*Happy Reading*Arletta seperti mengalami dejavu saat keesokan harinya membuka mata. Di sambut langit-langit ruangan yang megah, barang-barang mahal di sekitar dan dikelilingi alat medis. Hanya saja kali ini minus Arkana yang tertidur di samping tempat tidurnya. Ke mana pria itu?"Baiklah. Kali ini saya maafkan kalian. Tapi lain kali, jangan salahkan kami jika akhirnya angkat tangan menolong kalian."Samar, Arletta mendengar suara Pak Arjuna di balik pintu yang ada di ruangan tersebut."Baik, Pak. Saya mengerti. Terima kasih sebelumnya." Suara Arkana pun turut terdengar dari sana. Mungkinkah pria itu sedang di sidang pemilik rumah akibat ulahnya semalam? Semalam? Ah, iya. Semalam bagaimana selanjutnya? Apa yang terjadi? Dan bagaimana pula kondisi Milla? Apa ... mereka baik-baik saja? "Frans kita kembali." Suara Pak Arjuna kembali terdengar."Baik Tuan!"Lalu hening. Hanya derap langkah terdengar pelan mulai menjauh. "Ah, iya." Suara derap langkah tiba-tiba terhenti, disusul suar
*Happy Reading*"Mengakuisisi perusahaan dan berinvestasi? Hal apa lagi yang masih kamu sembunyikan, Sayang?" ... Arletta harus menghadapi tanya dan tatapan Arkana yang syarat akan rasa ingin tahu. "Gak usah kaget gitu kali, Mas." Arletta memutar mata malas. "Kamu kan tahu, aku memang terjun ke dunia bisnis sekarang. Jadi perihal akuisisi, investasi, dan semacamnya adalah hal umum yang dilakukan pelaku bisnis, kan? Jadi, gak usah sok kaget, okeh.""Tapi--""Kecuali kamu sudah ada niat terjun ke dunia bisnis juga. Mari kita debatkan hal ini," sela Arletta cepat. Membuat Arkana terdiam gemas. Kenapa Arkana merasa orang sekitarnya mulai menyindir pekerjaannya. Kemarin Elkava, sekarang Arletta. Apa mereka memang bersekongkol ingin menarik Arkana terjun ke dunia bisnis? Eh tapi kan ...."Usaha studio Mas juga termasuk bisnis, Sayang. Kenapa kamu bicara seolah-olah Mas gak punya usaha dan cuma hobby menghamburkan uang saja?" ucap Arkana tak terima. "Ya, usaha kamu juga bisa di bilang bis
*Happy Reading*"Cucu?" Kedatangan Arletta di sambut antusias oleh sang nenek di rumah sakit. Langsung dipeluk erat sekali. Seakan Arletta bisa hilang kapan saja. "Cucu kenapa baru datang? Uti kangen.""Aku baru tiba dari Jakarta, Nek."Ya, Arletta memang memutuskan langsung pergi ke Rumah sakit. Sesampainya dia di kota kelahiran Arkana. Mengabaikan teguran sang suami yang menginginkannya istirahat sejenak untuk menghilangkan lelah. Tetapi, buat apa? Mereka pulang di antar Helikopter Pak Arjuna. Di perjalanan hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dan 30 menit dari hotel tempat landasan sampai ke rumah sakit. Jadi, mana ada capeknya? Itu juga kenapa, Arletta langsung memutuskan ke rumah sakit menjenguk sang kakek."Begitu? Masih capek berarti. Ayo sini duduk," balas sang nenek. Membimbing Arletta dan Arkana ke sebuah sofa yang ada di sana. Namun, entah kenapa Arletta malah tertarik pada seorang perawat yang juga ada di sana, bersiap menyuntikan sesuatu ada selang infus Kakek
*Happy Reading*Ternyata Adiyaksa dalang dibalik semua ini. Pantas saja Pak Arjuna saat itu mewanti-wanti agar segera membereskan Adiyaksa. Ternyata, dia memang sudah tak tertolong. "Lalu, bagaimana sekarang? Kamu punya ide?" tanya Arkana, meminta pendapat Arletta setelah tadi ikut menyimak kesaksian dua orang yang kini masih bersimpuh di lantai ruangan Ayah Yudis. "Adiyaksa ingin kabar kematian Kakek, kan? Maka berikan apa yang dia mau," jawab Arletta datar."Maksudnya?" tanya Arkana lagi makin penasaran. Namun, bukannya menjawab. Arletta malah tersenyum misterius dengan tatapan yang juga tak kalah misterius. Arkana saja sampai merinding dibuatnya. Pria itu tak dapat menebak pasti apa yang akan Arletta untuk menyelesaikan masalah ini. Ah, Arletta memang tak akan bisa ditebak dengan mudah. "Luv, jangan bikin orang penasaran," tegur Arkana kemudian. Sayangnya, Arletta seperti enggan menjelaskan apa pun. Hanya tersenyum saja, lalu beranjak mendekati ke arah dua tersangka yang ada
*Happy reading*Keesokan harinya, kabar kematian tetua Kusuma memang sampai ke telinga Adiyaksa. Namun, bertepatan dengan kabar perusahaan Setiawan yang menarik seluruh Investasinya dari Kusuma Group dan membatalkan seluruh kontrak kerja sama antara mereka.Tentu saja, hal itu membuat Adiyaksa kalang kabut menghadapi kekisruhan perusahaan yang tiba-tiba tercipta. Karena perusahaan Setiawan adalah kasta tertinggi di kerajaan Bisnis. Hingga kejadian penarikan ini pun menjadi tanda tanya besar bagi seluruh pemegang saham. Jika Setiawan sampai menarik, bahkan membatalkan kerja sama dengan sebuah perusahaan. Itu berarti ada sesuatu yang salah di perusahaan partner tersebut. Bahkan tak jarang, nasib perusahaan yang ditinggalkan itu akan perlahan masuk ke daftar black list perusahaan lainnya. Itulah yang ditakutkan pemegang saham lainnya. Maka demi menyelamatkan diri sendiri. Para pemegang saham itu pun berlomba menarik saham mereka dari Kusuma Group. Dan demi menyelesaikan semuanya. Adiya
*Happy Reading*Sebenarnya, kondisi kakek tak terlalu parah paska insiden yang menimpanya tempo hari. Hanya saja, karena mendapatkan perawatan dan obat-obatan yang tak seharusnya. Kakek pun tak sadarkan diri lumayan lama. Lihat saja, buktinya sekarang, setelah mendapatkan perawatan dan obat-obatan yang tepat. Kakek pun sudah siuman dengan kondisi tubuh yang lebih baik. "Jadi begitu?" gumam Kakek setelah tahu kebenarannya dari Ayah Yudis dan rencana yang Arletta buat. Wajah tuanya tampak sedih dan kecewa. Pun sang nenek di sebelahnya, yang ikut mendengarkan. Bedanya, nenek bisa secara gamblang menangis tersedu menyuarakan perasaan sedih dan kecewanya. Sementara Kakek berusaha tetap tegar. "Lalu, apa rencanamu?" tanya kakek lagi pada Arletta. "Kalau kakek bertanya padaku. Tentu saja akan aku jawab. Menjebak Adiyaksa dan memasukannya ke dalam penjara atas kejahatannya yang berlapis. Tetapi, aku tahu, sebagai orang tua pasti kalian ingin memaafkan dan memberikan kesempatan lagi, lagi,
*Happy Reading*"Tidak mungkin!" murka Adiyaksa."Bukti tertulisnya ada di tanganmu, Paman. Kau tidak meninggalkan kaca matamu di rumah, kan, hingga tidak bisa membacanya dengan jelas?" jawab Arletta santai. Tak gentar sama sekali. "Ini pasti palsu!" Adiyaksa masih menolak. "Kau pasti merekayasanya, iya kan?" Pria benar-benar tak terima dengan fakta yang di suguhkan. Pria itu melempar surat pernyataan yang tadi diberikan Elkava, yang sudah dia robek-ribek dengan kasar ke arah Arletta.Bagaimana mungkin Adiyaksa bisa dikalahkan bocah ingusan kemarin sore ini? Terlebih, bagaimana mungkin dia tidak menyadari si bocah yang ternyata memilih saham lebih besar darinya. Sialan! Benar-benar sialan! Adiyaksa tidak bisa menerima semua ini!"Aku merekayasa? Oh maaf Paman. Aku bukan dirimu yang suka sekali merekayasa suatu kejadian." Arletta masih menjawab santai sekali. Tenang dan percaya diri. Benar-benar menunjukan jika dirinya tidak bisa diintimidasi oleh Adiyaksa. "Apa maksudmu?""Aku yaki
*Happy Reading*Adiyaksa masih linglung saat akhirnya diamankan polisi. Atas tuduhan berlapis yang kakek layangkan, juga bukti penggelapan dana perusahaan yang Arletta sertakan. Hidup Adiyaksa sudah hancur.Setelah masalah Adiyaksa kelar. Tanda tangan kontrak kerja sama pun dilanjutkan. Akan tetapi, oleh Tetua sebagai perwakilan dari Kusuma, bukan Arletta yang awalnya ditunjuk untuk meneruskan Kusuma Group.Gadis itu menolak tanggung jawab itu, bahkan tiba-tiba mengembalikan semua saham yang sudah diberikan Tetua adanya begitu saja. "Aku sudah bilang. Dari awal, aku tidak pernah tertarik dengan saham keluarga Kusuma." Itulah alasan yang dia berikan. "Tapi, Nak. Ini adalah hak mu. Kakek dengan senang hati memberikannya. Terimalah," bujuk sang Kakek. "Tidak, terima kasih. Dari awal, tujuanku memang hanya ingin membungkam dan menghancurkan kesombongan Adiyaksa. Selanjutnya, aku tidak butuh saham-saham itu." Arletta tetap menolak. "Tapi--""Lagi pula aku juga masih harus fight merebut
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat