*Happy Reading*"Hukuman macam apa itu?" tanya Arletta bingung."Kenapa? Terlalu ringan buat kamu? Mau langsung yang serius saja?" tukas Pak Chandra seperti menantangnya.Namun, Arletta tetaplah Arletta. Yang bukannya baper ditembak bos sendiri. Dia malah menimpali dengan santai."Ck, ayolah, Pak. Jangan bercanda. Saya tau Bapak bukan orang amatir seperti ini. Bapak itu Bos yang baik dan bijak di sini. Jadi, tidak mungkin mencampur adukan urusan asmara dengan pekerjaan. Lagipula, Bapak memilih orang yang salah untuk bercanda. Karena saya bukan tipe baperan. Jadi maaf, prank anda kali ini gagal!"Luar biasa kan, Arletta ini? Dia bukan hanya tidak baper ditembak bosnya. Tapi malah menganggap ini prank semata. Padahal kalau Arletta tau, Pak Chandra justru sudah tertarik padanya, sejak pertama melihat surat lamaran kerja yang dikirimkan..Tentu saja, fisik Arletta tidak perlu diragukan untuk itu. Karena siapapun pasti akan tertegun lama hanya dalam pertemuan pertama. Arletta mempunya fisi
*Happy reading*Akibat chat dan telponnya Arletta abaikan. Arkana Sadewa pun kembali berulah. Dia bukannya hanya mengirim ratusan chat yang isinya spam semata. Juga menelpon Arletta berulang kali.Memang, teleponnya tidak sampai diangkat Arletta. Karena ponsel Arletta ada di loker dan telepon Arkana berlalu begitu saja. Hanya saja, gara-gara ulah si kang photo itu. Ponsel Arletta langsung ngelag bahkan mati total karena kehabisan daya.Benar-benar menyebalkan memang si tukang photo pemaksa ini. Awas saja, ketemu Arletta jambak rambut gondrongnya. Biar botak sekalian!"Lo kenapa sih, Let? Muka lo asem banget kek ketek si Andra." Reza bertanya saat mengantri untuk melakukan absen jari.Mereka memang satu shift hari ini, dan sudah jamnya untuk pulang.Andra yang merasa disebut pun tak terima dengan tuduhan itu, dan langsung menarik kepala Reza ke arah ketiaknya untuk membuktikan langsung ucapannya barusan."Rasain nih aroma surga ketek gue!" seru Andra dengan jumawa.Tak terima dengan ul
*Happy reading*"Kenapa?" Tak mendapat sahutan berarti dari Arletta akan cerita tentang sang adik. Arkana pun menyadari jika Arletta sepertinya tengah memikirkan sesuatu. "Gak papa," sahut Arletta pelan. "Beneran? Kok, kamu kelihatannya lesu gitu? Gak suka ya, sama cerita adik Mas?" selidik Arkana. "Nggak, kok." Arletta tersenyum tipis dan menggeleng satu kali. "Aku gak ada masalah soal itu. Kalau Mas mau cerita. Lanjutkan saja." Arletta menambahkan. Namun, sayangnya justru membuat Arkana semakin curiga. Arletta yang Arkana kenal itu galak dan jutek. Kenapa mendadak lembut begini? Arkana jadi nething kan jadinya. Gadis ini gak sedang kesurupan, kan? Kesurupan penunggu pohon yang mereka lewati, gitu. Siapa tahu aja, ya, kan?"Nanti aja deh, Mas lanjutin ceritanya. Sekarang mending kita makan dulu. Uhm ... kita nakan di sini aja, ya?" ajak Arkana. Setelah menghentikan mobilnya di depan warung tenda pecel lele.Arletta hanya mengangguk sekilas. Sebelum membuka seatbelt yang melingkar
*Happy Reading*Nyatanya, Arletta ternyata tak jadi pulang jam delapan. Karna tiba-tiba cafe rame saat jam tujuh tadi. Lanjut sampe jam 9.30. Makanya Arletta jadi lembur mendadak malam itu.Kalau kata Devi, sih. 'Makan bubur di cilandak, emang enak lembur mendadak!'Huh, dasar!Alhasil, Arletta pun hanya mampu berdecak kesal, saat menemukan si tukang photo ada di cafe menjelang last order. "Mas Arkan ngapain ke sini?" Arletta berbisik seraya diam-diam mendekati si gondrong nan maskulin, yang kini sudah menjadi pacarnya."Minum kopi," sahut Arkana santai, memamerkan gelas kopi dan menyesapnya dengan khidmat. Hadew! Anak bocah juga tahu. Kalau ke warung kopi itu, pastinya beli kopi. Ya kali beli semen. Ini yang salah pertanyaan Arletta, atau otak si kang photo yang terlalu polos. Otak kang photo polos? Hah ... gak mungkin banget!"Ngapain minum kopi malem-malem. Mau ronda situ?" cebik Arletta kesel. Senyum lebar si kang photo pun segera terbit. "Kalau kamu gak keberatan saya rondai
*Happy Reading*"Lele?!"Arletta langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Saat baru saja mengangkat panggilan dari Karmila, tapi langsung dihadiahi seruan lantang. Arlett merasa auto mendadak budek karena ulah sahabatnya itu.Sialan, Karmila!"Bisa gak, gak usah teriak-teriak gitu. Kuping gue masih normal." Arletta menggeram kesal, melirik sekitarnya. Padahal, Arletta maunya membalas teriakan Karmilla barusan tak kalah lantang. Biar si model itu bisa auto budek juga seperti Arletta. Akan tetapi, sayang saat ini dia ada di halte bis yang lumayan rame. Baru akan berangkat kerja. "Gak bisa, gak bisa! Gue emang butuh menyuarakan ini dengan lantang sama lo. Biar lo tahu sekesal apa gue saat ini," balas Karmilla menggebu. "Ck, menyuarakan apa, sih? Emang gue ngapain sampe bikin lo kesel? Perasaan, udah lama gak ketemu, juga.""Nah, itu!"Arlette kembali menjauhkan ponselnya dari jangkau. Karena Karmilla kembali berteriak di balik telepon. Sumpah ya, nih, cewek satu. Lama-lama Arletta
*Happy Reading*"Gue gak papa, No. Serius, deh! Tiduran bentar juga bae, kok." Arkana masih menolak dengan keras titah Bruno. Padahal wajahnya sudah sepucat kertas dan badannya sudah selemas jelly. Tetap saja, pria itu tidak mau ke dokter. Bahkan untuk pulang pun, tidak mau. Entah karena apa? Yang jelas, hal itu tentu saja membuat Bruno, sebagai asistennya khawatir. Pun para kru dan model yang terlibat pemotretan kali ini. Insident sakitnya Arkana menjadi aji mumpung untuk beberapa model. Mereka auto sok perhatian, dan berusaha mencari simpatik Arkana yang memang menjadi photografer idola. Bruno sampai mengira. Mungkin, hal itu juga yang membuat si kang photo itu malas pulang. Secara, kapan lagi ya kan, mendapat banyak perhatian dari cewek cantik gini. Daripada pulang hanya bisa menderita sendiri. Mending di sini, di manja semua orang dan para model cantik. Karena itulah, Bruno kesal luar biasa pada sifat ngeyel si kang photo dan minta Karmilla menghubungi Arletta. Biar tahu rasa
*Happy Reading*"Infeksi lambung?" beo Arkana, menatap tak percaya pada dokter yang baru saja memeriksanya."Iya, Wa. Kan gue udah bilang sama lo. Jaga pola makan lo dan jauhi kopi dulu. Tapi lo emang ngeyel banget kayaknya. Makanya, ya ... jangan heran kalau lo akhirnya kena infeksi lambung kayak gini," sahut di dokter yang tak lain dan tak bukan adalah teman Arkana, Haikal namanya. Namun, bukan itu yang membuat Arkana hampir melotot tak percaya pada si dokter. Melainkan ada pada diagnosanya yang sama pada Arletta. Diam-diam, Arkana melirik gadis itu yang duduk manis di sofa tak jauh darinya. Tengah asik bermain dengan ponselnya. Seakan acuh pada kebetulan yang terjadi di sana. Masih setia dengan masker dan kupluk hodie yang hampir menutupi wajahnya.'Ini kok diagnosa Arletta bisa tepat gitu, ya? Siapa sebenarnya gadis itu?' batin Arkana berbisik bingung. "Ini gue tulisin resep buat lo ya, Wa. Mau di kirim Bruno seperti biasa atau kasih pembantu lo?" Dokter Haikal bersuara lagi."
*Happy reading*"PUTRI SULUNG KELUARGA PENGUSAHA KENAMAAN IBUKOTA, ARLETTA REGINA ZAVIER. DITEMUKAN TEWAS BUNUH DIRI DI KAMARNYA. KABARNYA KARENA TIDAK BISA MENERIMA KEPERGIAN ORANG TUANYA DALAM KECELAKAAN BEBERAPA BULAN LALU. ARLETTA MENGALAMI DEPRESI HINGGA MEMUTUSKAN MENYUSUL IBU DAN AYAHNYA. Awalnya, Arkana menolak tegas kabar yang di bawa Haikal. Soalnya itu memang gak mungkin, kan? Arletta segar bugar begitu, masa dikabarkan meninggal. Ada gila-gilanya memang nih orang. Lagi pula, nama Arletta itu banyak. Siapa tahu yang Haikal maksud itu bukan Arletta-nya, tapi Arletta lain. Bisa saja, kan? Akan tetapi, tubuh Arkana pun seketika membatu melihat jejak media yang baru saja ditunjukan Haikal. Plus photo yang terpampang di sana. Itu benar-benar wajah Arletta. Meski dalam versi remaja dan memakai seragam SMA. Tetap saja, itu wajah pacarnya, Arletta. Senyumnya, hidungnya, matanya, pokoknya semuanya milik Arletta. Bagaimana mungkin ini terjadi? Sungguh Arkana tidak habis pikir. Ka