Kebetulan sekali, arisan Minggu ini giliran di rumah Mbak Anna. Kami pun bersama-sama menuju ke huniannya yang berada di komplek yang sama, blok yang sama dengan alamat rumah Mas Jimy.Kami pun seperti biasa melakukan aktivitas mulai dari makan bersama, kocok arisan, dan juga aktivitas lainnya. Pahamlah, bagaimana emak-emak kalau sudah berkumpul.Karena ini di taman belakang area kolam, aku tidak bisa memantau rumah Mas Jimy. Sekeliling rumah Mbak Anna juga dibenteng. Untuk ke rumah Mas Jimy itu, tentu tidak terlewati oleh jalan ke rumah Mbak Anna. Rumah mantan suamiku itu ada di nomor selanjutnya.Sebenarnya aku memang penasaran, karena Mbak Anna kekeh bilang, rumah Pak Zabran belum dijual. Kalaupun iya, tetangga pasti tahu."Mbak, ini tolong kirim ke rumah tetangga, ya? Ini buat keluarga Pak Zabran, ini buat keluarga Pak Anton. Sama ini juga buat Bu Santika, ya?" Mbak Anne menyuruh asisten rumah tangganya mengantar makanan ke rumah Pak Zabran, yang aku tahu, rumah itu sudah jadi mi
"Tolong kamu bawa Afni ke rumahku. Aku tidak bisa menjemputnya. Aku mau dia main ke rumahku yang mewah ini. Aku juga sudah membelikan segala keperluannya." MasJimy bicara dari kejauhan sana dari balik telepon. Saat itu memang kami bertukar nomor handphone supaya mudah untuk berhubungan mengenai Afni. Tapi aku memberi nomor Mas Satria saja tanpa memberi nomorku. Bagaimanapun aku dan dia itu sudah mantan. Takut ada hal lain yang menduga."Aku tidak akan melarang tapi aku juga akan menanyakan kepada Afni, dia mah atau tidak untuk ke rumahmu," jawabku layu sembari berjalan menuju ke arah jendela. Mas Satria juga ada di kamarku dia menyimak pembicaraan kami karena aku loud speaker."Afni sudah tumbuh remaja. Dia juga pasti sudah punya keputusan dan keinginan sendiri. Tolong kamu antar dia kemari. Ya kalau kamu takut, kamu kemari saja lah dengan suami kamu. Aku hanya ingin kalian berkunjung ke rumahku." Lagi-lagi aku mendengar permintaannya. Aku tak tahu apa rencana dia. Jujur aku juga mas
"Iya, Mas. Tapi aku tak mengijinkan Afni menginap. Aku takut di masa-masa remajanya tumbuh kurang baik kalau menginap ke sana dan ke mari." Lalu aku alihkan pandangan ke istrinya, "oiya, saya juga punya teman yang rumahnya masih satu blok di sini. Mereka pasti tahu kalian berati 'ya?" Aku bertanya pada Mbak Rahma. Sebenarnya ini adalah pertanyaan pancingan untuk ekspresi.Mendengar pertanyaan dariku barusan, entah mengapa wajah keduanya memperlihatkan ekspresi yang berbeda. Bila tadi santai, seakan-akan sekarang mereka terlihat menurun rasa percaya diri."Tetangga?" Mbak Rahma bertanya dengan mimik wajah yang salah tingkah. Bola matanya tak berhenti bergerak sampai tak mampu menatapku balik."Iya, malah di samping rumah ini. Beda satu nomor rumahnya juga. Sering lho saya main ke sana, Mbak," ujarku lagi, "saya sampai gak tahu, papanya Afni di sini juga," sambungku santai."Em, ya, em, tapi kami memang baru sih. Pasti mereka hanya mengenal pemilik rumah ini yang sebelumnya. Jadi, kami
"Halo, Mbak?" Aku langsung sigap menerima panggilan dari Mbak Anna. Kusingkirkan dulu tubuh ini keluar kamar, karena tak enak dengan Mas Satria."Halo, Han? Oh, ternyata dia itu katanya masih saudara Pak Zabran. Ijah bilang gitu. Mereka baru datang dari luar kota. Mereka tinggal di sana selama Pak Zabran pergi. Memang mereka suami dan istri. Baru tahu juga sih Mbak, Han." Akhirnya jawaban Mbak Anna membuat rasa penasaranku terbuka. Tapi masih aneh juga, kenapa Mas Jimy bilang kalau itu adalah rumahnya? Ya, tapi mungkin dia memang merasa bahwa rumah saudara itu rumahnya juga."Oh, gitu ya, Mbak. Makasih ya, Mbak. Maaf aku udah repotin Mbak sampai nanya-nanya. Soalnya aku ingin identitas papanya Afni jelas, Mbak. Lagian selama ini dia tiba-tiba muncul juga. Aku takut dia orang yang mau aneh-aneh." Aku jadi curhat."Oh gak apa-apa. Memang kita perlu hati-hati dengan yang namanya mantan kalau udah lama hilang lalu datang lagi. Ya, semoga kalian masih berhubungan baik, ya. Ini demi Afni j
PoV Jimy***"Iya, Pak Bos, siap, Pak Bos. Saya akan jalan ke kantor pengacara sekarang juga.""Iya. Minta juga untuk disegerakan karena saya tidak ingin lama-lama. Saya juga seminggu lagi pulang. Tidak jadi lama di sini."Deg! Aku kaget."Hah, satu Minggu Pak Bos?" Degup jantungku tidak normal."Iya. Sudah, kamu segera berangkat, saya ada meeting dulu.""A–em, siap, Bos, siap." Aku benar-benar gelagapan."Kenapa kamu a-u-a-u? Saya gak jadi lama karena di sini kondisinya memungkinkan untuk ditinggalkan. Gimana anakmu itu? Sudah kamu temui lagi?""Em, sudah, Bos. Sudah. Dia juga sudah ke mari, Bos. Saya bilang ini rumah saya, Bos. Soalnya saya malu. Masak saya masih miskin.""Ck, Jimy, Jimy. Dasar kamu itu. Ya sudah, terserah kamu. Tapi nanti kalau anakmu tahu kamu bohong, kamu yang berabe.""Tapi, Bos, saya sudah terlanjur bohong. Gimana ya, Bos?" Aku resah."Ya sudah, terserah kamu. Nanti saya kondisikan kalau ada anak kamu ke rumah, kalau saya udah pulang.""Aduh, Bos, makasih ya, B
"Apalagi si bos juga akan pulang Minggu depan katanya." Aku menginformasikan, dan memang Rahma pun sangatlah kaget."Bujubuneng, Bang! Beneran? Ah, mati kamu, Bang. Gimana kalau anakmu ke mari?" Dia melototiku. Ia yang memang sejak awal memanggilku 'abang' pun nampak tidak enak berdiri.Aku geleng-geleng kepala lesu. "Gak tahu, aku juga bingung. Mana udah keburu bilang kita kaya. Kita punya galian batu bara di Sumatera." Aku berdecak."Memang semprul kamu, Bang, sudah kubilang jujur sajalah. Aku juga jadi cemas. Kita cuma asisten kok ngaku-ngaku orang kaya. Apalagi aku kaku, Bang. Aku juga harus panggil kamu 'mas' di depan mereka. Padahal, abang juga bukan artinya abang tukang bakso." Rahma istriku yang asli keturunan Betawi itu pun resah. Mau bagaimana lagi, sudah terlanjur. Memang semuanya sudah sandiwara."Susah terlanjur, ah.""Tapi, Bang, tetap aja bakal ketahuan. Ini malunya akan lebih dari kita ketahuan miskin. Ini kalau pura-pura kaya dulu, malunya akan kebangetan."Aku pun t
PoV Jimy***Aku sudah sampai di ruangan pengacara. Di sini banyak pengacara junior juga, tapi aku dibawa ke pengacara senior. Sepertinya salah satu pendiri firma hukum ini."Selamat pagi, silahkan duduk, Pak."Deg!Suaranya seperti tak asing. Meski telinga ini mungkin hanya sesekali mendengar, tapi dia fasih faham siapa yang bicara.Aku langsung mendongakkan kepala usai menutup pintu dan kini refleks meneguk liur ini. Bola mataku melebar dengan alunan nafas yang tak kunjung datang. Aku seperti sesak tak memiliki oksigen untuk asupan ke tubuh."Lho! Kamu?" Dia menunjukku dengan heran. Tatapannya yang tadi kalem diiringi suara santai, kini berubah seketika. Aku pun sama. Tadi dengan percaya diri melenggang masuk, kini seakan hanya diam di tempat mematung tak berdaya.Seluruh tubuhku bergetar. Map yang kubawa di tangan hampir saja jatuh terlepas. "Satria?" Aku kaget bukan main. Ya, dia pria itu. Dia Satria suaminya mantan istriku. Orang yang kemarin lalu datang ke rumah dan kujelaskan
"Bang, udah? Kok cepet banget?"Istriku Rahma bertanya perihal aku yang cepat sekali kembali ke rumah. Memang aku izinnya juga sampai siang hari tapi sekarang kurang dari satu setengah jam aku sudah kembali lagi ke rumah.Pasti Rahma tidak tahu skandal apa yang terjadi tadi di antara aku dan juga pengacara bos kami."Iya, nggak lama kok. Bikinin kopi gih! Aku juga mau goreng pisang." Aku menyuruhnya supaya pergi sejenak untuk mengistirahatkan pikiran ini.Namun Rahma nampak heran akan permintaanku yang sepertinya aneh-aneh. "Hah, goreng pisang, Bang? Ini bukan pagi-pagi atau ini bukan sedang hujan. Biasanya kamu minta goreng pisang itu kalau di waktu-waktu itu." Dia benar-benar protes seperti apa yang aku pikirkan.Aku langsung menyergah dan menjelaskan. "Kalau lagi pengen itu nggak perlu nunggu waktu. Cepetan buatin nanti Abang kasih uang. Si bos baru aja transfer bonus," perintahku lagi."Ah, ya sudahlah aku bikinkan. Kebetulan ada pisang dari tetangga. Mereka ngasih katanya panen d
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku