*Happy Reading*"Inara ... Inara ... maaf ... Inara ... maafkan Mas ... Inara ... Inara ...."Arletta hanya bisa terdiam di tempatnya, seraya menatap lekat suaminya yang meski belum sadarkan diri, tapi mulutnya terus menggumamkan kalimat maaf dan nama Inara. Gadis itu pun mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan sambil menyugar rambutnya. Berharap dengan begitu bisa meredakan sedikit kemelut yang tengah melanda hatinya. Jujur saja, Arletta merasa cemburu saat ini. Siapa juga yang tidak akan merasa cemburu jika mendengar suaminya menyebut nama wanita lain dalam tidurnya seperti itu. Arletta yakin, gadis bernama Inara itu memang benar-benar berarti untuk seorang Arkana. Siapa dia?Cinta pertama Arkana, kah?Atau memang cinta sejati Arkana yang sebenarnya?Kalau begitu, apa arti Arletta sebenarnya dalam hidup Arkana? Lalu apa pula arti perhatian Arkana selama ini padanya?Apa ini berarti, dia sudah termakan tipu muslihat playboy ini? Seketika Arletta merasa suda
*Happy Reading*"Lo gila ya, Kan?!" Elkava seketika murka setelah mengetahui apa yang tengah terjadi pada pasangan duo Ar itu. "Lo kan tahu kondisinya lagi gawat gini. Kenapa lo malah biarin dia pergi sendiri?!" imbuh pria itu lagi masih dengan sangat marah."Ma-maf, gu-gue gak tahu kalau akan jadi gini akhirnya, El," jawab Arkana terbata. Rasa khawatir mulai menghantuinya."Memang lo kira akan gimana akhirnya, huh?!" tukas Elkava sengit. "Lo kira setelah lo abaikan, dia akan kembali sama gue dan hidup kayak dulu seolah tidak terjadi apa-apa? Begitu? Enak banget lo mikirnya, ya, Kan? Lo kira dia robot yang gak bisa sakit hati dan bisa melupakan semuanya dengan mudah?!" Elkava benar-benar marah sekarang. "Bangsat lo ya, Kan! Gue kan udah bilang, jangan pernah permainkan dia. Karena dia bukan cewek mainan kayak cewek lo yang lain, dan dia punya trauma parah atas kesakitannya di masa lalu, Arkana! Meski dia kelihatan cuek dan galak, tapi sesungguhnya di dalam dia rapuh. Dia punya krisi
*Happy Reading*Beberapa jam lalu.Akibat berjalan tak lihat kanan kiri. Arletta sontak terkesiap kaget hingga oleng, jatuh ke lantai saat tiba-tiba saja sesuatu menubruk kakinya."Akh!" Arletta pun meringis kesakitan merasai siku tangannya yang tadi refleks ia gunakan untuk menahan tubuh. Matanya lalu menoleh ke arah kaki, karena penasaran pada apa yang tadi sempat hampir dia tendang. Ternyata seorang balita cantik, yang alih-alih menangis karena ikut jatuh dan terduduk. Kini bocah itu malah bertepuk tangan riang sambil tertawa-tawa. Lah, itu kan ...."Mama?" panggil bocah itu lagi, kemudian bangkit dan memeluk Arletta.Gadis yang masih sedikit syok itu pun hanya bisa mengerjap bingung, pasrah menerima pelukan dari bocah yang dia kenali sebagai anak tertua Dokter Karina. "Sha-Shanum?" gumam Arletta pelan. "Mama?" panggil Shanum lagi, lalu melerai pelukan mereka dan mengusap-usap wajah Arletta dengan tangannya. Seolah sedang mengusap jejak air mata yang masih membayang di sana. S
*Happy Reading*Butuh waktu untuk Arletta memikirkan semuanya. Dia sampai berpikir berjam-jam, tidak sadar jika sudah kehujanan di taman belakang rumah sakit kala itu. Makanya dia sampai basah kuyup.Jika menuruti ego, Arletta ingin pergi saja dan tak ingin melihat Arkana lagi. Toh, pria itu juga sudah mengusirnya, kan? Hanya saja ... Arletta sadar, hal itu tentu bukan jalan keluar. Karenanya, setelah menimang cukup lama dari berbagai aspek. Dia pun memutuskan kembali menemui Arkana. Pikirnya waktu itu, jika memang harus berpisah akhirnya. Arletta ingin berpisah secara baik-baik, dengan mengetahui semua kebenarannya. Dia tidak ingin masalah ini menjadi momok dalam hidupnya nanti. Bagaimana pun caranya, Arletta bertekad memaksa Arkana membuka mulut malam ini. "Mas, kamu beneran gak mau jelasin apa pun sama aku?" tanya Arletta tenang, duduk di hadapan Arkana yang dari tadi hanya diam sambil menunduk dalam. Meski begitu, tangan pria itu yang terjadi dalam pangkuan tidak bisa dia. Teru
*Happy Reading*Karena kondisi Arkana sudah tidak kondusif. Akhirnya Arletta pun menyudahi sesi tanya jawabnya. Meski begitu, karena kini dia sudah mempunyai benar merah dari cerita masa lalu Arkana. Arletta pun tinggal mencari cerita selengkapnya dari orang terdekat pria itu. Akhirnya, saat Arkana kembali mendapat penanganan Dokter. Arletta pun memutuskan menelepon kembali Bunda Reen demi melengkapi cerita yang sudah ada. Kenapa Arletta bersikukuh mencari detail ceritanya. Karena dia merasa memang harus tahu semuanya, agar nanti bisa menghadapi siapapun orang yang mencoba menggunakan masa lalu Arkana untuk mengusiknya. "Bagaimana kondisi Dewa?" "Sedang di tangani dokter, Bun. Tadi ... Mas Arkana sempat hilang kendali soalnya," jelas Arletta kemudian.Terdengar desah panjang dari seberang sana. Entah karena lega atau karena prihatin pada kondisi Arkana. Yang jelas, setelahnya Bunda Reen malah terdiam. "Bun, Ale boleh tanya lagi, gak?" Arletta pun berinisiatif membuka obrolan lagi
*Happy Reading*"Saat dilarikan ke rumah sakit. Inara sudah dinyatakan tak selamat. Sementara Dewa akhirnya mengalami koma selama beberapa bulan akibat cidera di bagian kepala. Saat akhirnya siuman, Dewa sangat terpukul karena merasa bersalah pada Inara dan bayinya. Apalagi dia juga tak bisa melihat mereka untuk terakhir kali."Arletta tak mampu berkata-kata setelah mendengar seluruh cerita Bunda Reen. Hatinya miris sekaligus prihatin pada nasib suaminya. Tak di sangka, ternyata si playboy itu juga punya luka sebesar itu."Lalu, bagaimana keluarga Inara setelahnya? Apa mereka mau memaklumi kondisi tersebut atau ...." tanya Arletta setelah berhasil menguasai keterkejutannya.Desah berat terdengar dari Bunda Reen. "Keluarga Inara tidak bisa menerima kepergian Inara waktu itu. Dan malah menuntut pertanggung jawaban Dewa atas kecelakaan tersebut meski orangnya sendiri masih koma. Mereka melimpahkan semua kesalahan pada Dewa. Padahal yang bunda tahu, mereka juga punya andil dalam masalah i
*Happy Reading*Mendung tak jua hilang dari wajah tampan Arkana, sekembalinya Gina mengurus administrasi rumah sakit. Bahkan binar sendu terus menggelayuti wajah itu sepanjang perjalanan pulang, hingga sampai ke studio miliknya. Mulut Arkana juga seolah terkunci rapat hari itu. Meski Gina sudah berusaha mengajak mengobrol, tapi pria itu tak memberi tanggapan berarti sama sekali. Hanya ham hem ham hem saja jawabannya. Membuat Gina bingung harus bersikap apa untuk menghibur sang kakak.Tidak ada celotehan atau guyonan yang biasa pria itu lemparkan untuk mewarnai harinya. Dunia Arkana terasa kembali suram seketika sejak membuka mata di rumah sakit. Apalagi, setibanya ia di studio, Bruno menyambut dengan wajah dingin. Sepertinya sepupu Arletta itu juga masih marah pada Arkana. Hal itu tentu membuat suasana makin tidak enak untuk Gina yang notabenenya adalah tamu di sana. "Lo bisa istirahat di kamar ini." Bruno menunjukan kamar di sebelah Arkana. Tempat yang biasanya ia gunakan jika seda
*Happy Reading*"Baiklah, tanpa membuang waktu. Mari kita panggilkan saja. Ini dia sahabat kami. Arletta Regina Zavier!"Sedetik kemudian. Seluruh lampu di matikan. Jantung Arkana semakin tak menentu di tempatnya, mencoba memfokuskan pandangan dalam gelap demi mencari keberadaan Arletta. Biasanya kalau seperti ini, pasti akan ada satu lampu tembak mengarah si bintang tamu, kan? Arkana menunggu dan bersiap mencari arah tersebut dengan tak sabaran. Sayangnya, alih-alih lampu tembak yang menyoroti kehadiran seseorang. Yang terjadi malah layar besar di depan menampilkan sebuah rekaman tentang Arletta dan Karmilla yang masih memakai seragam SMA mereka. 'Lah? Ini gimana konsepnya? Jadi Arletta datang atau tidak sebenarnya? Kenapa malah hanya rekaman begini?' batin Arkana mulai mendesah kecewa. "Ya elo lagi ngapa ngadi-ngadi, sih, Mil? Udah tau naik tangga aja masih sering jatuh. Ini lagi pake nantangin si Mora panjat tebing. Sehat lo?" Rekaman dimulai dengan wajah dan ucapan Arletta ya
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat