. Sengaja aku memperlihatkannya pada suamiku, meminta pendapatnya. Sebagai seorang istri, aku memang selalu memberitahu suami jika mendapat pesan atau telepon dari lelaki.Mas Dasep tampak mengerutkan kening, dan berpikir akan sesuatu. Kutangkap raut wajahnya seakan-akan tengah merasa tersinggung."Aku merasa aneh, Mas," kataku."Aneh apanya?""Rasanya aneh aja, ketika orang lain memintaku harus memakai jilbab dan bros seperti itu. Tak pernah ada yang menyuruhku harus berpakaian seperti apa se
Mbak Widi sepertinya tersinggung, membuatku merasa bersalah. Harusnya tadi aku diam saja, tak usah minta maaf segala, toh Mbak Widi sebelumnya tak tahu kalau aku sempat menyangka dia sebagai Ayu."Mbak Murni."Mbak Widi memanggilku, rupanya dia kembali lagi dari kamar belakang sambil membawa selebaran DPO."Saya jadi teringat, ini ada lima belas lembar selebaran lagi yang ketinggalan di sini, kemarin waktu Mbak ngasih ke saya untuk menyebarkannya dan saya tolak, saya lupa tak membereskannya, jadi tidak terbawa pulang oleh Mbak Murni," lanjutnya seraya menyimpan tumpukan selebaran itu dan kembali duduj di sampingku."Oh, iya. Gak apa-apa kok, Mbak. Mungkin dibuang aja selebaran ini, soalnya kemarin Pak Hendar sudah ambil selembar dan minta bantuan Pak RT di sini untuk mencari Ayu," kataku. "Saya kira, tadi itu Mbak ke kamar karena tersinggung saya telah suuzan sama Mbak."Sambil merapikan formulir yang sudah disortir, aku dan Mbak Widi mengobrol tentang kampung ini yang sering dijadika
*Aku terbangun dan melihat Mas Dasep duduk di tepi ranjang sambil memegangi botol minyak kayu putih. Rasa hangat menjalari bagian dada dan perutku, serta aroma minyak kayu putih terasa segar di setiap aku menarik napas."Untunglah kamu sudah bangun," kata Mas Dasep."Aku kenapa, Mas?""Tadi kamu pingsan." Mas Dasep terlihat sangat cemas."Aneh, Mas. Kok begitu sampai rumah tadi, aku jadi merasa lemas dan pusing kepala. Kupikir karena pusing melihat keributan, tapi sepertinya bukan, sekarang perutku malah terasa mual."Sambil memegangi perut, aku mencoba mengibah posisi dari tidur menjadi duduk di tepi ranjang. Mas Dasep membantuku duduk. "Mas telepon mantri, ya. Biar diperiksa penyebab sakitmu itu," katanya.Rasa mual semakin menjalar hingga ke dada, rasanya ingin mengeluarkan sesuatu di dalam tubuh ini, tapi terasa sulit. Mas Dasep menduga kalau aku ini maag karena telat makan."Tadi kamu sibuk banget pagi-pagi, dan berangkat juga dalam kondisi belum sarapan," kata Mas Dasep."Gak,
"Mbak Murni, besok bisa kan temani saya ke kantor polisi?" lanjut Pak Hendar.Suara telepon ku-loudspeaker-kan, sehingga Mas Dasep dapat mendengar percakapanku dengan Pak Hendar. Mas Dasep lanvsung memberi kode dengan menggelengkan kepalanya, menyuruhku untuk menolak ajakan Pak Hendar."Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya juga mendapat chat ancaman seperti Bapak, dan kondisi saya masih belum pulih," jawabku."Jadi, Mbak Murni juga dapat ancaman? Lalu, Mbak Murni sakit apa? Perasaan tadi sehat-sehat aja.""Saya tahu siapa yang mengirimkan pesan itu. Antara dua orang, yaitu Ayu atau Mbak Widi."Aku baru saja hendak menceritakan pada Pak Hendar tentang keracunan makanan yang kualami, namun Mas Dasep langsung merebut ponsel dari tanganku."Istri saya langsung sakit perut begitu pulang dari rumah Bapak, Mantri bilang istri saya keracunan makanan dalam tingkat yang ringan. Sebenarnya, tadi makanan apa saja yang Bapak suguhkan untuk istri saya di sana?" tanya Mas Dasep lewat telepon, dia menaha
"Tidak, Pak. Ambil lagi saja. Saya tak mau terima!" tolakku."Tidak bisa, Mbak. Paket ini harus diterima Mbak hari ini juga. Kalau tidak, nanti saya dianggap menggelapkan paket."Dengan terpaksa kuterima ketiga paket ini, namun hanya kugeletakkan saja di teras rumah.Mas Dasep datang dari dapur produksi begitu Pak Kurir pergi. Ini memang waktunya istirahat untuk makan siang. Suamiku itu mengernyit saat melihat ketiga paketku. "Ada kiriman? Dari siapa?" tanyanya.Lidah ini mendadak kelu untuk sekedar menjawab. Sejenak aku berpikir jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Pasti Mas Dasep akan cemburu dan berpikiran yang tidak-tidak jika tahu Pak Hendar yang mengirim semua ini. "Gak tahu, Mas. Aku belum lihat. Tadi baru saja kurirnya pergi, dia geletakkan begitu saja di sini." Akhirnya aku punya jawaban yang kurasa tepat."Sini, Mas buka ya." Mas Dasep mengambil satu buah paket yang paling besar. Dia membaca nama pengirim di bungkusnya dan langsung terlihat ekspresi wajahnya yang tak e
*Pagi ini Mas Dasep pamit sambil memasang wajah datar dan sikap dingin. Suamiku itu hendak menemui Pak Hendar untuk meminta penjelasan atas paket-paket yang telah dikirimkannya padaku kemarin. Karena nomor telepon Pak Hendar tak aktif, jadi Mas Dasep merasa harus menemuinya secara langsung.Kurasakan masih ada keraguan dalam benak Mas Dasep atas kesetiaanku, terlihat dari sikap dan ekspresinya yang masih saja dingin meski semalam dia sempat melunak dan marahnya sedikit reda. Namun rupanya Mas Dasep memang masih cemburu, dan rasa ragu dan cemburunya itu tidak akan hilang sebelum dia mendapatkan penjelasan dari Pak Hendar. Itulah sebabnya suamiku itu ngotot ingin menemui Pak Hendar hari ini, meskipun sudah kuberitahu bahwa Pak Hendar tak mungkin ada di rumahnya karena hari ini jadwalnya mengisi seminar."Dasep sudah berangkat, Mur?" tanya Bapak Mertua. Dia baru saja tiba sesaat setelah Mas Dasep pergi. Tadi memang Mas Dasep menelepon, meminta bantuan Bapak untuk menggantikannya mengawa