*Happy Reading*Sebenarnya, kondisi kakek tak terlalu parah paska insiden yang menimpanya tempo hari. Hanya saja, karena mendapatkan perawatan dan obat-obatan yang tak seharusnya. Kakek pun tak sadarkan diri lumayan lama. Lihat saja, buktinya sekarang, setelah mendapatkan perawatan dan obat-obatan yang tepat. Kakek pun sudah siuman dengan kondisi tubuh yang lebih baik. "Jadi begitu?" gumam Kakek setelah tahu kebenarannya dari Ayah Yudis dan rencana yang Arletta buat. Wajah tuanya tampak sedih dan kecewa. Pun sang nenek di sebelahnya, yang ikut mendengarkan. Bedanya, nenek bisa secara gamblang menangis tersedu menyuarakan perasaan sedih dan kecewanya. Sementara Kakek berusaha tetap tegar. "Lalu, apa rencanamu?" tanya kakek lagi pada Arletta. "Kalau kakek bertanya padaku. Tentu saja akan aku jawab. Menjebak Adiyaksa dan memasukannya ke dalam penjara atas kejahatannya yang berlapis. Tetapi, aku tahu, sebagai orang tua pasti kalian ingin memaafkan dan memberikan kesempatan lagi, lagi,
*Happy Reading*"Tidak mungkin!" murka Adiyaksa."Bukti tertulisnya ada di tanganmu, Paman. Kau tidak meninggalkan kaca matamu di rumah, kan, hingga tidak bisa membacanya dengan jelas?" jawab Arletta santai. Tak gentar sama sekali. "Ini pasti palsu!" Adiyaksa masih menolak. "Kau pasti merekayasanya, iya kan?" Pria benar-benar tak terima dengan fakta yang di suguhkan. Pria itu melempar surat pernyataan yang tadi diberikan Elkava, yang sudah dia robek-ribek dengan kasar ke arah Arletta.Bagaimana mungkin Adiyaksa bisa dikalahkan bocah ingusan kemarin sore ini? Terlebih, bagaimana mungkin dia tidak menyadari si bocah yang ternyata memilih saham lebih besar darinya. Sialan! Benar-benar sialan! Adiyaksa tidak bisa menerima semua ini!"Aku merekayasa? Oh maaf Paman. Aku bukan dirimu yang suka sekali merekayasa suatu kejadian." Arletta masih menjawab santai sekali. Tenang dan percaya diri. Benar-benar menunjukan jika dirinya tidak bisa diintimidasi oleh Adiyaksa. "Apa maksudmu?""Aku yaki
*Happy Reading*Adiyaksa masih linglung saat akhirnya diamankan polisi. Atas tuduhan berlapis yang kakek layangkan, juga bukti penggelapan dana perusahaan yang Arletta sertakan. Hidup Adiyaksa sudah hancur.Setelah masalah Adiyaksa kelar. Tanda tangan kontrak kerja sama pun dilanjutkan. Akan tetapi, oleh Tetua sebagai perwakilan dari Kusuma, bukan Arletta yang awalnya ditunjuk untuk meneruskan Kusuma Group.Gadis itu menolak tanggung jawab itu, bahkan tiba-tiba mengembalikan semua saham yang sudah diberikan Tetua adanya begitu saja. "Aku sudah bilang. Dari awal, aku tidak pernah tertarik dengan saham keluarga Kusuma." Itulah alasan yang dia berikan. "Tapi, Nak. Ini adalah hak mu. Kakek dengan senang hati memberikannya. Terimalah," bujuk sang Kakek. "Tidak, terima kasih. Dari awal, tujuanku memang hanya ingin membungkam dan menghancurkan kesombongan Adiyaksa. Selanjutnya, aku tidak butuh saham-saham itu." Arletta tetap menolak. "Tapi--""Lagi pula aku juga masih harus fight merebut
*Happy Reading*"Nanti lagi ya, Yang."Arletta langsung mendelik tajam pada suaminya. Saat dengan isengnya berbisik dan meniup cuping telinganya dari belakang dengan nakal sekali. Pria ini benar-benar, ya. Otak mesumnya sangat membuat tangan Arletta gatal sekali ingin menyiramnya dengan soda api. Mentang sudah sah, suka sekali nyosor tak pandang kondisi. Hari ini saja mereka hampir telat datang ke acara kakek, gara-gara Arkana yang masih saja tak puas melumat bibirnya. Kalau saja tidak Arletta geplak kepalanya, pria itu pasti tak mau berhenti nyosor. Dasar soang!"Jangan mulai, deh, Mas. Nanti beneran aku bikin benjol kepala kamu!" desis Arletta pelan. Seraya mempertahankan senyumnya karena kini mereka di tempat umum. "Ck, pelit banget sih jadi istri." Arkana pun merajuk."Udah, sih. Kita bahas itu nanti aja. Ayo masuk dulu." Arletta mengabaikan rajukan Arkana, dan menggandeng lengan pria itu dengan mesra sebelum memasuki ruangan pesta. Pesta ulang tahun kakek yang ke-80 tahun. Pe
