*Happy Reading*"Sudah?""Hm ..." Arletta hanya mampu bergumam sebagai jawaban pada tanya Arkana yang baru saja kembali dari kamarnya. Tadi, pria itu memang ijin ke kamarnya untuk sekedar cuci muka dan ganti baju. Tak lama, Arkana sudah kembali lagi dengan tampikan agak fresh, disertai titik-titik air yang masih menghiasi ujung rambut gondrongnya. "Ini aja?" Arkana bertanya lagi, seraya melihat tulisan Arletta. Meski, sebenarnya dia pun tak bisa membaca tulisan itu dengan jelas. Di mana-mana tulisan dokter emang kayak gini, ya? Terlihat seperti coretan asal dan hanya apoteker yang ngerti. Berhubung Arkana bukan apoteker, jadi dia tidak ngerti."Ya." Arletta membalas dengan suara lemah sambil memejam. Kepalanya terasa berputar jika matanya dibuka. Sepertinya, vertigonya kambuh. Melihat itu, Arkana mendesah panjang lalu memberikan usapan lembut pada kepala gadisnya. Sambil, sesekali memberikan pijatan yang lumayan meredakan pening di kepala Arletta. "Mau titip sesuatu gak? Sarapan
*Happy Reading*Mendengar kenyataan yang tengah terjadi pada Arkana. Hati dan pikiran Arletta seketika kacau. Gadis itu gusar dan rasanya ingin segera pergi dari sana demi menyelamatkan kekasihnya. Tetapi, ke mana? Ke mana Arletta harus pergi? Di mana tepatnya keberadaan Arkana saja, belum ada yang tahu. Termasuk tim pencarian yang sudah Ayah Yudis kerahkan. Lalu apa? Apa yang harus Arletta lakukan sekarang? Dia tidak mungkin hanya menunggu seperti ini saja, kan? Atau .... haruskah Arletta pergi ke tempat Joshua?"Ayah, apa ini perbuatan uncle Josh?" Arletta ingin memastikan. "Ayah tidak tahu. Soalnya, belum ada kabar apa pun mengenai orang-orang yang mengejar Dewa. Jadi ayah tidak bisa memastikan siapa yang sedang kita hadapi saat ini. Entah Joshua, atau rekan bisnis keluarga Hardikusuma. Yang jelas, kita tidak boleh gegabah." Mengingat nama besar keluarga Hardikusuma. Memang menjadi hal yang wajar jika mereka juga mempunyai rival bisnis di luaran sana. Dan biasanya, mereka memang
*Happy Reading*Lelucon macam apa lagi ini?Sungguh! Kepala Arletta benar-benar tak habis pikir dengan drama hidupnya selama ini. Apalagi dengan kenyataan yang Bruno bawa saat ini. Rasanya kepalanya bisa pecah memikirkan semuanya. "Jadi, lo ....""Ya, Let. Gue sepupu lo." Bruno menegaskan setelah menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Kan? Apa Arletta bilang? Drama apa lagi ini ya Tuhan .....? Setelah sekian lama mengenal Bruno, bahkan adu urat gak jelas tiap bertemu. Ternyata ... dia ... sepupu Arletta? Bruno Pratama Sumito. Anak pertama dari Adiyaksa Sumito, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kakak dari Mama Ajeng dan Mommy Rumi. Kurang drama apalagi, coba?Baiklah, mari kita jelaskan sedikit tentang keluarga Sumito. Biar kalian gak makin ngebul baca novel ini. Jadi, Keluarga Sumito itu, punya tiga anak. Pertama Adiyaksa Sumito, kedua Ajeng Nyimas Sumito, ketiga Arumi Nyimas Sumito. Nah, sebagai anak pertama dan satu-satunya anak lelaki di keluarga Sumito, sudah bisa d
*Happy Reading*Sekilas, mungkin tampaknya masalah yang Arletta hadapi itu sepele. Hanya perebutan harta warisan. Sebagian dari kita bahkan mungkin menilai Arletta bodoh, karena rela hidup dalam ancaman selama tujuh tahun demi mempertahankan harta peninggalan ayahnya. Iya, kan? Harta tidak dibawa mati, dan harta masih bisa di cari. Ngapain sih, harus mati-matian mempertahankannya? Lepasin aja padahal, nanti juga dapat gantinya. Seandainya semudah itu, jelas sudah Arletta lepas dari dulu. Apalagi untuk seorang Arletta yang pintar dan punya banyak talenta. Menjadi orang kaya bukanlah hal yang sulit. Kalau dia mau, dia bisa menjual kecantikan dan bakatnya menjadi seorang penggiat entertaiment seperti Karmilla. Apa pun bisa diusahakan Arletta. Jika memang masalahnya hanya uang semata.Sayangnya, apa yang terlihat diluar memang kadang tak seperti yang sebenarnya terjadi. Karena faktanya, masalah Arletta yang paling utama adalah bukan semata-mata harta warisan saja. Akan tetapi, obsesi gi
*Happy Reading*"Lo emang gila, Kan! Luka sebanyak dan separah ini, bukannya langsung ke rumah sakit malah pulang. Gak habis pikir gue."Bruno langsung mengomel. Setelah Ayah Yudis selesai menjahit semua luka di tubuh Arkana. Dibantu para medis lainnya yang memang sengaja dipanggil ke kediaman Arkana. Sementara itu, pria yang baru saja di omeli Bruno malah mendengkus dengan pelan dan mengerjap lemah satu kali. Lalu mengeratkan genggaman tangannya pada Arletta sambil tersenyum menenangkan."Soalnya gue takut, orang yang lagi nunggu kabar dari gue di rumah ini sedih dan malah milih nyerah sama keadaan."Arletta menggigit bibir bawahnya dan menahan napas sejenak, demi menghalau tangisnya. jemarinya ikut mengeratkan tautan tangan mereka dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Arletta takut ini hanya mimpi semata. Makanya sejak kedatangan Arkana tadi yang langsung tumbang. Dia tidak mau berjauhan lagi dari pria itu. Tangan mereka terus bertaut dan tak terpisahkan lagi. B
*Happy Reading*"Sebelum membicarakan rencana selanjutnya. Bisa tolong beritahu, apa yang masih kalian sembunyikan dari aku?" pinta Arletta tiba-tiba. "Khusunya elo, Kav!" imbuhnya lagi, sambil menunjuk Elkava. "Gue? Kenapa sama gue?" Namun, Elkava malah pura-pura polos."Kav!" Arletta mengeratkan gigi dengan kesal. "Mau gue tonjok lagi?" ancam gadis itu kemudian. Bahkan sudah mengangkat kepalan tangannya sejajar dengan wajah. "Eh, eh, nggak, nggak." Tak ayal, hal itu pun berhasil membuat Elkava menelan saliva kelat dan menyerah untuk menggoda gadis itu lagi. "Ya ampun. Gue cuma becanda kali, Let. Lo kenapa makin galak, coba?" keluhnya kemudian. "Ya abis gue sebel sama lo! Bisa-bisanya lo boongin gue gak abis-abis!" tukas Arletta kesal."Boongin apa, sih? Kapan gue boong sama lo?" Elkava tak mau mengaku."Soal Arnetta?" Arletta mengingatkan."Ya ... kecuali hal itu." Elkava menjawab terbata."Soal orang tua Mas Arkana?" Arletta kembali mengingatkan. "Orang tua Arkana? Lah, gue boo
*Happy Reading*"Lo udah liat rekaman Arnetta terakhir?"Eh? Rekaman?Ada apa dengan rekaman itu memang?"B-belum," jawab Arletta kikuk."Loh, kok? Kenapa? Padahal rekaman itu udah lama kan gue kasihnya," protes Elkava."Ya emang. Tapi ... lo kan tahu gue gak bisa liat bayangan sendiri. Sementara Arnetta kan, plek-ketipleknya gue. Jadi, mana berani gue liatnya. Kalau gue kambuh lagi, gimana?" terang Arletta tanpa keraguan lagi meski ada orang tua Arkana di sana. Dia yakin keluarga Arkana pasti sudah tahu hal itu dari Elkava."Justru gue harap lo bisa sembuh setelah liat itu rekaman. Soalnya, setahu gue lo kan bisa punya ketakutan itu, karena dibayang-bayangi rasa bersalah pada Arnetta, kan? Pada kematian Arnetta yang selama ini kita kira bunuh diri karena depresi. Sementara kenyataannya, dia gak mati bunuh diri, tapi dibunuh. Lebih dari itu, Arnetta sebenarnya gak pernah nyalahin lo sama sekali. Makanya gue sangat berharap, setelah lo liat rekaman itu. Rasa bersalah lo akan hilang dan
*Happy Reading*"Nih!" Pria itu menunjukan sebuah kotak bludru berwarna biru dongker. Membuka kotaknya dan menunjukan isinya pada Arletta. "Ini adalah cincin turun temurun di keluarga Hardikusuma. Cincin yang akan diturunkan pada menantu pertama keluarga ini."Arletta terdiam. Menatap takjub benda kecil bersinar yang tampilannya sangat manis itu. Simple tapi elegant. Meski begitu, kilau diatas cincin tersebut jelas menunjukan nilainya yang tak bisa diremehkan."Dulu bunda yang memakainya. Setelah Mas Dewasa, beliau memberikannya sama Mas dan menyuruh memberikannya pada wanita yang akan Mas pilih sebagai istri." Arkana melanjutkan penjelasannya."Oh, ya? Lalu?" Arletta berhasil mengusai kekagumannya pada benda kecil itu. "Sudah kamu tawarkan sama siapa aja tuh cincin?" Arletta kembali mamancing. Berpura tak tertarik dengan cincin dihadapannya. "Ck, kamu ini." Arkana berdecak kesal. Lalu mencubit pelan hidung Arletta gemas. "Kamu kira Mas lagi jualan emas. Pake nawar-nawarin? Ya, nggak
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat