*Happy Reading*Paska mendengar nama Sumito, Arletta jadi seperti orang linglung. Di saat semua orang tengah panik dan berusaha memberi pertolongan ada si Nenek yang jadi korban. Gadis itu hanya terus terdiam di tempatnya, dengan kedua tangan yang sudah mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Sumito. Apakah itu adalah nama yang sama seperti dalam ingatan Arletta?"Gina, tolong ambil tas kerja ayah dan kotak P3K di rumah.""Baik, Yah.""Bun, cepat telepon ambulan.""Baik, Yah.""Wa, tolong tekan kuat-kuat di sini untuk menghambat pendarahan.""Baik, Yah."Mereka semua terlihat sibuk sekali. Berusaha memberikan pertolongan pertama pada si nenek yang kini napasnya sudah tersengal-sengal. Sementara si Kakek, kakinya menjadi bantalan untuk si nenek. Sesungguhnya, selain Arkana. Arletta tak mengenal orang-orang di sana. Jangankan wajah, nama mereka pun Arletta tak tahu. Hanya saja dari sebutan-sebutan yang terdengar. Sepertinya mereka adalah keluarga Arkana. Orang tua, adik dan ... mungkin k
Arletta 81*Happy Reading*"Mom?"Tidak ada jawaban. "Mom?"Masih tidak ada jawaban. "Mbak, Mommy di mana?" Malas berseru lagi mencari sang ibu. Arletta pun memilih bertanya pada seorang pekerja rumahnya. Dan dari sana, Arletta akhirnya tahu jika sang ibu sedang bersantai di teras belakang rumah. Huft ... pantas saja dari tadi gak nyahut."Mom?" Arletta kembali memanggil setelah menyusul dan melihat sosok sang ibu di tempat tadi."Ya? Hei, Princess. Sudah pulang?" Sambut Ibunya, seraya merentangkan tangan.Arletta pun masuk ke dalam pelukan sang ibu dengan senang hati. Kemudian mencium kedua pipi wanita cantik itu. "Bagaimana hari ini? Ada hal menarik apa di sekolah?" tanya ibunya kemudian. "Nothing. Tidak ada hal yang luar biasa di sana, kecuali Karmilla yang mengganti warna rambut lagi." Arletta menjawab malas, sambil mengambil duduk di samping ibunya."Oh, ya? Warna apa kali ini?" tanyanya antusias. Padahal, hal itu sebenarnya sudah sangat umum dilakukan Karmilla."Ombre, dark
*Happy Reading*"Mas, kamu, ya? Resek banget, sumpah! Kenapa sih, gak bilang dari awal kalau orang tua kita sahabatan? Maksud kamu apa? Mau ngerjain aku, ya?" Arletta langsung mencecar Arkana dengan nada tak terima. Pria itu yang tadi masih ikut tersenyum haru melihat pertemuan Bundanya dan Arletta. Seketika kebingungan dengan pertanyaan beruntun gadis itu."Heem ... pantas ya, kamu ngeyel banget selama ini. Sok-so'an bisa nerima aku apa adanya lagi. Ternyata? Emang kamu udah tahu dari awal siapa aku sebenarnya, kan?" Arletta lanjut memberikan tuduhan."Eh, kok? Gak gitu, Sayang. Mas juga baru tahu hal ini kok, barusan." Arkana membela diri."Bohong!" Namun, Arletta tak percaya sama sekali."Beneran, Sayang. Berani sumpah, Dah. Mas beneran gak tahu kalau orang tua kita sahabatan selama ini! Baru tadi. Serius! Itu pun dari cerita Bunda barusan." Arkana menegaskan."Aku gak percaya!"Waduh? Cilaka dua belas ini mah."Beneran, Sayang. Mas gak boong." Arkana pun panik. Sayangnya, Arlett
*Happy Reading*Ternyata, Arletta kalau sudah kecewa memang sadis. Tak perduli dalam keadaan genting dan ada nyawa yang sedang di ujung tanduk. Gadis itu tetap tak perduli. Dibujuk seperti apa pun, Arletta yang keras kepala tetap pada pendiriannya. Tidak mau dan tidak akan pernah mendonorkan darahnya setetes pun. Begitulah orang kalau sudah benar-benar kecewa. Hatinya seakan mati. Bunda Reen yang seorang psikiater saja sampai menghela napas berkali-kali saat membujuk Arletta. Beruntung masih ada Yudistira, ayahnya Arkana yang punya golongan darah 'O'. Hingga beliaulah yang akhirnya memberikan darahnya untuk si nenek. Kecewa, jelas di rasakan keluarga Arkana terhadap sikap keras kepala Arletta. Namun, di sisi lain gadis itu pun tidak bisa di salahkan seenaknya. Karena Arletta punya alasan sendiri kenapa sampai begitu membenci keluarga Sumito."Tidak masalah kalau setelah ini kalian semua jadi membenciku bahkan meninggalkanku. Bagiku, itu sudah jadi hal biasa. Yang penting, aku tidak
*Happy Reading*"Sudah?""Hm ..." Arletta hanya mampu bergumam sebagai jawaban pada tanya Arkana yang baru saja kembali dari kamarnya. Tadi, pria itu memang ijin ke kamarnya untuk sekedar cuci muka dan ganti baju. Tak lama, Arkana sudah kembali lagi dengan tampikan agak fresh, disertai titik-titik air yang masih menghiasi ujung rambut gondrongnya. "Ini aja?" Arkana bertanya lagi, seraya melihat tulisan Arletta. Meski, sebenarnya dia pun tak bisa membaca tulisan itu dengan jelas. Di mana-mana tulisan dokter emang kayak gini, ya? Terlihat seperti coretan asal dan hanya apoteker yang ngerti. Berhubung Arkana bukan apoteker, jadi dia tidak ngerti."Ya." Arletta membalas dengan suara lemah sambil memejam. Kepalanya terasa berputar jika matanya dibuka. Sepertinya, vertigonya kambuh. Melihat itu, Arkana mendesah panjang lalu memberikan usapan lembut pada kepala gadisnya. Sambil, sesekali memberikan pijatan yang lumayan meredakan pening di kepala Arletta. "Mau titip sesuatu gak? Sarapan
*Happy Reading*Mendengar kenyataan yang tengah terjadi pada Arkana. Hati dan pikiran Arletta seketika kacau. Gadis itu gusar dan rasanya ingin segera pergi dari sana demi menyelamatkan kekasihnya. Tetapi, ke mana? Ke mana Arletta harus pergi? Di mana tepatnya keberadaan Arkana saja, belum ada yang tahu. Termasuk tim pencarian yang sudah Ayah Yudis kerahkan. Lalu apa? Apa yang harus Arletta lakukan sekarang? Dia tidak mungkin hanya menunggu seperti ini saja, kan? Atau .... haruskah Arletta pergi ke tempat Joshua?"Ayah, apa ini perbuatan uncle Josh?" Arletta ingin memastikan. "Ayah tidak tahu. Soalnya, belum ada kabar apa pun mengenai orang-orang yang mengejar Dewa. Jadi ayah tidak bisa memastikan siapa yang sedang kita hadapi saat ini. Entah Joshua, atau rekan bisnis keluarga Hardikusuma. Yang jelas, kita tidak boleh gegabah." Mengingat nama besar keluarga Hardikusuma. Memang menjadi hal yang wajar jika mereka juga mempunyai rival bisnis di luaran sana. Dan biasanya, mereka memang
*Happy Reading*Lelucon macam apa lagi ini?Sungguh! Kepala Arletta benar-benar tak habis pikir dengan drama hidupnya selama ini. Apalagi dengan kenyataan yang Bruno bawa saat ini. Rasanya kepalanya bisa pecah memikirkan semuanya. "Jadi, lo ....""Ya, Let. Gue sepupu lo." Bruno menegaskan setelah menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Kan? Apa Arletta bilang? Drama apa lagi ini ya Tuhan .....? Setelah sekian lama mengenal Bruno, bahkan adu urat gak jelas tiap bertemu. Ternyata ... dia ... sepupu Arletta? Bruno Pratama Sumito. Anak pertama dari Adiyaksa Sumito, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kakak dari Mama Ajeng dan Mommy Rumi. Kurang drama apalagi, coba?Baiklah, mari kita jelaskan sedikit tentang keluarga Sumito. Biar kalian gak makin ngebul baca novel ini. Jadi, Keluarga Sumito itu, punya tiga anak. Pertama Adiyaksa Sumito, kedua Ajeng Nyimas Sumito, ketiga Arumi Nyimas Sumito. Nah, sebagai anak pertama dan satu-satunya anak lelaki di keluarga Sumito, sudah bisa d
*Happy Reading*Sekilas, mungkin tampaknya masalah yang Arletta hadapi itu sepele. Hanya perebutan harta warisan. Sebagian dari kita bahkan mungkin menilai Arletta bodoh, karena rela hidup dalam ancaman selama tujuh tahun demi mempertahankan harta peninggalan ayahnya. Iya, kan? Harta tidak dibawa mati, dan harta masih bisa di cari. Ngapain sih, harus mati-matian mempertahankannya? Lepasin aja padahal, nanti juga dapat gantinya. Seandainya semudah itu, jelas sudah Arletta lepas dari dulu. Apalagi untuk seorang Arletta yang pintar dan punya banyak talenta. Menjadi orang kaya bukanlah hal yang sulit. Kalau dia mau, dia bisa menjual kecantikan dan bakatnya menjadi seorang penggiat entertaiment seperti Karmilla. Apa pun bisa diusahakan Arletta. Jika memang masalahnya hanya uang semata.Sayangnya, apa yang terlihat diluar memang kadang tak seperti yang sebenarnya terjadi. Karena faktanya, masalah Arletta yang paling utama adalah bukan semata-mata harta warisan saja. Akan tetapi, obsesi gi