*Happy Reading*Arletta memilih mengalah demi tak menimbulkan keributan lebih banyak. Memberikan kode sekilas pada kedua mertua dan suaminya yang hendak membela. Arletta lumayan mengenal bagaimana karakter Tia. Karenanya, biarkan saja begini dulu. Akan ada waktunya nanti untuk membungkam mulut busuk Tia. Akhirnya dengan berat hati Arletta pun pergi digiring sang ketua pelayan, meninggalkan ibunya Tristan yang langsung tersenyum penuh kemenangan.Tidak apa-apa. Karma jaman sekarang pakenya gojek kok. Jadi selalu instan.Selepas kepergian Arletta. Pesta pun berlanjut. Acara demi acara dimulai dengan sangat meriah, memberi kebahagiaan dan keakraban pada tamu yang hadir. Banyak di antaranya menggunakan momen tersebut untuk menambah relasi, atau bahkan menjodohkan anak-anak mereka. Pernikahan bisnis. Kalian mengerti, kan?"Baiklah semuanya. Akhirnya kita sampai pada acara puncak malam ini. Yaitu, pemotongan kue yang akan dilakukan oleh Tetua Kusuma sebagai sang pemilik acara."Riuh tepu
*Happy Reading*"Ternyata cucu baru Tetua selain pebisnis, juga seorang Dokter.""Padahal, setahu saya kuliah Bisnis atau pun Kedokteran. Dua-duanya sulit. Tapi dia bisa kuliah di dua jurusan sekaligus seperti itu. Luar biasa!""Saya punya sepupu seorang dokter. Dia orangnya pintar saat sekolah menengah atas. Tapi, saat masuk kedokteran, dia bilang kuliah di sana lebih sulit dari mana pun. Hampir menyerah kalau saja tidak diberi ancaman oleh orang tuanya. Dia butuh waktu lama sekali untuk bisa lulus. Tapi cucu Tetua? Dia sepertinya sangat jenius.""Ya, dia memang sangat jenius. Terbukti dari bagaimana cara dia mengalahkan Adiyaksa kemarin. Saya yang turut hadir kemarin sampai spechless.""Benarkah? Wah! Sayang sekali saya tidak punya anak lelaki yang masih single. Kalau ada, saya suruh dia lamar gadis itu besok juga.""Saya ada. Besok saya suruh dia menemui Tetua untuk melamar.""Kalau begitu kita akan jadi saingan setelah ini. Karena saya pun punya satu lagi anak bujang di rumah."Di
*Happy Reading*"Kenapa?" Seakan tau apa yang Arletta rasakan, Arkana pun bertanya dengan cara berbisik. "Nggak papa. Hanya ... sedikit lelah," jawab Arletta mencoba mempertahankan senyumnya malam itu.Entah karena tujuh tahun ini lebih sering bersembunyi dan membatasi diri berinteraksi dengan orang, atau terbiasa bekerja dibalik layar. Arletta merasa tidak nyaman berada di tengah pesta yang kakek adakan malam ini. Apalagi, setelah perkenalan tadi. Beberapa orang langsung mendekatinya dan mencoba mengakrabkan diri. Meski di sana ada Arkana yang selalu berdiri di sampingnya. Tetap saja, Arletta tidak nyaman. "Lelah?" beo Arkana sedikit bingung. Sebab sejak tadi dia melihat Arletta tidak melakukan hal berat yang bisa menguras energi. "Nggak papa, kok. Mungkin karena belum terbiasa bertemu orang banyak lagi. Jadi, rasanya capek sekali."Ah, begitu ternyata. "Mau pulang?" Arkana pun mencoba memberi solusi. "Gak enak sama kakek," bisik Arletta melirik keberadaan kakeknya yang berada
*Happy Reading*"Inara? Siapa Inara?" tanya Arletta penuh tuntutan, setelah diingatkan kembali dengan nama yang cukup mengganggu pikirannya kemarin. Jika biasanya Arkana akan menjawab dan menjelaskan perihal wanita yang sempat hadir dalam hidupnya. Kali ini berbeda. Alih-alih menjawab tanya istrinya, pria itu malah terlihat gelagapan dengan bola mata yang bergerak liar ke sekeliling, seolah takut melihat Arletta. Hal itu tentu saja membuat Arletta curiga. "Mas?""Hanya orang dari masa lalu. Tidak usah kamu pikirkan."Bagaimana tidak bisa Arletta pikirkan. Jika menyebut nama Inara saja, reaksi si kang photo berlebihan begini. Arletta makin curiga jika ada cerita spesial di antara mereka dulu.Pria itu bahkan tidak mau repot-repot berakting seolah baik-baik saja, dan mencari alasan klise demi menutupi perasaannya. Layaknya seorang playboy hebat. Itu berarti, arti Inara dalam hidup Arkana memang sedalam itu. "Aku tidak yakin Inara hanya sekedar orang di masa lalu kamu.""Maksudnya?"
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat