POV YusufAku bahagia sekali, saat Indri menerima cintaku. Aku pastikan, Indri akan menjadi wanita terakhir dalam hidupku, setelah ibuku.Jelas ini seperti mimpi, karena untuk mendekatkan diri kepada Indri, itu rasanya susah sekali. Terlebih Indri seperti trauma untuk menjalin hubungan lagi dengan laki-laki. Tapi aku bersyukur, dengan kegigihan yang aku miliki, akhirnya Indri bersedia membuka hatinya untuk aku. Jelas itu membuat hatiku sangat bahagia."Mari diminum, Bu, Pak," ujarku.Aku menemani tamu bapak dan ibu. Sedangkan bapak dan ibu barusan meminta izin ada keperluan sebentar di luar. Sebenarnya aku tidak enak kepada tamu-tamu bapak. Tapi bapak memintaku untuk menemani tamu-tamunya untuk mengobrol. Aku belum tahu siapa tamu-tamunya bapak ini, dan ada keperluan apa hingga datang ke rumah kami."Terima kasih, Yusuf. Oh iya, kamu belum tahu ya, siapa kami? Perkenalan, nama saya Pak Seno, ini istri saya Lili, dan yang duduk di sebelah kiri kami namanya Seli," ujar tamu bapak, yang
POV YusufAku meremas tanganku sendiri, rasanya aku tak menyangka kalau ibu dan bapak akan setega ini. Ingin rasanya aku buang jauh-jauh pikiran buruk ini. Tapi entah kenapa, feeling aku begitu kuat, bahwa ibu dan bapak telah mengusir Indri. Aku bisa berpikir seperti itu, karena bapak dan ibu sempat melarangku berhubungan dengan Indri, dengan berbagai alasan.Aku kembali menaiki motorku, dan pulang ke rumah."Bapak, Ibu!" panggilku dengan nada emosi, namun aku redam supaya tak ada tetangga yang mendengar."Yusuf, kamu dari mana saja? Pergi nggak bilang-bilang," sapa ibu."Aku habis dari kontrakan Indri, dan disana, Indri sudah tidak ada," sahutku menatap ibu dan bapak dengan tatapan menyelidik."Loh, kemana dia? Apa dia sudah nggak betah tinggal disana?" timpal bapak, yang sedang duduk sambil menyeruput kopi hitam."Jangan coba-coba pura-pura tidak tahu, Pak, Bu! Aku sudah tahu semuanya, kalau Ibu dan Bapak pasti mengusir Indri dari kontrakan itu. Kenapa Pak, Bu? Apa salah Indri?" uja
POV IndriAku terus berjalan tanpa arah tujuan. Aku bingung hendak tinggal dimana. Uangku hanya tinggal sedikit, dan mungkin jika aku menyewa kontrakan, hanya akan cukup untuk satu bulan saja. Tapi untuk biaya sehari-hari, aku bingung. Jika saja ada yang mau menerimaku bekerja dengan keadaan hamil besar seperti ini. Aku akan senantiasa bekerja demi kelangsungan hidupku.Aku duduk di atas trotoar, saat ini aku berjalan di jalanan sepi, tidak berada di jalan yang seperti biasa aku lewati. Supaya Yusuf tidak sampai menemukanku jika dia mencariku.Krucuk krucuk krucukPerutku terasa lapar, sedari tadi sore perutku belum terisi makanan.Aku bangkit lalu berjalan untuk mencari warung yang menjual makanan. Aku berjalan sambil menyeret koper dan memegangi perutku yang sudah membesar ini."Kamu lapar ya, Dek? Sabar ya, sayang, Mama carikan dulu makanan untuk kita. Baik-baik ya di dalam sana," ujarku mengajak bayi dalam perutku bicara.Beberapa jauh aku berjalan, akhirnya aku menemukan sebuah w
POV Indri"Jadi Mbak adalah pemilik villa itu? Dan sekarang, mau nempatin villa itu?" tanya pemilik warung."Iya, betul, Mbak. Perkenalan nama aku Indri," jawabku lalu memperkenalkan diri."Saya Fina, senang berkenalan dengan kamu. Eh tapi kamu serius mau tidur disana? Kamu sepertinya sedang hamil besar?" tanya pemilik warung yang bernama Fina."Iya, aku serius mau tidur disana? Dan benar, aku sedang hamil, ini usia kandunganku sudah masuk bulan ke delapan," jawabku.Fina kemudian duduk dan mempersilahkan aku duduk juga."Mari duduk!" Aku pun duduk di sampingnya."Bukan apa-apa sih, cuma kan villa itu sudah lama terbengkalai. Bisa dilihat dari luar, villa itu tidak terurus. Mana jarak villa dengan tetangga agak jauh," imbuh Fina.Aku membuang nafas kasar. Memang wajar jika Fina kaget saat tahu aku akan tidur disana. Dari penampilan luar saja sudah terlihat suram dan menyeramkan, apalagi di dalam. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Kalau tidak disana, harus dimana lagi aku tinggal."I
POV Indri Malam hariSemua pekerjaan sudah beres. Mulai dari rumput di halaman villa yang sudah aku babat habis. Rumah yang sudah aku bersihkan, walaupun belum seluruhnya, dan membuat makanan alakadarnya untuk menjamu pak ustadz dan beberapa orang untuk acara pengajian ini.Kini villa ini sudah dialiri listrik, pintu belakang sudah diganti, dan juga air di dalam kamar mandi sudah mengalir. Aku merasa lega, dan kini waktunya aku bersiap menunggu kedatangan pak ustadz dan yang lainnya.Aku menyiapkan makanan dan minuman di lantai bawah. Sengaja aku menggelar tikar supaya kami bisa dengan leluasa duduk sambil mengaji."Assalamualaikum …."Aku mendengar suara perempuan, yang aku yakini itu adalah Fina.Aku bergegas membukakan pintu, dan mempersilahkan mereka masuk."Wa'alaikum salam … Fin, Pak ustadz, dan semua mari masuk," ajakku mempersilahkan mereka semua masuk."Wah … akhirnya aku bisa masuk juga ke dalam villa ini. Ternyata bagus juga ya, dan sekarang terlihat bersih dan lebih hidup
POV IndriAku tersentak, saat mendengar suara orang yang sedang berada di hadapanku.Pemilik toko itu memutar kursinya, dan terlihatlah orang yang sangat aku benci, Mas Andi. Aku baru tahu, kalau mas Andi membuka toko pakaian seramai ini."Kamu?" berangku menatap tajam."Iya, ini aku, kenapa kamu terkejut?" tanya Mas Andi dengan santainya."Maaf, permisi saya berubah pikiran," ujarku dengan merebut kembali amplop coklat beserta surat lamaranku dari tangannya. Aku berjalan hendak keluar dari dalam ruangan ini.Prok! Prok! Prok!Langkahku terhenti, namun tak sedikitpun menoleh ke arah mas Andi."Hebat! Kamu memang hebat, Indri. Menolak pekerjaan yang belum aku setujui. Kamu sungguh hebat!" ucap mas Andi.Tak sedikitpun aku menghiraukannya. Aku menyentuh handle pintu, dan mulai memutarnya."Tunggu!"Aku urung memutar handle pintu, dan membalikkan badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi? Bukannya kita nggak ada urusan?" tukasku.Mas Andi bangkit dan berjalan menghampiriku."Jelas kita a
POV Andi"Sial … sial … sial! Kemana wanita itu?"Aku kehilangan jejak, saat aku hampir bisa menangkap Indri. Entah kemana dia berlari, atau bisa jadi dia sedang sembunyi.Aku terus mencarinya, aku ingin mendapatkannya kembali."Keluar kamu, Indri! Kamu tidak akan bisa lari dariku. Anak yang ada di dalam kandungan kamu tetaplah anakku. Kamu tidak bisa menyangkal itu," teriakku.Aku berjalan kecil sambil menoleh kesana kemari. Berharap aku bisa menemukan Indri."Keluar, keluarlah! Aku berjanji tidak akan menyakiti kamu dan anak kita. Ayo, sayang, keluarlah. Aku menunggumu disini," ujarku.Sialnya tak ada tanda-tanda Indri menampakkan batang hidungnya. Aneh, secepat itu wanita hamil menghilang begitu saja.Aku masih penasaran, aku terus menyisir lokasi Indri menghilang. Aku bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitar sini. Tapi mereka tak ada yang tahu dan tak ada yang melihat kemana Indri pergi.Kring! Kring! Kring!Dering ponselku berbunyi, aku melihat ternyata yang menelpon adala
POV Indri"Mmmp …."Aku sangat takut dengan orang yang sedang membekapku ini. Entah apa maksudnya, yang jelas dia berhasil membuatku amat ketakutan. Apalagi perutku tak hentinya terasa sakit."Diam, atau kamu aku serahkan pada mantan suamimu," bisiknya dari belakang.Aku tak mengerti apa maksudnya melakukan ini. Mantan suami? Apakah dia antek-antek mas Andi? Ya Tuhan, kalau benar, aku harus bagaimana?"Aw!" Aku menggigit tangannya sampai dia mengaduh kesakitan."Sakit tahu!" pekiknya.Aku membalikkan badanku, dan melihat wajah orang itu."Kamu?" Aku terkejut saat melihat orang yang ada di hadapanku ini."Iya, ini aku, kita ketemu lagi di tempat yang berbeda, dan keadaan yang berbeda," imbuhnya.Dia adalah lelaki yang sempat menolongku waktu aku tertangkap basah saat menyelinap di rumahku sendiri.Lelaki itu melihat ke arah perutku. Entah apa yang dipikirkannya, namun yang jelas perutku terasa kram dan sakit."Keponakanku," lirihnya.Apa? Keponakan? Apa aku tidak salah dengar?Aku pena
(Double POV)POV AndiDua Minggu kemudian, hari yang sangat aku tunggu-tunggu yang rasanya lama sekali menuju hari ini.Dari pagi aku sudah mempersiapkan diri untuk acara pernikahan aku dengan Indri.Rencana pernikahan yang diadakan secara sederhana, tanpa mengundang siapa pun. Bahkan ibu dan bapak pun tak tahu jika aku akan menikah lagi dengan Indri. Karena jika mereka tahu, bisa kacau semuanya. Bisa saja mereka akan memberitahu Hana dan Hana akan membuat pernikahanku dengan Indri hancur."Mas, kamu wangi sekali. Mau kemana?" tanya Hana sambil memomong anaknya."Mau kerja, nggak usah interogasi aku. Aku mau kerja, jelas?" pungkasku."Aku cuma nanya saja, Mas. Kamu jawabnya terlalu ketus. Kamu kenapa, Mas? Sikap kamu benar-benar berubah seperti itu? Apa ini gara-gara perempuan itu? Kamu jadi seperti ini sama aku?" tanya Hana.Aku berbalik badan dan menghadap ke arah Hana."Nggak usah sangkut pautkan itu dengan Indri. Kamu pikir sendiri, kenapa aku bisa seberubah ini sama kamu!" Aku me
POV IndriAku berada di dalam mobil Andi. Andi ingin mengantarkanku pulang, karena dia sudah mengetahui rumahku. Namun aku mengiyakan saja, padahal dalam hati aku tertawa, dia tidak tahu saja kalau aku sudah pindah ke kontrakan yang jauh dari rumahku."Kenapa kamu senyum-senyum? Bahagia banget kayaknya?" tanya Andi."Nggak apa-apa, aku cuma senang karena sebentar lagi kita akan menikah," jawabku.Rencanaku beberapa langkah lagi akan berhasil, semoga saja.Aku akan mendiskusikan lagi rencanaku dengan Leo alias Adit, setelah Andi pulang nanti.Awalnya aku takut rencanaku gagal setelah aku bertemu dengan kedua orang tua angkat Leo. Pasalnya beberapa bulan lalu ibu angkat Leo pernah memergoki aku yang sedang menyelinap di rumahku yang dulu. Tapi syukurlah, sepertinya dia tidak mengenali aku. Karena waktu itu aku tidak menampakkan wajahku karena memakai masker.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.Mobil yang dikemudikan Andi sudah berada di depan rumahku. Aku buru-buru keluar dan hen
POV AndiAku tak menyangka anakku lahir seperti itu. Aku kembalikan anak itu ke gendongan Hana."Kenapa, Mas?" tanya Hana. Sepertinya Hana bisa membaca pikiranku."Tidak, tidak mungkin. Ini bukan anakku, tidak!" sanggahku."Mas, ini anak kita, darah daging kamu." Hana berusaha membujukku supaya aku mau mengakui anak itu."Tidak, anakku tidak mungkin seperti itu. Tidak!"Aku mundur beberapa langkah hingga ujung pintu.Blag!Aku keluar dan menutup pintu dengan cukup keras."Andi, kenapa kamu? Apakah bayinya baik-baik saja?" tanya Ibu dan Bapak, yang belum tahu keadaan anak itu.Aku tidak menjawab, aku melewati mereka dan pergi secepat mungkin dari rumah sakit."Ya Tuhan, bagaimana kalau orang-orang tahu, kalau aku mempunyai anak seperti itu. Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak boleh tahu," batinku.Aku memutuskan untuk menemui Indri di rumahnya saja. Aku memacu mobilku menuju kediaman Indri.Sampai disana, aku langsung mengetuk pintunya.Tok! Tok! Tok!Aku menunggu Indri memb
POV AndiProk! Prok! Prok!"Bagus, Mas, bagus sekali. Ternyata kecurigaanku benar dan semuanya terbukti," imbuh Hana.Hana yang ditemani oleh Fina, berdiri dengan menatapku nyalang."Ha-Hana, sejak kapan kamu disini?" tanyaku tergugup."Sejak kamu memberikan cincin itu kepada wanita sial*n itu. Maaf Mas, aku bukan orang bodoh yang dengan seenaknya kamu bohongi. Kamu teledor, Mas, aku sempat melihat cincin itu yang bertuliskan nama perempuan itu. Hebat kamu, Mas, sungguh kamu pemain yang hebat. Omongan kamu selama ini hanya omongan kosong. Mengaku membenci Indri, tapi pada kenyataannya kamu melamarnya hari ini.Oke, nikmatilah kebahagiaan kamu yang sementara ini, Mas. Karena ini bisa menjadi bom waktu buat kamu. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar." Hana mengeluarkan semua unek-uneknya yang justru membuatku ketar-ketir.Hana mendekati Indri, dan berdiri menatapnya dengan tatapan sinis. Aku khawatir jika Hana akan melakukan sesuatu kepada Indri.Plak!Aku terperanjat saat Hana m
POV AndiAku berdiri sambil mengetuk pintu rumah yang ditempati Indri. Lumayan lama aku berdiri disitu, tapi tidak ada tanda-tanda Indri membukakan pintu untukku."Kemana Indri? Apakah dia marah karena aku mengetahui alamat rumahnya? Tapi apa masalahnya? Kenapa juga Indri marah padaku jika aku mengetahui rumahnya? Bukankah aku dan dia akan segera menikah?" batinku.Aku mencoba menghubunginya untuk memastikan apakah dia ada di dalam rumah ini atau tidak.Setelah tersambung dan Indri mengangkat telepon dariku, akhirnya perasaanku merasa lega, tatkala Indri memberitahuku dia sedang berada di luar kota, di tempat kerabat jauhnya. Dia juga berpesan kepadaku, agar aku menjaga hatiku untuknya, selama dia jauh dariku. Entahlah, hanya mendengar kata-kata itu saja membuat hatiku berbunga-bunga.Aku pun pulang ke rumah, karena percuma saja aku tetap disini, karena Indri tidak ada.Aku menaiki mobilku, dan keluar dari gang rumah Indri. Sebelum aku pulang, aku mampir ke toko mas, untuk mengambil c
POV Pak Samsudin "Iya betul, Adit adalah anak saya. Dia anak bungsu kami," jawab pak Edi.Mendengar jawabannya, sama sekali tak membuatku puas."Tolong jawab yang jujur, Pak Edi. Saya mohon, sekali lagi saya tanya sama Bapak, apakah benar Adit adalah anak Bapak?" Aku mengulang pertanyaan."Saya serius, Pak. Ini Adit anak saya! Ini sebenarnya ada apa, Pak Sam? Kenapa Bapak bisa bertanya demikian kepada saya?" tanya Pak Edi.Aku kemudian mengambil dompetku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya."Coba Bapak lihat ini," tunjukku. Aku memperlihatkan sebuah foto berukuran kecil yang selalu aku bawa kepada pak Edi dan istrinya. Foto anakku yang masih sangat kecil sebelum tragedi hilangnya anakku terjadi."Adit," lirih pak Edi.Aku menatap pak Edi dengan intens. Melihat ekspresinya aku yakin, dia memang terkejut setelah melihat foto itu."Bapak dapat dari mana foto anak saya?" tanya pak Edi.Dari pertanyaannya saja sudah membuatku yakin jika Adit adalah anakku yang hilang."Satu lagi!" Aku
POV IndriAku buru-buru menghampiri Adit, dan bertanya ada apa."Adit, ada apa ini? Kok Bapak ini marahin kamu?" tanyaku.Aku menoleh ke arah pria paruh baya itu."Ajarin pacar kamu, untuk lebih sopan terhadap orang yang lebih tua. Gara-gara dia, tangan saya tersiram kuah sup panas. Ponsel saya juga terjatuh, untung saja tidak sampai pecah. Bukan hanya itu, pacar kamu juga pernah menyerempet mobil saya hingga lecet," ujar pria paruh baya itu dengan menatap bengis."Tapi ini bukan salah saya, Pak! Bapak sendiri yang jalannya tidak hati-hati. Berjalan menunduk sambil main ponsel. Kenapa malah nyalahin saya? Soal mobil itu, saya minta maaf. Saja akan ganti rugi, hitung saja berapa kerugian yang Bapak alami," timpal Adit penuh emosi."Jangan sombong kamu, cuma sopir angkot saja lagaknya seperti orang kaya. Contoh kakak kamu, bukan pecicilan seperti ini," cetus pria itu."Maaf, Pak! Tidak usah membanding-bandingkan saya dengan kakak saya. Anda tidak tahu saja seperti apa kakak saya." Adit
POV Indri Setengah perjalanan kembali, perutku terasa lapar. Tadi pagi aku dan Adit belum sempat sarapan, karena kami berdua terlalu fokus dengan tujuan kami."Aku lapar," imbuhku sambil memegangi perut."Oke, kita makan dulu. Itu ada pedagang nasi uduk, lebih baik kita makan disana," ajak Adit.Kami berdua turun dari dalam mobil. Kemudian menghampiri penjual nasi uduk.Kring! Kring! Kring!Aku mengabaikan telepon darinya. Rasanya aku malas untuk mengangkatnya."Kenapa nggak diangkat?" tanya Adit."Nggak ah malas, ini telepon dari Andi. Pasti dia ngajak ketemuan lagi. Ah … terlalu sering membuat aku bt," jawabku.Adit mengangguk sambil memakan nasi uduk pesanan kami.Aku pun berinisiatif mengirim pesan kepada Andi, supaya dia tidak menelponku lagi."Maaf, Mas, aku sedang berada di luar kota. Aku sedang menjenguk kerabat jauhku. Aku kangen sama mereka. Jaga hatimu untuk aku, ya selama aku jauh dari kamu." (Send).Aku mendelik dan bergidik saat mengirim pesan itu."Sudah selesai sarapa
POV Adit"Apa? Kamu serius?" tanyaku memastikan."Ya beneran, secepatnya kita mesti menggalinya. Aku masih ingat betul dimana tempat aku waktu itu mengubur baju bi Ratmi," jawab Indri."Oke kalau begitu, besok subuh kita ke tempat bi Ratmi. Supaya kita bisa cepat-cepat menyelesaikan permasalahan ini," ajakku."Oke, baiklah! Semoga keadaan disana masih sama. Karena rumah bi Ratmi sudah dijual oleh Hana," sahut Indri."Ya sudah, lebih baik kita istirahat dulu. Supaya besok subuh kita nggak telat. Nanti aku jemput kamu. Jangan lupa, pas aku jemput kamu, kamu sudah bersiap," ucapku."Oke, see you!" sahut Indri.Aku mematikan sambungan telepon. Bergegas aku tidur supaya besok aku tidak telat.Tak membutuhkan waktu lama, ternyata mataku sudah mulai berat dan aku tertidur dengan cepatnya.Kumandang adzan sudah terdengar dari masjid di area tempatku tinggal. Aku memaksakan diri untuk bangun, walaupun aku masih sangat mengantuk.Secepatnya aku mandi dan tidak sarapan terlebih dahulu. Biarlah,