Mas Satria tadi menolehku sesaat tanpa ekspresi yang bisa aku artikan. Kini ia mengarahkan lagi pandangannya pada sang kakak, lalu menanggapi dengan mimik wajah tenang. "Aku paham bagaimana sifat istriku, Mbak. Kalau ada sesuatu hal yang membuat Nindi kurang nyaman, itu pasti karenanya pula."Dengarlah, dia adalah suamiku. Sosok yang selalu melihat dari segala sisi sebelum mengeluarkan pendapat. Tanpa aku melolong, tanpa aku mencari pembelaan, Mas Satria sudah paham. Aku pun kini hanya anteng saja duduk sembari menatap mimik wajah Mbak Maya yang keheranan."Sat, kamu ini gimana sih? Itu artinya, attitude istrimu buruk saat di depan orang lain. Kamu kok gak ada respect-nya sama si Nindi? Dia itu datang baik-baik, malah istrimu menanggapi dirinya kurang enak." Mbak Maya klarifikasi. Sosok dirinya yang tak ingin kalah, dan selalu ingin dipuja, membuat diriku seakan muak. Tapi, aku punya sikap, biarkan suami yang menanggapi. Hasilnya merah atau hijau, aku tidak perlu bicara banyak saat in
"Hemh, kamu ini, Sat. Oiya, kenapa kamu belum juga hamil, Hanah? Apa tidak mau memiliki anak seibu sebapak?" celetuk Mbak Maya lagi. Mulutnya seperti enggan untuk diam. Kalau diam, rasanya seperti akan Jontor. Entah apa tanggapan Mas Satria saat ini. Intinya, dia pasti tersinggung. Karena yang Namanya keturunan, itu direncanakan oleh sepasang suami dan istri."Bagi kami keturunan memang penting. Tapi kalau kami belum memiliki keturunan lagi, itu artinya bukan tidak mau. Mbak Maya ini kalau bicara, dijaga sedikit kenapa? Mbak tidak perlu berkata dengan kalimat yang membuat orang lain kesal. Kita ini saudara, tak seharusnya Mbak memandang kami sesinis ini." Dengan penuh wibawa Mas Satria menanggapinya.Aku hanya diam, berharap hanya Mas Satria saja, itu cukup membuat Mbak Maya bungkam. Sungguh di sini Mbak Maya tidak nampak seperti wanita yang berharga. Dia di depan adiknya seperti tak dihormati karena ucapannya yang sering nyelekit."Sat, aku ini Mbakmu! Aku ini kakakmu. Apalagi usia
"Jadi benar 'kan?" ujar Mas Satria dengan santainya. Mbak Maya seakan termakan oleh alur yang aku saja tidak paham. "Benar apanya? Kamu jangan menghakimi mbakmu ini seperti penjahat deh, Sat!" pekik Mbak Maya. Dia seakan tak ingin ada di posisi yang salah."Mbak jangan bohong, itu tidak baik. Di usia Mbak saat ini seharusnya Mbak rajin-rajinlah beribadah dan berbuat baik. Bukan harus mengurusi kehidupan orang lain dan malah membuat onar keluarga adik Mbak sendiri. Maksud Mbak ingin mendekatkan aku dengan Nindi yang sudah pisah dari suaminya 'kan?" celetuk Mas Satria. Saat ini aku seperti sedang menonton sebuah drama perfilman di mana tokoh yang selalu jahat itu mati karena omongan-omongan protagonisnya."Aduh, Sat. Kayaknya kamu ini cuma ngarang, ya? Udahlah, Mbak sekarang mau pulang. Mbak mau ke mall." Mbak Maya malah seperti tak ingin memperpanjang persoalan ini. Dia seakan tak mau lagi bersilat lidah karena dirinya tahu mengenai hal yang Mas Satria duga.Mbak Maya malah berdiri ak
"Kamu jangan berani-beraninya merendahkan suami Mbak. Jelas Mas Brata itu tidak ada bandingannya dibandingkan istrimu ini yang hanya lulusan SMA." Angkuh Mbak Maya menanggapi. Tapi sebenarnya dia tidak tahu bagaimana kelakuan suaminya di belakang."Ya sudah terserah Mbak. Tapi aku hanya camkan bahwa pendidikan tinggi itu tidak menjamin sebuah kebaikan dan juga sebuah kesetiaan. Coba Mbak cek di mana Mas Brata sekarang. Apa benar dia di Surabaya?"Deg!Apa maksud suamiku? Apa dia juga tahu Mas Brata suka main perempuan? Padahal aku juga tak pernah cerita."Apaan sih kamu? Jangan perkeruh suasana hati Mbak, deh. Kamu mau buat supaya Mbak cekcok, ya?" Mbak Maya masih tak terima. Apa dia sebenarnya sudah curiga?"Kenapa memperkeruh, memangnya sudah tak jernih lagi? Atau Mbak memang menangkap keganjilan?" ujar Mas Satria lagi."Mas, sudah. Jangan panasin Mbak Maya." Aku memperingati Mas Satria. Padahal jauh di lubuk hati ini, aku senang karena Mbak Maya tak berhasil membuat kami cekcok."A
"Sudah pergi Mbak Maya?" Mas Satria bertanya saat ia sedang duduk santai di ruangan atas lantai dua. Ia melihat aku muncul dari tangga. "Sudah, Mas. Baru saja." Aku menjawab sambil terus mendekat lalu ikut duduk di dekatnya.Ia lalu menaruh remote kontrol televisi. Mengarahkan badannya ke arahku lalu bicara. "Maaf, ya. Mbak Maya tidak berubah sejak dulu. Tadi dia ngomong apa lagi?" tanyanya.Aku segera mengenakkan posisi duduk lalu tersenyum untuk menanggapi. "Iya, Mas. Aku sudah paham. Aku juga udah maafin. Tadi Mbak Maya gak ngomong banyak kok. Aku tawari dia minum, tapi katanya minuman kurang berkelas. Aku ajak dia ke minibar, malah gak mau. Eh, malah pergi dia." Aku bercerita dengan raut wajah suka."Kamu ini. Dia padahal mau pancing emosi kamu, ya." Mas Satria sudah paham. "Iya, Mas, aku juga tahu. Emosi dengan emosi, itu tak akan menyelesaikan dan tak akan mengakhiri.""Makasih sudah paham, ya," ujarnya lagi lalu mengelus punggung tanganku."Oiya, Mas. Kamu … emangnya kamu sem
"Siapa, Mbak?" Mas Satria menanyakan."Tidak kenal, Pak.""Ya sudah, kami akan turun."Mbak Yul bicara lagi. "Oiya, tadi namanya itu … em, Pak Jimy. Ya, Pak Jimy kalau gak salah dengar."Deg!~Kom Komala~"Jimy? Jimy itu nama mantan suami kamu, ya?"Aku manggut-manggut saja tak kuasa menjawab. Heran dan kaget. Selama bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu lagi, namun sekarang ke mari? Ya, siapa lagi? Apa mungkin Jimy yang lain?"Ayok!"Mas Satria mengajakku untuk segera menemui tamu yang datang. Aku harap ada Jimy lain lagi, bukan dia. Sudah sumpek aku melihat wajahnya. Terakhir kali, aku menemukan dia itu bekerja jadi pelayan. Sekarang, entah bagaimana kabarnya.Atas saran suami, kami pun segera menuruni tangga untuk sampai di lantai dasar. Belum nampak sosok mereka karena ruangan berkelok. Namun saat ini, tamu itu memang sudah kami lihat dari kejauhan. "Mas Jimy?" Hanya batinku yang berucap kaget. Di sana dia datang dengan perempuan lain yang tak aku kenali. Ke mana perempuan yan
Malam ini kuhampiri si sulung ke kamarnya. Pintu membuka, jadi aku langsung masuk setelah memanggil namanya."Ma? Masuk, Ma!"Ia menoleh lalu mempersilahkan aku masuk. Ia ternyata masih terduduk di meja belajar. Di jarinya terselip pena, dan di depannya ada tergeletak handphone. Anak jaman sekarang memang tak bisa menghindari benda itu.Perawanku, dulu yang lucu dan imut, sekarang telah berubah menjadi cantik. Malu aku menyebutnya lucu, usianya sudah remaja dan akan beranjak dewasa. Kamar yang dominan dindingnya diwarnai merah muda, membuat ruangan ini sangat girly sekali. Berbeda dengan Kaila, ia lebih menyukai warna-warna yang menyejukkan seperti warna hijau muda dan sejenisnya. Dari karakter juga beda, Afni lebih manja saat dia sedang kecil, sedangkan Kaila lebih mengerti. Alhamdulillah, sekarat manjanya Afni pun sudah berangsur-angsur menipis. Kurang-kurangnya orang tua berperan dalam segi ini, bahaya kedepannya. Mereka juga tumbuh dengan karakter yang baik. Tidak angkuh dan sede
Kebetulan sekali, arisan Minggu ini giliran di rumah Mbak Anna. Kami pun bersama-sama menuju ke huniannya yang berada di komplek yang sama, blok yang sama dengan alamat rumah Mas Jimy.Kami pun seperti biasa melakukan aktivitas mulai dari makan bersama, kocok arisan, dan juga aktivitas lainnya. Pahamlah, bagaimana emak-emak kalau sudah berkumpul.Karena ini di taman belakang area kolam, aku tidak bisa memantau rumah Mas Jimy. Sekeliling rumah Mbak Anna juga dibenteng. Untuk ke rumah Mas Jimy itu, tentu tidak terlewati oleh jalan ke rumah Mbak Anna. Rumah mantan suamiku itu ada di nomor selanjutnya.Sebenarnya aku memang penasaran, karena Mbak Anna kekeh bilang, rumah Pak Zabran belum dijual. Kalaupun iya, tetangga pasti tahu."Mbak, ini tolong kirim ke rumah tetangga, ya? Ini buat keluarga Pak Zabran, ini buat keluarga Pak Anton. Sama ini juga buat Bu Santika, ya?" Mbak Anne menyuruh asisten rumah tangganya mengantar makanan ke rumah Pak Zabran, yang aku tahu, rumah itu sudah jadi mi