*Happy Reading*Mendengar kenyataan yang tengah terjadi pada Arkana. Hati dan pikiran Arletta seketika kacau. Gadis itu gusar dan rasanya ingin segera pergi dari sana demi menyelamatkan kekasihnya. Tetapi, ke mana? Ke mana Arletta harus pergi? Di mana tepatnya keberadaan Arkana saja, belum ada yang tahu. Termasuk tim pencarian yang sudah Ayah Yudis kerahkan. Lalu apa? Apa yang harus Arletta lakukan sekarang? Dia tidak mungkin hanya menunggu seperti ini saja, kan? Atau .... haruskah Arletta pergi ke tempat Joshua?"Ayah, apa ini perbuatan uncle Josh?" Arletta ingin memastikan. "Ayah tidak tahu. Soalnya, belum ada kabar apa pun mengenai orang-orang yang mengejar Dewa. Jadi ayah tidak bisa memastikan siapa yang sedang kita hadapi saat ini. Entah Joshua, atau rekan bisnis keluarga Hardikusuma. Yang jelas, kita tidak boleh gegabah." Mengingat nama besar keluarga Hardikusuma. Memang menjadi hal yang wajar jika mereka juga mempunyai rival bisnis di luaran sana. Dan biasanya, mereka memang
*Happy Reading*Lelucon macam apa lagi ini?Sungguh! Kepala Arletta benar-benar tak habis pikir dengan drama hidupnya selama ini. Apalagi dengan kenyataan yang Bruno bawa saat ini. Rasanya kepalanya bisa pecah memikirkan semuanya. "Jadi, lo ....""Ya, Let. Gue sepupu lo." Bruno menegaskan setelah menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Kan? Apa Arletta bilang? Drama apa lagi ini ya Tuhan .....? Setelah sekian lama mengenal Bruno, bahkan adu urat gak jelas tiap bertemu. Ternyata ... dia ... sepupu Arletta? Bruno Pratama Sumito. Anak pertama dari Adiyaksa Sumito, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kakak dari Mama Ajeng dan Mommy Rumi. Kurang drama apalagi, coba?Baiklah, mari kita jelaskan sedikit tentang keluarga Sumito. Biar kalian gak makin ngebul baca novel ini. Jadi, Keluarga Sumito itu, punya tiga anak. Pertama Adiyaksa Sumito, kedua Ajeng Nyimas Sumito, ketiga Arumi Nyimas Sumito. Nah, sebagai anak pertama dan satu-satunya anak lelaki di keluarga Sumito, sudah bisa d
*Happy Reading*Sekilas, mungkin tampaknya masalah yang Arletta hadapi itu sepele. Hanya perebutan harta warisan. Sebagian dari kita bahkan mungkin menilai Arletta bodoh, karena rela hidup dalam ancaman selama tujuh tahun demi mempertahankan harta peninggalan ayahnya. Iya, kan? Harta tidak dibawa mati, dan harta masih bisa di cari. Ngapain sih, harus mati-matian mempertahankannya? Lepasin aja padahal, nanti juga dapat gantinya. Seandainya semudah itu, jelas sudah Arletta lepas dari dulu. Apalagi untuk seorang Arletta yang pintar dan punya banyak talenta. Menjadi orang kaya bukanlah hal yang sulit. Kalau dia mau, dia bisa menjual kecantikan dan bakatnya menjadi seorang penggiat entertaiment seperti Karmilla. Apa pun bisa diusahakan Arletta. Jika memang masalahnya hanya uang semata.Sayangnya, apa yang terlihat diluar memang kadang tak seperti yang sebenarnya terjadi. Karena faktanya, masalah Arletta yang paling utama adalah bukan semata-mata harta warisan saja. Akan tetapi, obsesi gi
*Happy Reading*"Lo emang gila, Kan! Luka sebanyak dan separah ini, bukannya langsung ke rumah sakit malah pulang. Gak habis pikir gue."Bruno langsung mengomel. Setelah Ayah Yudis selesai menjahit semua luka di tubuh Arkana. Dibantu para medis lainnya yang memang sengaja dipanggil ke kediaman Arkana. Sementara itu, pria yang baru saja di omeli Bruno malah mendengkus dengan pelan dan mengerjap lemah satu kali. Lalu mengeratkan genggaman tangannya pada Arletta sambil tersenyum menenangkan."Soalnya gue takut, orang yang lagi nunggu kabar dari gue di rumah ini sedih dan malah milih nyerah sama keadaan."Arletta menggigit bibir bawahnya dan menahan napas sejenak, demi menghalau tangisnya. jemarinya ikut mengeratkan tautan tangan mereka dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Arletta takut ini hanya mimpi semata. Makanya sejak kedatangan Arkana tadi yang langsung tumbang. Dia tidak mau berjauhan lagi dari pria itu. Tangan mereka terus bertaut dan tak terpisahkan lagi. B
*Happy Reading*"Sebelum membicarakan rencana selanjutnya. Bisa tolong beritahu, apa yang masih kalian sembunyikan dari aku?" pinta Arletta tiba-tiba. "Khusunya elo, Kav!" imbuhnya lagi, sambil menunjuk Elkava. "Gue? Kenapa sama gue?" Namun, Elkava malah pura-pura polos."Kav!" Arletta mengeratkan gigi dengan kesal. "Mau gue tonjok lagi?" ancam gadis itu kemudian. Bahkan sudah mengangkat kepalan tangannya sejajar dengan wajah. "Eh, eh, nggak, nggak." Tak ayal, hal itu pun berhasil membuat Elkava menelan saliva kelat dan menyerah untuk menggoda gadis itu lagi. "Ya ampun. Gue cuma becanda kali, Let. Lo kenapa makin galak, coba?" keluhnya kemudian. "Ya abis gue sebel sama lo! Bisa-bisanya lo boongin gue gak abis-abis!" tukas Arletta kesal."Boongin apa, sih? Kapan gue boong sama lo?" Elkava tak mau mengaku."Soal Arnetta?" Arletta mengingatkan."Ya ... kecuali hal itu." Elkava menjawab terbata."Soal orang tua Mas Arkana?" Arletta kembali mengingatkan. "Orang tua Arkana? Lah, gue boo
*Happy Reading*"Lo udah liat rekaman Arnetta terakhir?"Eh? Rekaman?Ada apa dengan rekaman itu memang?"B-belum," jawab Arletta kikuk."Loh, kok? Kenapa? Padahal rekaman itu udah lama kan gue kasihnya," protes Elkava."Ya emang. Tapi ... lo kan tahu gue gak bisa liat bayangan sendiri. Sementara Arnetta kan, plek-ketipleknya gue. Jadi, mana berani gue liatnya. Kalau gue kambuh lagi, gimana?" terang Arletta tanpa keraguan lagi meski ada orang tua Arkana di sana. Dia yakin keluarga Arkana pasti sudah tahu hal itu dari Elkava."Justru gue harap lo bisa sembuh setelah liat itu rekaman. Soalnya, setahu gue lo kan bisa punya ketakutan itu, karena dibayang-bayangi rasa bersalah pada Arnetta, kan? Pada kematian Arnetta yang selama ini kita kira bunuh diri karena depresi. Sementara kenyataannya, dia gak mati bunuh diri, tapi dibunuh. Lebih dari itu, Arnetta sebenarnya gak pernah nyalahin lo sama sekali. Makanya gue sangat berharap, setelah lo liat rekaman itu. Rasa bersalah lo akan hilang dan
*Happy Reading*"Nih!" Pria itu menunjukan sebuah kotak bludru berwarna biru dongker. Membuka kotaknya dan menunjukan isinya pada Arletta. "Ini adalah cincin turun temurun di keluarga Hardikusuma. Cincin yang akan diturunkan pada menantu pertama keluarga ini."Arletta terdiam. Menatap takjub benda kecil bersinar yang tampilannya sangat manis itu. Simple tapi elegant. Meski begitu, kilau diatas cincin tersebut jelas menunjukan nilainya yang tak bisa diremehkan."Dulu bunda yang memakainya. Setelah Mas Dewasa, beliau memberikannya sama Mas dan menyuruh memberikannya pada wanita yang akan Mas pilih sebagai istri." Arkana melanjutkan penjelasannya."Oh, ya? Lalu?" Arletta berhasil mengusai kekagumannya pada benda kecil itu. "Sudah kamu tawarkan sama siapa aja tuh cincin?" Arletta kembali mamancing. Berpura tak tertarik dengan cincin dihadapannya. "Ck, kamu ini." Arkana berdecak kesal. Lalu mencubit pelan hidung Arletta gemas. "Kamu kira Mas lagi jualan emas. Pake nawar-nawarin? Ya, nggak
*Happy Reading*"Bunda manggil Ale?" Arletta bertanya setelah menemukan Bunda Reen yang ternyata sedang berada di meja makan. Sepertinya, Bunda Reen baru selesai membereskan bekas sarapan hari ini. Terlihat dari celemek yang masih menghiasi tubuhnya, dan lap pembersih yang masih ada di atas meja. Hebatnya Bunda Reen. Meski seorang dokter kenamaan, nyonya besar dan punya banyak pembantu. Tetapi masalah dapur, tak sungkan turun tangan. Bahkan, sarapan hari ini pun, beliau yang membuatnya. Sungguh ibu rumah tangga idaman.Eits, tapi kalian jangan suudzon dulu. Arletta bukan berniat kurang ajar atau tidak tahu diri sebagai tamu di sini. Sebenarnya, tadi Arletta ingin membantu Bunda Reen, kok, membereskan bekas sarapan hari ini. Tetapi wanita itu melarang, dan malah menyuruh Arletta menemani Arkana saja. Jadi ya, bisa apa gadis itu selain menurut. "Iya, Nak. Kemari?" Bunda Reen tersenyum hangat menyambut kedatangan Arletta. "Duduk sini," titahnya lagi, menepuk kursi sebelahnya setelah A