*Happy Reading*"Lo emang gila, Kan! Luka sebanyak dan separah ini, bukannya langsung ke rumah sakit malah pulang. Gak habis pikir gue."Bruno langsung mengomel. Setelah Ayah Yudis selesai menjahit semua luka di tubuh Arkana. Dibantu para medis lainnya yang memang sengaja dipanggil ke kediaman Arkana. Sementara itu, pria yang baru saja di omeli Bruno malah mendengkus dengan pelan dan mengerjap lemah satu kali. Lalu mengeratkan genggaman tangannya pada Arletta sambil tersenyum menenangkan."Soalnya gue takut, orang yang lagi nunggu kabar dari gue di rumah ini sedih dan malah milih nyerah sama keadaan."Arletta menggigit bibir bawahnya dan menahan napas sejenak, demi menghalau tangisnya. jemarinya ikut mengeratkan tautan tangan mereka dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Arletta takut ini hanya mimpi semata. Makanya sejak kedatangan Arkana tadi yang langsung tumbang. Dia tidak mau berjauhan lagi dari pria itu. Tangan mereka terus bertaut dan tak terpisahkan lagi. B
*Happy Reading*"Sebelum membicarakan rencana selanjutnya. Bisa tolong beritahu, apa yang masih kalian sembunyikan dari aku?" pinta Arletta tiba-tiba. "Khusunya elo, Kav!" imbuhnya lagi, sambil menunjuk Elkava. "Gue? Kenapa sama gue?" Namun, Elkava malah pura-pura polos."Kav!" Arletta mengeratkan gigi dengan kesal. "Mau gue tonjok lagi?" ancam gadis itu kemudian. Bahkan sudah mengangkat kepalan tangannya sejajar dengan wajah. "Eh, eh, nggak, nggak." Tak ayal, hal itu pun berhasil membuat Elkava menelan saliva kelat dan menyerah untuk menggoda gadis itu lagi. "Ya ampun. Gue cuma becanda kali, Let. Lo kenapa makin galak, coba?" keluhnya kemudian. "Ya abis gue sebel sama lo! Bisa-bisanya lo boongin gue gak abis-abis!" tukas Arletta kesal."Boongin apa, sih? Kapan gue boong sama lo?" Elkava tak mau mengaku."Soal Arnetta?" Arletta mengingatkan."Ya ... kecuali hal itu." Elkava menjawab terbata."Soal orang tua Mas Arkana?" Arletta kembali mengingatkan. "Orang tua Arkana? Lah, gue boo
*Happy Reading*"Lo udah liat rekaman Arnetta terakhir?"Eh? Rekaman?Ada apa dengan rekaman itu memang?"B-belum," jawab Arletta kikuk."Loh, kok? Kenapa? Padahal rekaman itu udah lama kan gue kasihnya," protes Elkava."Ya emang. Tapi ... lo kan tahu gue gak bisa liat bayangan sendiri. Sementara Arnetta kan, plek-ketipleknya gue. Jadi, mana berani gue liatnya. Kalau gue kambuh lagi, gimana?" terang Arletta tanpa keraguan lagi meski ada orang tua Arkana di sana. Dia yakin keluarga Arkana pasti sudah tahu hal itu dari Elkava."Justru gue harap lo bisa sembuh setelah liat itu rekaman. Soalnya, setahu gue lo kan bisa punya ketakutan itu, karena dibayang-bayangi rasa bersalah pada Arnetta, kan? Pada kematian Arnetta yang selama ini kita kira bunuh diri karena depresi. Sementara kenyataannya, dia gak mati bunuh diri, tapi dibunuh. Lebih dari itu, Arnetta sebenarnya gak pernah nyalahin lo sama sekali. Makanya gue sangat berharap, setelah lo liat rekaman itu. Rasa bersalah lo akan hilang dan
*Happy Reading*"Nih!" Pria itu menunjukan sebuah kotak bludru berwarna biru dongker. Membuka kotaknya dan menunjukan isinya pada Arletta. "Ini adalah cincin turun temurun di keluarga Hardikusuma. Cincin yang akan diturunkan pada menantu pertama keluarga ini."Arletta terdiam. Menatap takjub benda kecil bersinar yang tampilannya sangat manis itu. Simple tapi elegant. Meski begitu, kilau diatas cincin tersebut jelas menunjukan nilainya yang tak bisa diremehkan."Dulu bunda yang memakainya. Setelah Mas Dewasa, beliau memberikannya sama Mas dan menyuruh memberikannya pada wanita yang akan Mas pilih sebagai istri." Arkana melanjutkan penjelasannya."Oh, ya? Lalu?" Arletta berhasil mengusai kekagumannya pada benda kecil itu. "Sudah kamu tawarkan sama siapa aja tuh cincin?" Arletta kembali mamancing. Berpura tak tertarik dengan cincin dihadapannya. "Ck, kamu ini." Arkana berdecak kesal. Lalu mencubit pelan hidung Arletta gemas. "Kamu kira Mas lagi jualan emas. Pake nawar-nawarin? Ya, nggak
*Happy Reading*"Bunda manggil Ale?" Arletta bertanya setelah menemukan Bunda Reen yang ternyata sedang berada di meja makan. Sepertinya, Bunda Reen baru selesai membereskan bekas sarapan hari ini. Terlihat dari celemek yang masih menghiasi tubuhnya, dan lap pembersih yang masih ada di atas meja. Hebatnya Bunda Reen. Meski seorang dokter kenamaan, nyonya besar dan punya banyak pembantu. Tetapi masalah dapur, tak sungkan turun tangan. Bahkan, sarapan hari ini pun, beliau yang membuatnya. Sungguh ibu rumah tangga idaman.Eits, tapi kalian jangan suudzon dulu. Arletta bukan berniat kurang ajar atau tidak tahu diri sebagai tamu di sini. Sebenarnya, tadi Arletta ingin membantu Bunda Reen, kok, membereskan bekas sarapan hari ini. Tetapi wanita itu melarang, dan malah menyuruh Arletta menemani Arkana saja. Jadi ya, bisa apa gadis itu selain menurut. "Iya, Nak. Kemari?" Bunda Reen tersenyum hangat menyambut kedatangan Arletta. "Duduk sini," titahnya lagi, menepuk kursi sebelahnya setelah A
*Happy Reading*Akhirnya, setelah drama panjang yang tak kunjung usai. Ralat, setelah tangis sang nenek yang tak kunjung usai, dan drama tarik menarik ponsel agar sambungan tak dihentikan. Panggilan itu pun bisa diputuskan dengan tenang. Itupun, setelah Arletta terpaksa berjanji akan menemui sang nenek. Tentu saja dengan catatan, jika sudah ada waktu dan kondisi si nenek yang sudah lebih baik. Meski, Arletta sendiri tak yakin bisa menepatinya atau tidak. "Beliau benar-benar merindukan kamu, Le. Nanti kalau kondisi Dewa sudah membaik, kita ke sana, ya?" Bunda Reen mengusap lembut rambut Arletta, demi meminta atensinya. Arletta memilih tersenyum sama membalas ajakan Bunda Reen. Karena ... sudah dibilang, kan, dia sendiri tak yakin bisa menepati janjinya itu, dan juga ... entahlah. Arletta sudah terlanjur menganggap mereka semua orang asing dalam hidupnya."Oh, ya, Le. Bunda boleh nanya sesuatu?" tanya Bunda Reen tiba-tiba. Tetapi, wajah wanita itu seperti ada keraguan. Tentu saja, h
*Happy Reading*"Shit!"Brak!Arnetta melonjak kaget saat pintu kamar mandinya dibuka kasar dari luar. Semakin kaget saat melihat keberadaan Arletta di ambang pintu, menatapnya penuh marah."A-Ale, lo--"Sret!Kembali, Arnetta terkesiap kala tangan Arletta dengan cepat menarik benda kecil yang sedari tadi ditangisinya. Arnetta seketika gusar dan panik melihat wajah Arletta yang makin keruh menatap benda bergaris dua itu."Ini maksudnya apa? Jelasin!" desak Arletta kemudian. Menatap Arnetta tajam.Tetapi, karena rasa panik dan takut Arnetta tidak bisa berkata-kata. Gadis itu seakan lupa bagaimana cara bicara. Otaknya mendadak kosong. Meski begitu, air matanya sudah kembali mengalir deras dari kedua sisi. Dia menatap Arletta takut di sertai kebingungan yang teramat. "Arnetta! Lo denger gue, kan? Jelasin, buruan. Selagi gue masih meminta dengan baik-baik. Kalau gak, lo tahu gue bisa segila apa, kan?" Arletta semakin mendesak. Mencecar gadis yang mirip sekali dengannya, yang kini terlih
*Happy Reading*Ceklek!"Akhirnya kamu bal--elo?"Arkana yang tadinya sudah sumringah mendengar bunyi pintu terbuka. Tiba-tiba kembali kesal, karena ternyata yang datang bukanlah yang sedang ditunggunya."Biasa aja kali komuk lo. Kek udah lama orgasme aja." Elkava menjawab santai, seraya masuk dan menghampiri si tukang photo.Sialan memang sahabat Arletta ini. Kalau ngomong suka nyebelin. Pake ngingetin perkara orgasme lagi. Gak tahu apa dia, kalau Arkana memang sudah lama puasa main kuda-kudaan di ranjang. Semua itu karena Arletta memang sulit sekali ditaklukan. Juga ... selalu adaaa aja iklan yang lewat, tiap kali Arkana hampir dapat sedikit yang dia inginkan. "Gak usah diingetin. Kek gak tahu aja gimana sahabat lo!" kesal Arkana. Elkava pun sontak tertawa ngakak di tempatnya. "Hebat kan sahabat gue? Mahal banget meski perkara cipokan, ya kan?" Elkava pun menanggapi dengan bangga. "Bukan mahal lagi. Tapi premium banget. Sampai engap gue ngadepinnya." Arkana tanpa sadar malah curh