POV YusufAku meremas tanganku sendiri, rasanya aku tak menyangka kalau ibu dan bapak akan setega ini. Ingin rasanya aku buang jauh-jauh pikiran buruk ini. Tapi entah kenapa, feeling aku begitu kuat, bahwa ibu dan bapak telah mengusir Indri. Aku bisa berpikir seperti itu, karena bapak dan ibu sempat melarangku berhubungan dengan Indri, dengan berbagai alasan.Aku kembali menaiki motorku, dan pulang ke rumah."Bapak, Ibu!" panggilku dengan nada emosi, namun aku redam supaya tak ada tetangga yang mendengar."Yusuf, kamu dari mana saja? Pergi nggak bilang-bilang," sapa ibu."Aku habis dari kontrakan Indri, dan disana, Indri sudah tidak ada," sahutku menatap ibu dan bapak dengan tatapan menyelidik."Loh, kemana dia? Apa dia sudah nggak betah tinggal disana?" timpal bapak, yang sedang duduk sambil menyeruput kopi hitam."Jangan coba-coba pura-pura tidak tahu, Pak, Bu! Aku sudah tahu semuanya, kalau Ibu dan Bapak pasti mengusir Indri dari kontrakan itu. Kenapa Pak, Bu? Apa salah Indri?" uja
POV IndriAku terus berjalan tanpa arah tujuan. Aku bingung hendak tinggal dimana. Uangku hanya tinggal sedikit, dan mungkin jika aku menyewa kontrakan, hanya akan cukup untuk satu bulan saja. Tapi untuk biaya sehari-hari, aku bingung. Jika saja ada yang mau menerimaku bekerja dengan keadaan hamil besar seperti ini. Aku akan senantiasa bekerja demi kelangsungan hidupku.Aku duduk di atas trotoar, saat ini aku berjalan di jalanan sepi, tidak berada di jalan yang seperti biasa aku lewati. Supaya Yusuf tidak sampai menemukanku jika dia mencariku.Krucuk krucuk krucukPerutku terasa lapar, sedari tadi sore perutku belum terisi makanan.Aku bangkit lalu berjalan untuk mencari warung yang menjual makanan. Aku berjalan sambil menyeret koper dan memegangi perutku yang sudah membesar ini."Kamu lapar ya, Dek? Sabar ya, sayang, Mama carikan dulu makanan untuk kita. Baik-baik ya di dalam sana," ujarku mengajak bayi dalam perutku bicara.Beberapa jauh aku berjalan, akhirnya aku menemukan sebuah w
POV Indri"Jadi Mbak adalah pemilik villa itu? Dan sekarang, mau nempatin villa itu?" tanya pemilik warung."Iya, betul, Mbak. Perkenalan nama aku Indri," jawabku lalu memperkenalkan diri."Saya Fina, senang berkenalan dengan kamu. Eh tapi kamu serius mau tidur disana? Kamu sepertinya sedang hamil besar?" tanya pemilik warung yang bernama Fina."Iya, aku serius mau tidur disana? Dan benar, aku sedang hamil, ini usia kandunganku sudah masuk bulan ke delapan," jawabku.Fina kemudian duduk dan mempersilahkan aku duduk juga."Mari duduk!" Aku pun duduk di sampingnya."Bukan apa-apa sih, cuma kan villa itu sudah lama terbengkalai. Bisa dilihat dari luar, villa itu tidak terurus. Mana jarak villa dengan tetangga agak jauh," imbuh Fina.Aku membuang nafas kasar. Memang wajar jika Fina kaget saat tahu aku akan tidur disana. Dari penampilan luar saja sudah terlihat suram dan menyeramkan, apalagi di dalam. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Kalau tidak disana, harus dimana lagi aku tinggal."I
POV Indri Malam hariSemua pekerjaan sudah beres. Mulai dari rumput di halaman villa yang sudah aku babat habis. Rumah yang sudah aku bersihkan, walaupun belum seluruhnya, dan membuat makanan alakadarnya untuk menjamu pak ustadz dan beberapa orang untuk acara pengajian ini.Kini villa ini sudah dialiri listrik, pintu belakang sudah diganti, dan juga air di dalam kamar mandi sudah mengalir. Aku merasa lega, dan kini waktunya aku bersiap menunggu kedatangan pak ustadz dan yang lainnya.Aku menyiapkan makanan dan minuman di lantai bawah. Sengaja aku menggelar tikar supaya kami bisa dengan leluasa duduk sambil mengaji."Assalamualaikum …."Aku mendengar suara perempuan, yang aku yakini itu adalah Fina.Aku bergegas membukakan pintu, dan mempersilahkan mereka masuk."Wa'alaikum salam … Fin, Pak ustadz, dan semua mari masuk," ajakku mempersilahkan mereka semua masuk."Wah … akhirnya aku bisa masuk juga ke dalam villa ini. Ternyata bagus juga ya, dan sekarang terlihat bersih dan lebih hidup
POV IndriAku tersentak, saat mendengar suara orang yang sedang berada di hadapanku.Pemilik toko itu memutar kursinya, dan terlihatlah orang yang sangat aku benci, Mas Andi. Aku baru tahu, kalau mas Andi membuka toko pakaian seramai ini."Kamu?" berangku menatap tajam."Iya, ini aku, kenapa kamu terkejut?" tanya Mas Andi dengan santainya."Maaf, permisi saya berubah pikiran," ujarku dengan merebut kembali amplop coklat beserta surat lamaranku dari tangannya. Aku berjalan hendak keluar dari dalam ruangan ini.Prok! Prok! Prok!Langkahku terhenti, namun tak sedikitpun menoleh ke arah mas Andi."Hebat! Kamu memang hebat, Indri. Menolak pekerjaan yang belum aku setujui. Kamu sungguh hebat!" ucap mas Andi.Tak sedikitpun aku menghiraukannya. Aku menyentuh handle pintu, dan mulai memutarnya."Tunggu!"Aku urung memutar handle pintu, dan membalikkan badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi? Bukannya kita nggak ada urusan?" tukasku.Mas Andi bangkit dan berjalan menghampiriku."Jelas kita a
POV Andi"Sial … sial … sial! Kemana wanita itu?"Aku kehilangan jejak, saat aku hampir bisa menangkap Indri. Entah kemana dia berlari, atau bisa jadi dia sedang sembunyi.Aku terus mencarinya, aku ingin mendapatkannya kembali."Keluar kamu, Indri! Kamu tidak akan bisa lari dariku. Anak yang ada di dalam kandungan kamu tetaplah anakku. Kamu tidak bisa menyangkal itu," teriakku.Aku berjalan kecil sambil menoleh kesana kemari. Berharap aku bisa menemukan Indri."Keluar, keluarlah! Aku berjanji tidak akan menyakiti kamu dan anak kita. Ayo, sayang, keluarlah. Aku menunggumu disini," ujarku.Sialnya tak ada tanda-tanda Indri menampakkan batang hidungnya. Aneh, secepat itu wanita hamil menghilang begitu saja.Aku masih penasaran, aku terus menyisir lokasi Indri menghilang. Aku bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitar sini. Tapi mereka tak ada yang tahu dan tak ada yang melihat kemana Indri pergi.Kring! Kring! Kring!Dering ponselku berbunyi, aku melihat ternyata yang menelpon adala
POV Indri"Mmmp …."Aku sangat takut dengan orang yang sedang membekapku ini. Entah apa maksudnya, yang jelas dia berhasil membuatku amat ketakutan. Apalagi perutku tak hentinya terasa sakit."Diam, atau kamu aku serahkan pada mantan suamimu," bisiknya dari belakang.Aku tak mengerti apa maksudnya melakukan ini. Mantan suami? Apakah dia antek-antek mas Andi? Ya Tuhan, kalau benar, aku harus bagaimana?"Aw!" Aku menggigit tangannya sampai dia mengaduh kesakitan."Sakit tahu!" pekiknya.Aku membalikkan badanku, dan melihat wajah orang itu."Kamu?" Aku terkejut saat melihat orang yang ada di hadapanku ini."Iya, ini aku, kita ketemu lagi di tempat yang berbeda, dan keadaan yang berbeda," imbuhnya.Dia adalah lelaki yang sempat menolongku waktu aku tertangkap basah saat menyelinap di rumahku sendiri.Lelaki itu melihat ke arah perutku. Entah apa yang dipikirkannya, namun yang jelas perutku terasa kram dan sakit."Keponakanku," lirihnya.Apa? Keponakan? Apa aku tidak salah dengar?Aku pena
Sampai di villa, aku masuk ke dalam, tanpa mandi dan makan terlebih dahulu, aku langsung menaiki lantai atas dan meletakkan tasku di atas meja lalu merebahkan diri setelah masuk ke dalam kamar."Duh … capeknya," gumamku dengan tiduran menyamping.Aku menatap lurus ke arah tembok. Mengingat-ingat ucapan demi ucapan yang Adit sampaikan tadi. Aku baru tahu kalau dia adalah adiknya mas Andi. Selama empat tahun hubungan, mas Andi belum pernah memperkenalkan aku dengan keluarganya. Maka tak heran jika aku terkejut.Aku pun harus ingat pesan-pesan Adit sebelum dia pergi. Bahwa aku harus waspada terhadap mas Andi yang akhir-akhir ini berusaha mencariku.Aku tidak mengerti, kenapa mas Andi dengan mudahnya berubah haluan. Dulu dia sangat baik dan terlihat mencintaiku. Namun setelah menikah, sifat kebencian dirinya terhadapku muncul setelah semua hartaku ia dan Hana rampas. Dan sekarang, mas Andi dengan gampangnya ingin kembali denganku. Ada apa dengannya? Ternyata dia tipe lelaki yang plin plan