Olivia menggerutu dengan sombong, "Cih, kamu sudah mempermainkan aku, nggak usah pura-pura baik hati."Pamela memandang sekeliling ruang tamu yang berantakan. "Aku suruh kamu bersih-bersih rumah hari ini karena kamu mencoba untuk menyuruhku melakukan hal yang sama. Sekarang kamu tahu itu nggak enak? Jangan memaksakan orang lain!"Ketegasan Olivia menurun, tetapi Olivia enggan mengalah karena harga diri. "Ka, kamu ... jangan ceramahi aku. Kamu pikir siapa kamu?"Pamela pun tidak marah. "Kamu umur berapa tahun ini?"Olivia memutar mata. "Dua puluh satu, kenapa?"Pamela berujar, "Hhmm, setahun lebih tua dariku, tapi masih meminta uang pada keluarga! Pada umumnya, orang seumuran kamu sudah magang dan bekerja."Olivia acuh tak acuh. "Aku nggak perlu bekerja seperti orang lain. Aku nggak kekurangan uang!"Pamela mengangguk. "Ya, dengan latar belakang keluargamu, kamu memang nggak perlu khawatir tentang kehidupan di masa depan. Tapi, kalau kamu sudah punya pacar, menurutmu apa yang akan dia s
Pamela menyeruput air hangat yang diantarkan oleh Dimas. "Kalau begitu, coba katakan kenapa kamu ingin Kalana jadi kakak iparmu."Olivia menjawab secara spontan, "Karena Kak Kalana cantik dan baik hati, dia baik padaku!"Cantik dan baik hati? Menurut Pamela, itu adalah istilah yang sangat konyol untuk menggambarkan Kalana."Hhmm, baik bagaimana?"Olivia langsung mengungkapkan kesukaannya pada Kalana. "Setiap kali lihat ada tas cantik, Kak Kalana selalu membelikan satu untukku! Kalau itu edisi terbatas, Kak Kalana pasti membelikannya untukku walau dia sendiri sangat suka. Intinya, orang miskin sepertimu nggak bisa dibandingkan dengan Kak Kalana!"Pamela mengangguk acuh tak acuh. "Aku memang nggak akan membelikan tas bermerek untukmu, aku sendiri juga nggak akan beli. Menurutku, barang-barang mewah seperti itu hanyalah jebakan pemasaran dan sebagian besar nggak setimpal dengan harganya."Olivia memutar mata dengan jijik. "Cih, dasar orang kampungan!"Pamela tersenyum. "Apa pernah terpiki
Pamela pun dipeluk dari belakang. Sebelum sempat memprotes, Pamela diputarbalik, lalu mencium wangi sabun dari Agam yang habis mandi.Agam mencondongkan tubuh ke arah lemari pakaian dan mencium Pamela dengan semangat."Uhm ...."Pamela mengira dirinya akan jatuh ke belakang karena dicium Agam, tetapi Agam menahan pinggang Pamela dengan lembut untuk melindunginya. Ciuman Agam penuh dengan asmara.Ketika akhirnya bisa bernapas, mata Pamela yang linglung menjadi berkaca-kaca. Pamela memprotes, "Agam, kamu bilang kamu nggak akan macam-macam hari ini!"Tatapan Agam sangat lembut. Agam agak terengah-engah saat berkata dengan suara rendah, "Nggak macam-macam, hanya cium."Saat Agam hendak mencium lagi, Pamela bergegas membekap mulut Agam. "Cukup, aku lelah."Agam mengernyit, lalu memindahkan tangan Pamela. "Kenapa?"Pamela memutar mata. "Nggak kenapa-napa. Lelah ya lelah!"Agam membelai pipi Pamela dengan tak berdaya. "Pamela, kenapa kamu nggak bisa nafsu padaku seperti aku nafsu padamu? Kena
Agam berjongkok sehingga lebih rendah daripada Pamela yang duduk di pinggir ranjang. Tatapannya pada Pamela sangat tulus dan penuh rasa cinta. "Nggak akan."Pamela bertanya lagi, "Kalau mereka ancam kamu harus berpisah denganku?"Agam tertawa. "Selain kamu, nggak ada bisa yang ancam aku."Pamela memprotes, "Aku bisa ancam kamu apa? Omongan pria memang nggak bisa dipercaya!"Agam tidak bercanda, melainkan berujar dengan serius, "Jujur saja, kalau dari awal tahu kamu adalah putri sulung Keluarga Yanuar, aku nggak akan cari kamu. Tapi sekarang aku nggak akan melepaskanmu, nggak akan pernah."Pamela tercengang. Melihat tatapan Agam yang penuh rasa cinta, Pamela tiba-tiba ingin mencium mata Agam.Pamela tahu jika dia mencium mata Agam, itu tidak hanya sebatas ciuman saja!Jadi, Pamela menahan diri. "Uhm, Agam, aku sudah beri tahu kamu. Aku pergi mandi dulu."Agam bertanya dengan suara lembut, "Kamu sudah lelah, 'kan? Bagaimana kalau aku mandikan?"Pamela mengernyit dan menatap Agam dengan p
Johan berdeham canggung karena isi pikirannya ketahuan. "Bukan, bukan. Kakek ingin ajak kamu makan di rumah karena mau mengungkapkan rasa terima kasih padamu. Nenek Anisa juga ingin ketemu kamu dan berterima kasih padamu karena telah menyelamatkanku!"Pamela berpikir sejenak. "Jam berapa?"Johan segera menjawab, "Terserah jam berapa hari ini."Jika pergi ke rumah Keluarga Yanuar di pagi hari, Jason tidak berada di rumah, sedangkan Kalana sibuk merawat anaknya yang sakit. Dia mungkin berkesempatan untuk menyelidiki kasus tuduhan ibunya di tahun silam.Jadi, Pamela mengiakan dan berkata, "Kakek Johan, kalian nggak perlu berterima kasih padaku. Tapi karena kalian antusias untuk mengajakku datang, nggak sopan kalau aku tolak terus. Aku akan pergi untuk menengok kalian."Johan pun bergembira. "Bagus, baguslah! Kakek akan kirim mobil ke rumah Keluarga Dirgantara untuk jemput kamu."Pamela menyanggupi, "Ya, oke."Setelah menutup telepon, Pamela melihat pesan yang dikirim oleh Agam tadi pagi:
Di rumah Keluarga Yanuar.Heru, pengurus rumah Keluarga Yanuar, diperintahkan oleh tuan rumah agar menunggu di depan pintu bersama para pelayan untuk menyambut tamu.Begitu mobil berhenti, Pamela hendak membuka pintu dan keluar. Namun, Heru langsung membukakan pintu dan membungkuk hormat. "Nona Pamela, selamat datang. Pak Johan sedang menunggu di dalam."Pamela tidak bisa berkata-kata.Pamela sungguh tidak terbiasa menghadapi sambutan meriah seperti itu.Pamela mengikuti Heru ke ruang tamu. Johan yang sedang minum langsung meletakkan cangkir ke meja dan tersenyum girang. "Pamela sudah datang? Ayo duduk!"Pamela berjalan ke sana dan berucap dengan sopan, "Kakek Johan sebenarnya nggak perlu menyuruh orang menyambutku di depan pintu. Aku hanya datang untuk menengok Kakek Johan."Johan sangat ramah, tetapi juga keras kepala seperti orang lansia pada umumnya. "Penyelamat hidupku datang, mana bisa nggak disambut? Tentu saja harus disambut dengan meriah! Pamela, jangan sungkan dengan Kakek, a
Pamela menggeleng dengan rendah hati. "Itu bukan apa-apa, Kakek Johan terlalu memujiku."Anisa sangat menyukai gadis yang sopan dan rendah hati itu. Mandi bertanya sambil tersenyum ramah, "Pamela, Nenek mau tanya, berapa umurmu?"Pamela menjawab, "Dua puluh."Anisa merenung sambil menghitung dengan jarinya. Kemudian, Anisa bertanya lagi, "Di bulan berapa?"Pamela tertegun sejenak dan timbul kewaspadaan dalam hati. Mengapa Anisa tiba-tiba menanyakan bulan kelahirannya? Mungkinkah Anisa menyadari sesuatu?Setelah dipikir-pikir, Pamela menjawab dengan tenang, "Sejak nggak ada ibuku, nggak ada yang rayakan ulang tahunku lagi. Aku juga nggak tahu di bulan berapa."Kecurigaan dalam tatapan Anisa makin kuat. "Nak, ibumu sudah nggak ada saat kamu masih kecil? Ibumu meninggal atau pergi ke tempat lain dan nggak pulang?"Pamela terdiam dan ekspresinya menjadi suram.Pertanyaan Anisa membuat Pamela merasa jengkel. Mengapa dia sudah kehilangan ibu di usia kecil?Bukankah karena ketidakpercayaan Ke
"Tuan Muda, gawat!"Karlo buru-buru masuk ke kamar sehingga mengganggu Justin yang sedang mengerjakan soal latihan dengan galau. Justin menyeletuk dengan jengkel, "Ada apa? Karlo, kalau kamu teriak-teriak lagi, kupukul kamu!"Karlo berseru, "Tuan Muda, ini serius! Aku baru saja lihat ada tamu yang datang. Pak Johan dan Nyonya Anisa menyambutnya dengan antusias!"Justin makin kesal. "Memangnya kenapa? Selalu ada tamu yang datang, pasti teman-teman Kakek dan Nenek. Wajar sekali!"Karlo menggelengkan kepala. "Bukan! Kali ini bukan teman Pak Johan dan Nyonya Anisa, tapi seorang gadis muda. Tuan Muda juga kenal!"Justin mengernyit. "Gadis muda? Aku juga kenal? Siapa? Karlo, bisa nggak kamu langsung katakan semuanya?"Karlo berucap, "Itu Nyonya Pamela yang selalu Tuan Muda targetkan sebelumnya!"Justin meletakkan pensil dan mendongak dengan kaget. "Pamela?"Karlo mengangguk. "Ya, Pamela Alister! Tuan Muda nggak merasa ada yang aneh? Sudah bertahun-tahun Keluarga Yanuar dan Dirgantara nggak a