"Halo, Mbak?" Aku langsung sigap menerima panggilan dari Mbak Anna. Kusingkirkan dulu tubuh ini keluar kamar, karena tak enak dengan Mas Satria."Halo, Han? Oh, ternyata dia itu katanya masih saudara Pak Zabran. Ijah bilang gitu. Mereka baru datang dari luar kota. Mereka tinggal di sana selama Pak Zabran pergi. Memang mereka suami dan istri. Baru tahu juga sih Mbak, Han." Akhirnya jawaban Mbak Anna membuat rasa penasaranku terbuka. Tapi masih aneh juga, kenapa Mas Jimy bilang kalau itu adalah rumahnya? Ya, tapi mungkin dia memang merasa bahwa rumah saudara itu rumahnya juga."Oh, gitu ya, Mbak. Makasih ya, Mbak. Maaf aku udah repotin Mbak sampai nanya-nanya. Soalnya aku ingin identitas papanya Afni jelas, Mbak. Lagian selama ini dia tiba-tiba muncul juga. Aku takut dia orang yang mau aneh-aneh." Aku jadi curhat."Oh gak apa-apa. Memang kita perlu hati-hati dengan yang namanya mantan kalau udah lama hilang lalu datang lagi. Ya, semoga kalian masih berhubungan baik, ya. Ini demi Afni j
PoV Jimy***"Iya, Pak Bos, siap, Pak Bos. Saya akan jalan ke kantor pengacara sekarang juga.""Iya. Minta juga untuk disegerakan karena saya tidak ingin lama-lama. Saya juga seminggu lagi pulang. Tidak jadi lama di sini."Deg! Aku kaget."Hah, satu Minggu Pak Bos?" Degup jantungku tidak normal."Iya. Sudah, kamu segera berangkat, saya ada meeting dulu.""A–em, siap, Bos, siap." Aku benar-benar gelagapan."Kenapa kamu a-u-a-u? Saya gak jadi lama karena di sini kondisinya memungkinkan untuk ditinggalkan. Gimana anakmu itu? Sudah kamu temui lagi?""Em, sudah, Bos. Sudah. Dia juga sudah ke mari, Bos. Saya bilang ini rumah saya, Bos. Soalnya saya malu. Masak saya masih miskin.""Ck, Jimy, Jimy. Dasar kamu itu. Ya sudah, terserah kamu. Tapi nanti kalau anakmu tahu kamu bohong, kamu yang berabe.""Tapi, Bos, saya sudah terlanjur bohong. Gimana ya, Bos?" Aku resah."Ya sudah, terserah kamu. Nanti saya kondisikan kalau ada anak kamu ke rumah, kalau saya udah pulang.""Aduh, Bos, makasih ya, B
"Apalagi si bos juga akan pulang Minggu depan katanya." Aku menginformasikan, dan memang Rahma pun sangatlah kaget."Bujubuneng, Bang! Beneran? Ah, mati kamu, Bang. Gimana kalau anakmu ke mari?" Dia melototiku. Ia yang memang sejak awal memanggilku 'abang' pun nampak tidak enak berdiri.Aku geleng-geleng kepala lesu. "Gak tahu, aku juga bingung. Mana udah keburu bilang kita kaya. Kita punya galian batu bara di Sumatera." Aku berdecak."Memang semprul kamu, Bang, sudah kubilang jujur sajalah. Aku juga jadi cemas. Kita cuma asisten kok ngaku-ngaku orang kaya. Apalagi aku kaku, Bang. Aku juga harus panggil kamu 'mas' di depan mereka. Padahal, abang juga bukan artinya abang tukang bakso." Rahma istriku yang asli keturunan Betawi itu pun resah. Mau bagaimana lagi, sudah terlanjur. Memang semuanya sudah sandiwara."Susah terlanjur, ah.""Tapi, Bang, tetap aja bakal ketahuan. Ini malunya akan lebih dari kita ketahuan miskin. Ini kalau pura-pura kaya dulu, malunya akan kebangetan."Aku pun t
PoV Jimy***Aku sudah sampai di ruangan pengacara. Di sini banyak pengacara junior juga, tapi aku dibawa ke pengacara senior. Sepertinya salah satu pendiri firma hukum ini."Selamat pagi, silahkan duduk, Pak."Deg!Suaranya seperti tak asing. Meski telinga ini mungkin hanya sesekali mendengar, tapi dia fasih faham siapa yang bicara.Aku langsung mendongakkan kepala usai menutup pintu dan kini refleks meneguk liur ini. Bola mataku melebar dengan alunan nafas yang tak kunjung datang. Aku seperti sesak tak memiliki oksigen untuk asupan ke tubuh."Lho! Kamu?" Dia menunjukku dengan heran. Tatapannya yang tadi kalem diiringi suara santai, kini berubah seketika. Aku pun sama. Tadi dengan percaya diri melenggang masuk, kini seakan hanya diam di tempat mematung tak berdaya.Seluruh tubuhku bergetar. Map yang kubawa di tangan hampir saja jatuh terlepas. "Satria?" Aku kaget bukan main. Ya, dia pria itu. Dia Satria suaminya mantan istriku. Orang yang kemarin lalu datang ke rumah dan kujelaskan
"Bang, udah? Kok cepet banget?"Istriku Rahma bertanya perihal aku yang cepat sekali kembali ke rumah. Memang aku izinnya juga sampai siang hari tapi sekarang kurang dari satu setengah jam aku sudah kembali lagi ke rumah.Pasti Rahma tidak tahu skandal apa yang terjadi tadi di antara aku dan juga pengacara bos kami."Iya, nggak lama kok. Bikinin kopi gih! Aku juga mau goreng pisang." Aku menyuruhnya supaya pergi sejenak untuk mengistirahatkan pikiran ini.Namun Rahma nampak heran akan permintaanku yang sepertinya aneh-aneh. "Hah, goreng pisang, Bang? Ini bukan pagi-pagi atau ini bukan sedang hujan. Biasanya kamu minta goreng pisang itu kalau di waktu-waktu itu." Dia benar-benar protes seperti apa yang aku pikirkan.Aku langsung menyergah dan menjelaskan. "Kalau lagi pengen itu nggak perlu nunggu waktu. Cepetan buatin nanti Abang kasih uang. Si bos baru aja transfer bonus," perintahku lagi."Ah, ya sudahlah aku bikinkan. Kebetulan ada pisang dari tetangga. Mereka ngasih katanya panen d
(masih) PoV Jimy***"Kamu jangan buat aku semakin gemeteran. Tadi Satria tidak berbicara apa-apa membahas kalau dia akan mengatakan segalanya. Dia benar-benar membuat aku tanda tanya.""Ya udah coba diangkat, Bang. Mau gimana kamu jelasinnya?" usul Rahma.Aku menggaruk kepala dengan bingung. Handphone milikku masih juga berdenting dan masih dengan nama yang sama yaitu putriku. Entah ada angin apa dia menghubungiku kalau bukan karena dia mengetahui kejelasan dari Satria. Tapi masak iya Satria langsung gerak cepat menjelaskan semuanya kepada putriku? Ternyata dia sekejam itu."Mas, angkat saja!" Rahma terus saja mengusulkan.~ kom Komala ~"Angkat, ya?" Aku malah bertanya kepada Rahma. Dia manggut-manggut dan memberiku penjelasan bahwa kalau apapun yang terjadi lebih baik jujur saja. Kalaupun Afni tidak mau mengakui karena kami miskin, Ya sudahlah. Lagian dengan tidak ditemuiku bertahun-tahun saja, seharusnya dia sudah benci.Tapi Rahma juga ragu karena dia mendengar bahwa didikan Hana
PoV Satria***"Permisi, Pak. Ada yang ingin bertemu, tapi tidak ada di jadwal Bapak."Sekretarisku menghampiri ke ruangan setelah mengetuk pintu. Ia menginformasikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu namun belum membuat jadwal denganku."Siapa?" Jelas aku langsung mempertanyakan."Namanya …."Baru saja sekretarisku akan menjawab namun tiba-tiba seorang perempuan malah nyelonong dari belakang. Bagaimana tidak, kini foksuku teralihkan. "Selamat siang, Satria."Sekretarisku pun kaget dan dia langsung menoleh. Ia resah dengan etika yang diperlihatkan oleh tamu saat ini. Sepertinya dia juga malu terhadapku.Siapa lagi yang tidak punya etika kalau bukan Nindi? Aku pun saat ini benar-benar kaget dengan kedatangan perempuan itu."Maaf, Bu, saya baru akan bicara dengan Bapak. Ibu tadi saya suruh tunggu di luar," kata sekretarisku kepada Nindi. Sepertinya ia kesal, tapi mempertahankan etika."Lah, Kenapa harus menunggu segala sih? Aku itu sama Satria sudah sahabatan." Perempuan itu malah tidak
"Sat, Sebenarnya aku memang belum resmi bercerai. Dia itu mengulur-ngulur waktu terus. Dia seakan nggak mau pisah dari aku gitu. Tapi dia menggantungkan aku dan terus menyiksa aku. Pokoknya kamu harus bantu ya supaya suamiku itu bisa cepat menceraikan aku dan aku dapatkan harta gono gini.""Oke, akan aku bantu. Tapi aku juga perlu penjelasan yang nyata bukan sekadar belaka mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dan tentang KDRT, kamu juga harus menyertakan bukti visum kalau kamu benar-benar mendapatkan kekerasan dari mantan suami kamu. Ada lagi yang ingin kamu katakan mengenai bukti-bukti yang lain?""Udah, gak ada. Cuma itu. Aku mohon kamu bantu aku. Seriously nggak ada orang yang bisa aku pintai pertolongan selain kamu."Aku tak begitu menanggapi perempuan itu. Tatapanku saja hanya mengarah kepada layar karena sedang mengetik."Ya sudah kalau sudah tidak ada lagi yang ingin kamu jelaskan, lebih baik sekarang kamu segera pergi dari ruangan ini." Aku memang harus mengusirnya."Ck, Satr