*Happy reading*Akibat chat dan telponnya Arletta abaikan. Arkana Sadewa pun kembali berulah. Dia bukannya hanya mengirim ratusan chat yang isinya spam semata. Juga menelpon Arletta berulang kali.Memang, teleponnya tidak sampai diangkat Arletta. Karena ponsel Arletta ada di loker dan telepon Arkana berlalu begitu saja. Hanya saja, gara-gara ulah si kang photo itu. Ponsel Arletta langsung ngelag bahkan mati total karena kehabisan daya.Benar-benar menyebalkan memang si tukang photo pemaksa ini. Awas saja, ketemu Arletta jambak rambut gondrongnya. Biar botak sekalian!"Lo kenapa sih, Let? Muka lo asem banget kek ketek si Andra." Reza bertanya saat mengantri untuk melakukan absen jari.Mereka memang satu shift hari ini, dan sudah jamnya untuk pulang.Andra yang merasa disebut pun tak terima dengan tuduhan itu, dan langsung menarik kepala Reza ke arah ketiaknya untuk membuktikan langsung ucapannya barusan."Rasain nih aroma surga ketek gue!" seru Andra dengan jumawa.Tak terima dengan ul
*Happy reading*"Kenapa?" Tak mendapat sahutan berarti dari Arletta akan cerita tentang sang adik. Arkana pun menyadari jika Arletta sepertinya tengah memikirkan sesuatu. "Gak papa," sahut Arletta pelan. "Beneran? Kok, kamu kelihatannya lesu gitu? Gak suka ya, sama cerita adik Mas?" selidik Arkana. "Nggak, kok." Arletta tersenyum tipis dan menggeleng satu kali. "Aku gak ada masalah soal itu. Kalau Mas mau cerita. Lanjutkan saja." Arletta menambahkan. Namun, sayangnya justru membuat Arkana semakin curiga. Arletta yang Arkana kenal itu galak dan jutek. Kenapa mendadak lembut begini? Arkana jadi nething kan jadinya. Gadis ini gak sedang kesurupan, kan? Kesurupan penunggu pohon yang mereka lewati, gitu. Siapa tahu aja, ya, kan?"Nanti aja deh, Mas lanjutin ceritanya. Sekarang mending kita makan dulu. Uhm ... kita nakan di sini aja, ya?" ajak Arkana. Setelah menghentikan mobilnya di depan warung tenda pecel lele.Arletta hanya mengangguk sekilas. Sebelum membuka seatbelt yang melingkar
*Happy Reading*Nyatanya, Arletta ternyata tak jadi pulang jam delapan. Karna tiba-tiba cafe rame saat jam tujuh tadi. Lanjut sampe jam 9.30. Makanya Arletta jadi lembur mendadak malam itu.Kalau kata Devi, sih. 'Makan bubur di cilandak, emang enak lembur mendadak!'Huh, dasar!Alhasil, Arletta pun hanya mampu berdecak kesal, saat menemukan si tukang photo ada di cafe menjelang last order. "Mas Arkan ngapain ke sini?" Arletta berbisik seraya diam-diam mendekati si gondrong nan maskulin, yang kini sudah menjadi pacarnya."Minum kopi," sahut Arkana santai, memamerkan gelas kopi dan menyesapnya dengan khidmat. Hadew! Anak bocah juga tahu. Kalau ke warung kopi itu, pastinya beli kopi. Ya kali beli semen. Ini yang salah pertanyaan Arletta, atau otak si kang photo yang terlalu polos. Otak kang photo polos? Hah ... gak mungkin banget!"Ngapain minum kopi malem-malem. Mau ronda situ?" cebik Arletta kesel. Senyum lebar si kang photo pun segera terbit. "Kalau kamu gak keberatan saya rondai
*Happy Reading*"Lele?!"Arletta langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Saat baru saja mengangkat panggilan dari Karmila, tapi langsung dihadiahi seruan lantang. Arlett merasa auto mendadak budek karena ulah sahabatnya itu.Sialan, Karmila!"Bisa gak, gak usah teriak-teriak gitu. Kuping gue masih normal." Arletta menggeram kesal, melirik sekitarnya. Padahal, Arletta maunya membalas teriakan Karmilla barusan tak kalah lantang. Biar si model itu bisa auto budek juga seperti Arletta. Akan tetapi, sayang saat ini dia ada di halte bis yang lumayan rame. Baru akan berangkat kerja. "Gak bisa, gak bisa! Gue emang butuh menyuarakan ini dengan lantang sama lo. Biar lo tahu sekesal apa gue saat ini," balas Karmilla menggebu. "Ck, menyuarakan apa, sih? Emang gue ngapain sampe bikin lo kesel? Perasaan, udah lama gak ketemu, juga.""Nah, itu!"Arlette kembali menjauhkan ponselnya dari jangkau. Karena Karmilla kembali berteriak di balik telepon. Sumpah ya, nih, cewek satu. Lama-lama Arletta
*Happy Reading*"Gue gak papa, No. Serius, deh! Tiduran bentar juga bae, kok." Arkana masih menolak dengan keras titah Bruno. Padahal wajahnya sudah sepucat kertas dan badannya sudah selemas jelly. Tetap saja, pria itu tidak mau ke dokter. Bahkan untuk pulang pun, tidak mau. Entah karena apa? Yang jelas, hal itu tentu saja membuat Bruno, sebagai asistennya khawatir. Pun para kru dan model yang terlibat pemotretan kali ini. Insident sakitnya Arkana menjadi aji mumpung untuk beberapa model. Mereka auto sok perhatian, dan berusaha mencari simpatik Arkana yang memang menjadi photografer idola. Bruno sampai mengira. Mungkin, hal itu juga yang membuat si kang photo itu malas pulang. Secara, kapan lagi ya kan, mendapat banyak perhatian dari cewek cantik gini. Daripada pulang hanya bisa menderita sendiri. Mending di sini, di manja semua orang dan para model cantik. Karena itulah, Bruno kesal luar biasa pada sifat ngeyel si kang photo dan minta Karmilla menghubungi Arletta. Biar tahu rasa
*Happy Reading*"Infeksi lambung?" beo Arkana, menatap tak percaya pada dokter yang baru saja memeriksanya."Iya, Wa. Kan gue udah bilang sama lo. Jaga pola makan lo dan jauhi kopi dulu. Tapi lo emang ngeyel banget kayaknya. Makanya, ya ... jangan heran kalau lo akhirnya kena infeksi lambung kayak gini," sahut di dokter yang tak lain dan tak bukan adalah teman Arkana, Haikal namanya. Namun, bukan itu yang membuat Arkana hampir melotot tak percaya pada si dokter. Melainkan ada pada diagnosanya yang sama pada Arletta. Diam-diam, Arkana melirik gadis itu yang duduk manis di sofa tak jauh darinya. Tengah asik bermain dengan ponselnya. Seakan acuh pada kebetulan yang terjadi di sana. Masih setia dengan masker dan kupluk hodie yang hampir menutupi wajahnya.'Ini kok diagnosa Arletta bisa tepat gitu, ya? Siapa sebenarnya gadis itu?' batin Arkana berbisik bingung. "Ini gue tulisin resep buat lo ya, Wa. Mau di kirim Bruno seperti biasa atau kasih pembantu lo?" Dokter Haikal bersuara lagi."
*Happy reading*"PUTRI SULUNG KELUARGA PENGUSAHA KENAMAAN IBUKOTA, ARLETTA REGINA ZAVIER. DITEMUKAN TEWAS BUNUH DIRI DI KAMARNYA. KABARNYA KARENA TIDAK BISA MENERIMA KEPERGIAN ORANG TUANYA DALAM KECELAKAAN BEBERAPA BULAN LALU. ARLETTA MENGALAMI DEPRESI HINGGA MEMUTUSKAN MENYUSUL IBU DAN AYAHNYA. Awalnya, Arkana menolak tegas kabar yang di bawa Haikal. Soalnya itu memang gak mungkin, kan? Arletta segar bugar begitu, masa dikabarkan meninggal. Ada gila-gilanya memang nih orang. Lagi pula, nama Arletta itu banyak. Siapa tahu yang Haikal maksud itu bukan Arletta-nya, tapi Arletta lain. Bisa saja, kan? Akan tetapi, tubuh Arkana pun seketika membatu melihat jejak media yang baru saja ditunjukan Haikal. Plus photo yang terpampang di sana. Itu benar-benar wajah Arletta. Meski dalam versi remaja dan memakai seragam SMA. Tetap saja, itu wajah pacarnya, Arletta. Senyumnya, hidungnya, matanya, pokoknya semuanya milik Arletta. Bagaimana mungkin ini terjadi? Sungguh Arkana tidak habis pikir. Ka
*Happy Reading*"Sorry. Kamu gak papa, kan?"Sialan! Kenapa dunia mendadak sempit begini, sih?Arletta membenarkan letak masker yang menutupi wajahnya sejenak. Lalu segera mengambil hp yang terjatuh akibat tabrakan tadi, saat Tristan bergerak hendak mengambil ponsel tersebut. Bukan apa-apa, hanya saja layar depan ponsel masih menamilkan ruang chat antara Arletta dan Karmilla. Kalau sampai dilihat Tristan, bisa kacau jadinya. Arletta hanya mengangguk sekilas sebelum berlalu pergi dengan cepat. Meski saat ini Arletta masih mengenakan masker dan kupluk hodie yang bisa menyamarkan penampilannya. Arletta harus tetap berjaga-jaga pada Tristan. Karena di akui atau tidak, Tristan adalah pria yang lumayan mengenalnya dan Ane, adiknya dulu. "Eh?" Baru saja Arletta beberapa langkah Arletta melewati pria itu. Tangannya sudah dicekal seseorang. Pelakunya adalah Tristan sendiri. Arletta sontak menoleh ke arah pria itu lagi. "Beneran kamu gak papa? Ponselnya? Gak rusak?" Suara tristan lebih nge
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat