*Happy Reading*"Ternyata cucu baru Tetua selain pebisnis, juga seorang Dokter.""Padahal, setahu saya kuliah Bisnis atau pun Kedokteran. Dua-duanya sulit. Tapi dia bisa kuliah di dua jurusan sekaligus seperti itu. Luar biasa!""Saya punya sepupu seorang dokter. Dia orangnya pintar saat sekolah menengah atas. Tapi, saat masuk kedokteran, dia bilang kuliah di sana lebih sulit dari mana pun. Hampir menyerah kalau saja tidak diberi ancaman oleh orang tuanya. Dia butuh waktu lama sekali untuk bisa lulus. Tapi cucu Tetua? Dia sepertinya sangat jenius.""Ya, dia memang sangat jenius. Terbukti dari bagaimana cara dia mengalahkan Adiyaksa kemarin. Saya yang turut hadir kemarin sampai spechless.""Benarkah? Wah! Sayang sekali saya tidak punya anak lelaki yang masih single. Kalau ada, saya suruh dia lamar gadis itu besok juga.""Saya ada. Besok saya suruh dia menemui Tetua untuk melamar.""Kalau begitu kita akan jadi saingan setelah ini. Karena saya pun punya satu lagi anak bujang di rumah."Di
*Happy Reading*"Kenapa?" Seakan tau apa yang Arletta rasakan, Arkana pun bertanya dengan cara berbisik. "Nggak papa. Hanya ... sedikit lelah," jawab Arletta mencoba mempertahankan senyumnya malam itu.Entah karena tujuh tahun ini lebih sering bersembunyi dan membatasi diri berinteraksi dengan orang, atau terbiasa bekerja dibalik layar. Arletta merasa tidak nyaman berada di tengah pesta yang kakek adakan malam ini. Apalagi, setelah perkenalan tadi. Beberapa orang langsung mendekatinya dan mencoba mengakrabkan diri. Meski di sana ada Arkana yang selalu berdiri di sampingnya. Tetap saja, Arletta tidak nyaman. "Lelah?" beo Arkana sedikit bingung. Sebab sejak tadi dia melihat Arletta tidak melakukan hal berat yang bisa menguras energi. "Nggak papa, kok. Mungkin karena belum terbiasa bertemu orang banyak lagi. Jadi, rasanya capek sekali."Ah, begitu ternyata. "Mau pulang?" Arkana pun mencoba memberi solusi. "Gak enak sama kakek," bisik Arletta melirik keberadaan kakeknya yang berada
*Happy Reading*"Inara? Siapa Inara?" tanya Arletta penuh tuntutan, setelah diingatkan kembali dengan nama yang cukup mengganggu pikirannya kemarin. Jika biasanya Arkana akan menjawab dan menjelaskan perihal wanita yang sempat hadir dalam hidupnya. Kali ini berbeda. Alih-alih menjawab tanya istrinya, pria itu malah terlihat gelagapan dengan bola mata yang bergerak liar ke sekeliling, seolah takut melihat Arletta. Hal itu tentu saja membuat Arletta curiga. "Mas?""Hanya orang dari masa lalu. Tidak usah kamu pikirkan."Bagaimana tidak bisa Arletta pikirkan. Jika menyebut nama Inara saja, reaksi si kang photo berlebihan begini. Arletta makin curiga jika ada cerita spesial di antara mereka dulu.Pria itu bahkan tidak mau repot-repot berakting seolah baik-baik saja, dan mencari alasan klise demi menutupi perasaannya. Layaknya seorang playboy hebat. Itu berarti, arti Inara dalam hidup Arkana memang sedalam itu. "Aku tidak yakin Inara hanya sekedar orang di masa lalu kamu.""Maksudnya?"
*Happy Reading*"Inara ... Inara ... maaf ... Inara ... maafkan Mas ... Inara ... Inara ...."Arletta hanya bisa terdiam di tempatnya, seraya menatap lekat suaminya yang meski belum sadarkan diri, tapi mulutnya terus menggumamkan kalimat maaf dan nama Inara. Gadis itu pun mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan sambil menyugar rambutnya. Berharap dengan begitu bisa meredakan sedikit kemelut yang tengah melanda hatinya. Jujur saja, Arletta merasa cemburu saat ini. Siapa juga yang tidak akan merasa cemburu jika mendengar suaminya menyebut nama wanita lain dalam tidurnya seperti itu. Arletta yakin, gadis bernama Inara itu memang benar-benar berarti untuk seorang Arkana. Siapa dia?Cinta pertama Arkana, kah?Atau memang cinta sejati Arkana yang sebenarnya?Kalau begitu, apa arti Arletta sebenarnya dalam hidup Arkana? Lalu apa pula arti perhatian Arkana selama ini padanya?Apa ini berarti, dia sudah termakan tipu muslihat playboy ini? Seketika Arletta merasa suda
*Happy Reading*"Lo gila ya, Kan?!" Elkava seketika murka setelah mengetahui apa yang tengah terjadi pada pasangan duo Ar itu. "Lo kan tahu kondisinya lagi gawat gini. Kenapa lo malah biarin dia pergi sendiri?!" imbuh pria itu lagi masih dengan sangat marah."Ma-maf, gu-gue gak tahu kalau akan jadi gini akhirnya, El," jawab Arkana terbata. Rasa khawatir mulai menghantuinya."Memang lo kira akan gimana akhirnya, huh?!" tukas Elkava sengit. "Lo kira setelah lo abaikan, dia akan kembali sama gue dan hidup kayak dulu seolah tidak terjadi apa-apa? Begitu? Enak banget lo mikirnya, ya, Kan? Lo kira dia robot yang gak bisa sakit hati dan bisa melupakan semuanya dengan mudah?!" Elkava benar-benar marah sekarang. "Bangsat lo ya, Kan! Gue kan udah bilang, jangan pernah permainkan dia. Karena dia bukan cewek mainan kayak cewek lo yang lain, dan dia punya trauma parah atas kesakitannya di masa lalu, Arkana! Meski dia kelihatan cuek dan galak, tapi sesungguhnya di dalam dia rapuh. Dia punya krisi
*Happy Reading*Beberapa jam lalu.Akibat berjalan tak lihat kanan kiri. Arletta sontak terkesiap kaget hingga oleng, jatuh ke lantai saat tiba-tiba saja sesuatu menubruk kakinya."Akh!" Arletta pun meringis kesakitan merasai siku tangannya yang tadi refleks ia gunakan untuk menahan tubuh. Matanya lalu menoleh ke arah kaki, karena penasaran pada apa yang tadi sempat hampir dia tendang. Ternyata seorang balita cantik, yang alih-alih menangis karena ikut jatuh dan terduduk. Kini bocah itu malah bertepuk tangan riang sambil tertawa-tawa. Lah, itu kan ...."Mama?" panggil bocah itu lagi, kemudian bangkit dan memeluk Arletta.Gadis yang masih sedikit syok itu pun hanya bisa mengerjap bingung, pasrah menerima pelukan dari bocah yang dia kenali sebagai anak tertua Dokter Karina. "Sha-Shanum?" gumam Arletta pelan. "Mama?" panggil Shanum lagi, lalu melerai pelukan mereka dan mengusap-usap wajah Arletta dengan tangannya. Seolah sedang mengusap jejak air mata yang masih membayang di sana. S
*Happy Reading*Butuh waktu untuk Arletta memikirkan semuanya. Dia sampai berpikir berjam-jam, tidak sadar jika sudah kehujanan di taman belakang rumah sakit kala itu. Makanya dia sampai basah kuyup.Jika menuruti ego, Arletta ingin pergi saja dan tak ingin melihat Arkana lagi. Toh, pria itu juga sudah mengusirnya, kan? Hanya saja ... Arletta sadar, hal itu tentu bukan jalan keluar. Karenanya, setelah menimang cukup lama dari berbagai aspek. Dia pun memutuskan kembali menemui Arkana. Pikirnya waktu itu, jika memang harus berpisah akhirnya. Arletta ingin berpisah secara baik-baik, dengan mengetahui semua kebenarannya. Dia tidak ingin masalah ini menjadi momok dalam hidupnya nanti. Bagaimana pun caranya, Arletta bertekad memaksa Arkana membuka mulut malam ini. "Mas, kamu beneran gak mau jelasin apa pun sama aku?" tanya Arletta tenang, duduk di hadapan Arkana yang dari tadi hanya diam sambil menunduk dalam. Meski begitu, tangan pria itu yang terjadi dalam pangkuan tidak bisa dia. Teru
*Happy Reading*Karena kondisi Arkana sudah tidak kondusif. Akhirnya Arletta pun menyudahi sesi tanya jawabnya. Meski begitu, karena kini dia sudah mempunyai benar merah dari cerita masa lalu Arkana. Arletta pun tinggal mencari cerita selengkapnya dari orang terdekat pria itu. Akhirnya, saat Arkana kembali mendapat penanganan Dokter. Arletta pun memutuskan menelepon kembali Bunda Reen demi melengkapi cerita yang sudah ada. Kenapa Arletta bersikukuh mencari detail ceritanya. Karena dia merasa memang harus tahu semuanya, agar nanti bisa menghadapi siapapun orang yang mencoba menggunakan masa lalu Arkana untuk mengusiknya. "Bagaimana kondisi Dewa?" "Sedang di tangani dokter, Bun. Tadi ... Mas Arkana sempat hilang kendali soalnya," jelas Arletta kemudian.Terdengar desah panjang dari seberang sana. Entah karena lega atau karena prihatin pada kondisi Arkana. Yang jelas, setelahnya Bunda Reen malah terdiam. "Bun, Ale boleh tanya lagi, gak?" Arletta pun berinisiatif membuka obrolan lagi
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat