Aku gelagapan saat tak bisa melepaskan diri dari cengkraman di ujung dasterku. Pikiranku sudah berkelana kemana-mana, mengingat sekarang aku sedang tinggal sendirian di villa dekat hutan. Bisa jadi yang menarik dasterku adalah jin penunggu villa ini. Maka tak heran jika di dalam villa ini banyak penunggunya, karena villa ini sudah lama kosong. Aku berusaha menepis segala ketakutanku sebisa mungkin. Namun apalah, aku hanya seorang perempuan yang tinggal seorang diri. Perasaan takut pasti ada, dan hal itu wajar."Siapa kamu? Jangan macam-macam dengan saya?" bentakku. Aku berharap seseorang atau sesosok makhluk halus itu tidak menggangguku, apalagi sampai menampakkan wujudnya. Jika saja itu terjadi, entah apa yang akan terjadi padaku, aku sangat takut.Tak ada suara sahutan apapun dari sesuatu atau seseorang atau bahkan sesosok makhluk halus yang menarik dasterku itu."Tolong lepasin saya, jangan ganggu saya. Saya cuma tinggal disini, nggak pernah berniat untuk mengganggu siapapun. Jadi
POV Adit"Halo, Indri, kamu kenapa?"Tidak ada jawaban sama sekali dari seberang telepon sana. Yang ada hanya suara seperti orang yang berteriak seperti kesakitan.Apakah Indri melahirkan? Kalau iya, aku harus segera menemuinya. Aku khawatir Indri kenapa-kenapa.Aku keluar dari rumah orang tuaku, karena aku tidak ikut menempati rumah rampasan dengan bang Andi. Hanya kedua orang tuaku yang ikut tinggal disana, karena yang mereka tahu, itu adalah rumah hasil kerja keras bang Andi, tanpa tahu seluk beluknya.Aku bersiap berangkat menggunakan mobil angkot.Malam ini hujan begitu deras, dan kilatan cahaya petir begitu menakutkan. Namun tak menyurutkan niatanku untuk menemui Indri.Aku mengunci pintu rumah ini. Aku bergegas masuk ke dalam mobil angkot, yang terparkir di halaman rumah.Dalam perjalanan, aku berdoa semoga tak terjadi apa-apa terhadap wanita yang pernah disakiti oleh kakakku itu. Aku merasa iba terhadapnya. Dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Aku pun sangat mengutuk per
POV AditKeesokan harinyaSore, tepat pukul 15.00, aku mendorong kursi roda yang diduduki oleh Indri untuk pulang.Aku dan Fina menatap Indri sedih. Semalam setelah Indri melewati masa kritisnya, dan sudah sadarkan diri. Semula Indri merasa aneh kenapa dia bisa berada di rumah sakit. Namun aku sudah menjelaskan apa yang terjadi, sampai dia dibawa ke rumah sakit. Tak sampai itu, Indri pun tak jarang menanyai keberadaan bayinya. Dia teringat semalam dia melahirkan bayinya di dekat tangga. Mendengar itu, aku dan Fina yang dari semalam menemani indri, ikut merasakan sedih dan hancur. Indri bertanya-tanya tiap ia menanyakan keberadaan bayinya, namun kami terlihat menunduk sulit untuk menjawab.Aku bisa menahan diri tidak menangis, namun Fina, dia tak tahan dan tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Maka dari itu, aku dan Fina memutuskan untuk memberitahu Indri, bahwa anaknya tidak selamat, karena telat mendapatkan penanganan.Jangan ditanya perasaan Indri seperti apa setelah tahu. Dia sang
POV Indri "Kamu kenapa?" Aku tersentak saat Adit bertanya. Aku tengah memikirkan sesuatu, namun aku tidak akan memberitahu Adit dulu. Cukup sekarang Adit hanya sebagai sumber informasi saja mengenai Andi dan Hana.Mendengar kondisi Hana sekarang, aku tak habis pikir. Ternyata kondisi kehamilan orang berbeda-beda. Hana yang kata Adit, sejak hamil jadi jarang mandi, bau, dan kusam. Ya, aku akan memanfaatkan situasi itu.Aku harus cepat sembuh, harus cepat pulih. Aku akan merencanakan sesuatu yang besar, yang mungkin akan membuat dua manusia jahat itu akan menemui karmanya. Tentunya dengan cara yang tidak akan mereka duga.Seketika kesedihanku berubah jadi bara api dendam yang kian memuncak. Darah di kepalaku seakan mendidih. Aku sudah tak sabar ingin segera bertindak atas kejahatan Andi dan Hana. Gara-gara mereka, aku harus menderita seperti ini. Anakku kehilangan nyawa, dan mereka harus membayar semuanya. Tak akan kubiarkan mereka hidup tenang."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Adit,
POV Indri"Indri, kamukah itu? Kamu tidak apa-apa?" tanya Andi, matanya tak berhenti menatapku.Aku menggeleng, kemudian bangkit mencoba menghindarinya."Tunggu, jangan pergi," cegah Andi.Sebelah tanganku dipegang erat oleh Andi. Membuatku berhenti melangkah."Lepasin, Mas!" Aku menepis tangannya kuat. Walaupun dalam hati aku tersenyum. Namun senyuman itu awal dari bangkitnya diriku. Bangkit dari keterpurukan dan awal kehancuran Andi."Tunggu, Indri, jangan menghindar! Aku ingin bicara sama kamu," pungkas Andi.Aku melihat tangannya begitu erat menggenggam tanganku. 'cih, sangat menjijikkan,' batinku menggerutu."Mau bicara apa lagi, Mas? Semua sudah selesai. Kamu sudah mendapatkan semua yang kamu mau. Harta, Hana, dan semua yang aku miliki. Jadi, aku mohon jangan ganggu aku. Aku ingin hidup tenang," imbuhku.Aku terkejut saat tiba-tiba mas Andi menarik tanganku, dan membawaku masuk ke dalam mobilnya. Bukan, tepatnya mobil ayahku. Begitu tidak tahu malunya dia. Dia masih saja menggun
POV AndiAkhirnya setelah semua usahaku, aku berhasil mendapatkan Indri kembali. Walaupun Indri sempat ragu, namun aku berhasil meyakinkannya dan mendapatkannya kembali. Dengan begitu, aku bisa memamerkan kecantikan Indri di depan teman-temanku dan saingan Bisnisku, sebagai kekasih dan sebentar lagi akan menjadi istriku. Jujur saja, gampang bagiku mencari wanita cantik yang lain selain Indri. Tapi entah kenapa, aku maunya hanya Indri. Tetap dia wanita tercantik yang pernah aku kenal. Maka dari itu, aku rela merendahkan diriku, demi bisa mendapatkannya kembali. Aku yakin, teman-temanku dan saingan Bisnisku akan kagum dan minder saat menatap wajah Indri yang cantik itu. Aku pun yakin, pasangan mereka tidak akan ada apa-apanya dibandingkan Indri.Betapa bangganya aku atas semua ini. Namun ada sesuatu yang menggangguku, dan membuatku risih. Hana, ya, Hana wanita yang beberapa bulan aku nikahi. Hana berubah drastis dari biasanya semenjak ia hamil. Bukan berubah ke arah yang lebih wow dan m
POV Andi"Kamu kenapa, Mas, kok kayak kaget gitu?" tanya Hana yang sudah berdiri di depanku.Aku gelagapan, lalu mengambil ponselku yang jatuh. Untung saja jatuhnya tepat di atas karpet. Jadi ponselku aman tidak rusak sedikitpun."Habisnya kamu tiba-tiba ada disini aja. Mana nggak kedengaran lagi kamu jalan kesini," jawabku.Hana duduk di sebelahku, dan menatap ponsel yang aku pegang."Sedang berbalas pesan sama siapa, Mas? Kayaknya asyik banget," tanya Hana terlihat menyelidik."Oh, ini temanku di grup, dia memang suka buat lelucon. Entahlah, nggak ketemu, nggak di pesan, pasti aja berhasil buat aku dan teman-teman yang lain tersenyum. Dia memang humoris," jawabku berdusta.Hana semakin mendekat, dan aku mulai ketar ketir."Coba aku lihat, aku penasaran selucu apa sih teman kamu itu?"Hana tiba-tiba menarik ponselku, kemudian hendak membuka pesanku dengan Indri."Gawat kalau sampai ketahuan," batinku."Sayang, katanya kamu mau jalan-jalan? Mending kita berangkat sekarang aja, yuk! Mu
POV IndriSetelah aku sampai di villa yang sekarang aku sebut rumah, aku bergegas hendak mandi karena badan rasanya lengket gerah sekali.Baru juga masuk ke dalam kamar mandi. Pemandangan memilukan terpampang nyata di depan mata. Pasta gigiku habis, dan mau tidak mau, aku harus pergi membeli pasta gigi.Terpaksa aku mengenakan kembali bajuku, dan pergi ke warung Fina.Keringat sudah membuatku tidak nyaman. Aku mempercepat jalanku.Sampai di depan warung, aku melihat Fina dan beberapa tetangga sedang sibuk membuat adonan kue, di teras rumah bu Ida, yang berhadapan langsung dengan warung Fina."Wah … lagi pada bikin apa nih? Kayaknya lagi pada sibuk, ya?" tanyaku berbasa-basi."Eh kamu, Ndri. Ini, kami lagi buat kue kering. Kebetulan ada pesanan kue buat acara hajatan kerabat Bu Ida," jawab Fina."Wah … ada acara hajatan ya, Bu? Kapan hajatannya?" tanyaku kepada bu Ida. Bu Ida adalah tetangga Fina, salah satu warga yang aku kenal di tempat ini."Dua hari lagi, Neng. Makanya Ibu disuruh
(Double POV)POV AndiDua Minggu kemudian, hari yang sangat aku tunggu-tunggu yang rasanya lama sekali menuju hari ini.Dari pagi aku sudah mempersiapkan diri untuk acara pernikahan aku dengan Indri.Rencana pernikahan yang diadakan secara sederhana, tanpa mengundang siapa pun. Bahkan ibu dan bapak pun tak tahu jika aku akan menikah lagi dengan Indri. Karena jika mereka tahu, bisa kacau semuanya. Bisa saja mereka akan memberitahu Hana dan Hana akan membuat pernikahanku dengan Indri hancur."Mas, kamu wangi sekali. Mau kemana?" tanya Hana sambil memomong anaknya."Mau kerja, nggak usah interogasi aku. Aku mau kerja, jelas?" pungkasku."Aku cuma nanya saja, Mas. Kamu jawabnya terlalu ketus. Kamu kenapa, Mas? Sikap kamu benar-benar berubah seperti itu? Apa ini gara-gara perempuan itu? Kamu jadi seperti ini sama aku?" tanya Hana.Aku berbalik badan dan menghadap ke arah Hana."Nggak usah sangkut pautkan itu dengan Indri. Kamu pikir sendiri, kenapa aku bisa seberubah ini sama kamu!" Aku me
POV IndriAku berada di dalam mobil Andi. Andi ingin mengantarkanku pulang, karena dia sudah mengetahui rumahku. Namun aku mengiyakan saja, padahal dalam hati aku tertawa, dia tidak tahu saja kalau aku sudah pindah ke kontrakan yang jauh dari rumahku."Kenapa kamu senyum-senyum? Bahagia banget kayaknya?" tanya Andi."Nggak apa-apa, aku cuma senang karena sebentar lagi kita akan menikah," jawabku.Rencanaku beberapa langkah lagi akan berhasil, semoga saja.Aku akan mendiskusikan lagi rencanaku dengan Leo alias Adit, setelah Andi pulang nanti.Awalnya aku takut rencanaku gagal setelah aku bertemu dengan kedua orang tua angkat Leo. Pasalnya beberapa bulan lalu ibu angkat Leo pernah memergoki aku yang sedang menyelinap di rumahku yang dulu. Tapi syukurlah, sepertinya dia tidak mengenali aku. Karena waktu itu aku tidak menampakkan wajahku karena memakai masker.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.Mobil yang dikemudikan Andi sudah berada di depan rumahku. Aku buru-buru keluar dan hen
POV AndiAku tak menyangka anakku lahir seperti itu. Aku kembalikan anak itu ke gendongan Hana."Kenapa, Mas?" tanya Hana. Sepertinya Hana bisa membaca pikiranku."Tidak, tidak mungkin. Ini bukan anakku, tidak!" sanggahku."Mas, ini anak kita, darah daging kamu." Hana berusaha membujukku supaya aku mau mengakui anak itu."Tidak, anakku tidak mungkin seperti itu. Tidak!"Aku mundur beberapa langkah hingga ujung pintu.Blag!Aku keluar dan menutup pintu dengan cukup keras."Andi, kenapa kamu? Apakah bayinya baik-baik saja?" tanya Ibu dan Bapak, yang belum tahu keadaan anak itu.Aku tidak menjawab, aku melewati mereka dan pergi secepat mungkin dari rumah sakit."Ya Tuhan, bagaimana kalau orang-orang tahu, kalau aku mempunyai anak seperti itu. Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak boleh tahu," batinku.Aku memutuskan untuk menemui Indri di rumahnya saja. Aku memacu mobilku menuju kediaman Indri.Sampai disana, aku langsung mengetuk pintunya.Tok! Tok! Tok!Aku menunggu Indri memb
POV AndiProk! Prok! Prok!"Bagus, Mas, bagus sekali. Ternyata kecurigaanku benar dan semuanya terbukti," imbuh Hana.Hana yang ditemani oleh Fina, berdiri dengan menatapku nyalang."Ha-Hana, sejak kapan kamu disini?" tanyaku tergugup."Sejak kamu memberikan cincin itu kepada wanita sial*n itu. Maaf Mas, aku bukan orang bodoh yang dengan seenaknya kamu bohongi. Kamu teledor, Mas, aku sempat melihat cincin itu yang bertuliskan nama perempuan itu. Hebat kamu, Mas, sungguh kamu pemain yang hebat. Omongan kamu selama ini hanya omongan kosong. Mengaku membenci Indri, tapi pada kenyataannya kamu melamarnya hari ini.Oke, nikmatilah kebahagiaan kamu yang sementara ini, Mas. Karena ini bisa menjadi bom waktu buat kamu. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar." Hana mengeluarkan semua unek-uneknya yang justru membuatku ketar-ketir.Hana mendekati Indri, dan berdiri menatapnya dengan tatapan sinis. Aku khawatir jika Hana akan melakukan sesuatu kepada Indri.Plak!Aku terperanjat saat Hana m
POV AndiAku berdiri sambil mengetuk pintu rumah yang ditempati Indri. Lumayan lama aku berdiri disitu, tapi tidak ada tanda-tanda Indri membukakan pintu untukku."Kemana Indri? Apakah dia marah karena aku mengetahui alamat rumahnya? Tapi apa masalahnya? Kenapa juga Indri marah padaku jika aku mengetahui rumahnya? Bukankah aku dan dia akan segera menikah?" batinku.Aku mencoba menghubunginya untuk memastikan apakah dia ada di dalam rumah ini atau tidak.Setelah tersambung dan Indri mengangkat telepon dariku, akhirnya perasaanku merasa lega, tatkala Indri memberitahuku dia sedang berada di luar kota, di tempat kerabat jauhnya. Dia juga berpesan kepadaku, agar aku menjaga hatiku untuknya, selama dia jauh dariku. Entahlah, hanya mendengar kata-kata itu saja membuat hatiku berbunga-bunga.Aku pun pulang ke rumah, karena percuma saja aku tetap disini, karena Indri tidak ada.Aku menaiki mobilku, dan keluar dari gang rumah Indri. Sebelum aku pulang, aku mampir ke toko mas, untuk mengambil c
POV Pak Samsudin "Iya betul, Adit adalah anak saya. Dia anak bungsu kami," jawab pak Edi.Mendengar jawabannya, sama sekali tak membuatku puas."Tolong jawab yang jujur, Pak Edi. Saya mohon, sekali lagi saya tanya sama Bapak, apakah benar Adit adalah anak Bapak?" Aku mengulang pertanyaan."Saya serius, Pak. Ini Adit anak saya! Ini sebenarnya ada apa, Pak Sam? Kenapa Bapak bisa bertanya demikian kepada saya?" tanya Pak Edi.Aku kemudian mengambil dompetku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya."Coba Bapak lihat ini," tunjukku. Aku memperlihatkan sebuah foto berukuran kecil yang selalu aku bawa kepada pak Edi dan istrinya. Foto anakku yang masih sangat kecil sebelum tragedi hilangnya anakku terjadi."Adit," lirih pak Edi.Aku menatap pak Edi dengan intens. Melihat ekspresinya aku yakin, dia memang terkejut setelah melihat foto itu."Bapak dapat dari mana foto anak saya?" tanya pak Edi.Dari pertanyaannya saja sudah membuatku yakin jika Adit adalah anakku yang hilang."Satu lagi!" Aku
POV IndriAku buru-buru menghampiri Adit, dan bertanya ada apa."Adit, ada apa ini? Kok Bapak ini marahin kamu?" tanyaku.Aku menoleh ke arah pria paruh baya itu."Ajarin pacar kamu, untuk lebih sopan terhadap orang yang lebih tua. Gara-gara dia, tangan saya tersiram kuah sup panas. Ponsel saya juga terjatuh, untung saja tidak sampai pecah. Bukan hanya itu, pacar kamu juga pernah menyerempet mobil saya hingga lecet," ujar pria paruh baya itu dengan menatap bengis."Tapi ini bukan salah saya, Pak! Bapak sendiri yang jalannya tidak hati-hati. Berjalan menunduk sambil main ponsel. Kenapa malah nyalahin saya? Soal mobil itu, saya minta maaf. Saja akan ganti rugi, hitung saja berapa kerugian yang Bapak alami," timpal Adit penuh emosi."Jangan sombong kamu, cuma sopir angkot saja lagaknya seperti orang kaya. Contoh kakak kamu, bukan pecicilan seperti ini," cetus pria itu."Maaf, Pak! Tidak usah membanding-bandingkan saya dengan kakak saya. Anda tidak tahu saja seperti apa kakak saya." Adit
POV Indri Setengah perjalanan kembali, perutku terasa lapar. Tadi pagi aku dan Adit belum sempat sarapan, karena kami berdua terlalu fokus dengan tujuan kami."Aku lapar," imbuhku sambil memegangi perut."Oke, kita makan dulu. Itu ada pedagang nasi uduk, lebih baik kita makan disana," ajak Adit.Kami berdua turun dari dalam mobil. Kemudian menghampiri penjual nasi uduk.Kring! Kring! Kring!Aku mengabaikan telepon darinya. Rasanya aku malas untuk mengangkatnya."Kenapa nggak diangkat?" tanya Adit."Nggak ah malas, ini telepon dari Andi. Pasti dia ngajak ketemuan lagi. Ah … terlalu sering membuat aku bt," jawabku.Adit mengangguk sambil memakan nasi uduk pesanan kami.Aku pun berinisiatif mengirim pesan kepada Andi, supaya dia tidak menelponku lagi."Maaf, Mas, aku sedang berada di luar kota. Aku sedang menjenguk kerabat jauhku. Aku kangen sama mereka. Jaga hatimu untuk aku, ya selama aku jauh dari kamu." (Send).Aku mendelik dan bergidik saat mengirim pesan itu."Sudah selesai sarapa
POV Adit"Apa? Kamu serius?" tanyaku memastikan."Ya beneran, secepatnya kita mesti menggalinya. Aku masih ingat betul dimana tempat aku waktu itu mengubur baju bi Ratmi," jawab Indri."Oke kalau begitu, besok subuh kita ke tempat bi Ratmi. Supaya kita bisa cepat-cepat menyelesaikan permasalahan ini," ajakku."Oke, baiklah! Semoga keadaan disana masih sama. Karena rumah bi Ratmi sudah dijual oleh Hana," sahut Indri."Ya sudah, lebih baik kita istirahat dulu. Supaya besok subuh kita nggak telat. Nanti aku jemput kamu. Jangan lupa, pas aku jemput kamu, kamu sudah bersiap," ucapku."Oke, see you!" sahut Indri.Aku mematikan sambungan telepon. Bergegas aku tidur supaya besok aku tidak telat.Tak membutuhkan waktu lama, ternyata mataku sudah mulai berat dan aku tertidur dengan cepatnya.Kumandang adzan sudah terdengar dari masjid di area tempatku tinggal. Aku memaksakan diri untuk bangun, walaupun aku masih sangat mengantuk.Secepatnya aku mandi dan tidak sarapan terlebih dahulu. Biarlah,