*Happy reading*"Kenapa?" Tak mendapat sahutan berarti dari Arletta akan cerita tentang sang adik. Arkana pun menyadari jika Arletta sepertinya tengah memikirkan sesuatu. "Gak papa," sahut Arletta pelan. "Beneran? Kok, kamu kelihatannya lesu gitu? Gak suka ya, sama cerita adik Mas?" selidik Arkana. "Nggak, kok." Arletta tersenyum tipis dan menggeleng satu kali. "Aku gak ada masalah soal itu. Kalau Mas mau cerita. Lanjutkan saja." Arletta menambahkan. Namun, sayangnya justru membuat Arkana semakin curiga. Arletta yang Arkana kenal itu galak dan jutek. Kenapa mendadak lembut begini? Arkana jadi nething kan jadinya. Gadis ini gak sedang kesurupan, kan? Kesurupan penunggu pohon yang mereka lewati, gitu. Siapa tahu aja, ya, kan?"Nanti aja deh, Mas lanjutin ceritanya. Sekarang mending kita makan dulu. Uhm ... kita nakan di sini aja, ya?" ajak Arkana. Setelah menghentikan mobilnya di depan warung tenda pecel lele.Arletta hanya mengangguk sekilas. Sebelum membuka seatbelt yang melingkar
*Happy Reading*Nyatanya, Arletta ternyata tak jadi pulang jam delapan. Karna tiba-tiba cafe rame saat jam tujuh tadi. Lanjut sampe jam 9.30. Makanya Arletta jadi lembur mendadak malam itu.Kalau kata Devi, sih. 'Makan bubur di cilandak, emang enak lembur mendadak!'Huh, dasar!Alhasil, Arletta pun hanya mampu berdecak kesal, saat menemukan si tukang photo ada di cafe menjelang last order. "Mas Arkan ngapain ke sini?" Arletta berbisik seraya diam-diam mendekati si gondrong nan maskulin, yang kini sudah menjadi pacarnya."Minum kopi," sahut Arkana santai, memamerkan gelas kopi dan menyesapnya dengan khidmat. Hadew! Anak bocah juga tahu. Kalau ke warung kopi itu, pastinya beli kopi. Ya kali beli semen. Ini yang salah pertanyaan Arletta, atau otak si kang photo yang terlalu polos. Otak kang photo polos? Hah ... gak mungkin banget!"Ngapain minum kopi malem-malem. Mau ronda situ?" cebik Arletta kesel. Senyum lebar si kang photo pun segera terbit. "Kalau kamu gak keberatan saya rondai
*Happy Reading*"Lele?!"Arletta langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Saat baru saja mengangkat panggilan dari Karmila, tapi langsung dihadiahi seruan lantang. Arlett merasa auto mendadak budek karena ulah sahabatnya itu.Sialan, Karmila!"Bisa gak, gak usah teriak-teriak gitu. Kuping gue masih normal." Arletta menggeram kesal, melirik sekitarnya. Padahal, Arletta maunya membalas teriakan Karmilla barusan tak kalah lantang. Biar si model itu bisa auto budek juga seperti Arletta. Akan tetapi, sayang saat ini dia ada di halte bis yang lumayan rame. Baru akan berangkat kerja. "Gak bisa, gak bisa! Gue emang butuh menyuarakan ini dengan lantang sama lo. Biar lo tahu sekesal apa gue saat ini," balas Karmilla menggebu. "Ck, menyuarakan apa, sih? Emang gue ngapain sampe bikin lo kesel? Perasaan, udah lama gak ketemu, juga.""Nah, itu!"Arlette kembali menjauhkan ponselnya dari jangkau. Karena Karmilla kembali berteriak di balik telepon. Sumpah ya, nih, cewek satu. Lama-lama Arletta
*Happy Reading*"Gue gak papa, No. Serius, deh! Tiduran bentar juga bae, kok." Arkana masih menolak dengan keras titah Bruno. Padahal wajahnya sudah sepucat kertas dan badannya sudah selemas jelly. Tetap saja, pria itu tidak mau ke dokter. Bahkan untuk pulang pun, tidak mau. Entah karena apa? Yang jelas, hal itu tentu saja membuat Bruno, sebagai asistennya khawatir. Pun para kru dan model yang terlibat pemotretan kali ini. Insident sakitnya Arkana menjadi aji mumpung untuk beberapa model. Mereka auto sok perhatian, dan berusaha mencari simpatik Arkana yang memang menjadi photografer idola. Bruno sampai mengira. Mungkin, hal itu juga yang membuat si kang photo itu malas pulang. Secara, kapan lagi ya kan, mendapat banyak perhatian dari cewek cantik gini. Daripada pulang hanya bisa menderita sendiri. Mending di sini, di manja semua orang dan para model cantik. Karena itulah, Bruno kesal luar biasa pada sifat ngeyel si kang photo dan minta Karmilla menghubungi Arletta. Biar tahu rasa
*Happy Reading*"Infeksi lambung?" beo Arkana, menatap tak percaya pada dokter yang baru saja memeriksanya."Iya, Wa. Kan gue udah bilang sama lo. Jaga pola makan lo dan jauhi kopi dulu. Tapi lo emang ngeyel banget kayaknya. Makanya, ya ... jangan heran kalau lo akhirnya kena infeksi lambung kayak gini," sahut di dokter yang tak lain dan tak bukan adalah teman Arkana, Haikal namanya. Namun, bukan itu yang membuat Arkana hampir melotot tak percaya pada si dokter. Melainkan ada pada diagnosanya yang sama pada Arletta. Diam-diam, Arkana melirik gadis itu yang duduk manis di sofa tak jauh darinya. Tengah asik bermain dengan ponselnya. Seakan acuh pada kebetulan yang terjadi di sana. Masih setia dengan masker dan kupluk hodie yang hampir menutupi wajahnya.'Ini kok diagnosa Arletta bisa tepat gitu, ya? Siapa sebenarnya gadis itu?' batin Arkana berbisik bingung. "Ini gue tulisin resep buat lo ya, Wa. Mau di kirim Bruno seperti biasa atau kasih pembantu lo?" Dokter Haikal bersuara lagi."
*Happy reading*"PUTRI SULUNG KELUARGA PENGUSAHA KENAMAAN IBUKOTA, ARLETTA REGINA ZAVIER. DITEMUKAN TEWAS BUNUH DIRI DI KAMARNYA. KABARNYA KARENA TIDAK BISA MENERIMA KEPERGIAN ORANG TUANYA DALAM KECELAKAAN BEBERAPA BULAN LALU. ARLETTA MENGALAMI DEPRESI HINGGA MEMUTUSKAN MENYUSUL IBU DAN AYAHNYA. Awalnya, Arkana menolak tegas kabar yang di bawa Haikal. Soalnya itu memang gak mungkin, kan? Arletta segar bugar begitu, masa dikabarkan meninggal. Ada gila-gilanya memang nih orang. Lagi pula, nama Arletta itu banyak. Siapa tahu yang Haikal maksud itu bukan Arletta-nya, tapi Arletta lain. Bisa saja, kan? Akan tetapi, tubuh Arkana pun seketika membatu melihat jejak media yang baru saja ditunjukan Haikal. Plus photo yang terpampang di sana. Itu benar-benar wajah Arletta. Meski dalam versi remaja dan memakai seragam SMA. Tetap saja, itu wajah pacarnya, Arletta. Senyumnya, hidungnya, matanya, pokoknya semuanya milik Arletta. Bagaimana mungkin ini terjadi? Sungguh Arkana tidak habis pikir. Ka
*Happy Reading*"Sorry. Kamu gak papa, kan?"Sialan! Kenapa dunia mendadak sempit begini, sih?Arletta membenarkan letak masker yang menutupi wajahnya sejenak. Lalu segera mengambil hp yang terjatuh akibat tabrakan tadi, saat Tristan bergerak hendak mengambil ponsel tersebut. Bukan apa-apa, hanya saja layar depan ponsel masih menamilkan ruang chat antara Arletta dan Karmilla. Kalau sampai dilihat Tristan, bisa kacau jadinya. Arletta hanya mengangguk sekilas sebelum berlalu pergi dengan cepat. Meski saat ini Arletta masih mengenakan masker dan kupluk hodie yang bisa menyamarkan penampilannya. Arletta harus tetap berjaga-jaga pada Tristan. Karena di akui atau tidak, Tristan adalah pria yang lumayan mengenalnya dan Ane, adiknya dulu. "Eh?" Baru saja Arletta beberapa langkah Arletta melewati pria itu. Tangannya sudah dicekal seseorang. Pelakunya adalah Tristan sendiri. Arletta sontak menoleh ke arah pria itu lagi. "Beneran kamu gak papa? Ponselnya? Gak rusak?" Suara tristan lebih nge
*Happy Reading*Arletta sedikit terkesiap, saat merasakan sebuah rasa dingin pada puncak kepalanya. Ketika mendongak, gadis itu menemukan wajah Pak Chandra, atasannya tersenyum manis menatapnya. Dengkusan pelan pun hadir setelahnya.Tanpa di perintah, Pak Chandra lalu mengambil duduk di sebelah Arletta. Lalu menyerahkan minuman kaleng yang dibawanya ke pada gadis itu. "Minum dulu, biar otaknya agak adem," selorohnya. "Thanks," jawab Arletta sekenanya sambil menerima minuman itu. Namun, tanpa berniat meminumnya sama sekali. Karena Arletta tidak suka minuman bersoda. "Kamu sudah makan? Cateringan, saya liat udah menipis, loh. Hati-hati gak kebagian." Pak Chandra, atau biasa Arletta panggil Kang kopi bersuara lagi. "Udah, kok. Baru selesai makanya ngaso bentar di sini," jawab Arletta lugas. Mencoba tidak mengusirnya bosnya sendiri yang lumayan bawel hari ini. Padahal, Arletta sebenarnya sedang ingin sendiri. Menenangkan perasaannya yang masih kacau akibat si kang photo. Mumpung seda