PoV Satria"Sat, ini kopi yang kamu pesan." Nindi membawa secangkir kopi. Ia menampakkan senyuman yang membuat keningku mengernyit.Tiba-tiba ada perempuan itu muncul kembali. Entah kenapa dia belum juga pergi. Aku pikir dia sudah pergi dari kantor ini, ternyata belum. Pantas saja Hanah tak bertemu dengannya atau berpapasan.“Eh, ada kamu, ya? Apa kabar?”Bola mataku membelalak lebar atas apa yang ia katakan. Dia menegur istriku seperti barusan, sedangkan yang tak pantas ada di sini itu adalah dirinya.Istriku mengerutkan keningnya heran. Ia pun menatapku aneh. Dia pasti mempertanyakan, kenapa ada perempuan itu di sini.“Kamu ngapain masih di sini? Kamu belum pulang?” tanyaku kesal. Eh, dia malah nyelonong duduk di sofa. “Sat, aku bawakan kopi yang kamu minta. Ini kopinya! Diminum dong!" ujarnya dengan santai, sedangkan istriku saja masih berdiri belum duduk."Kamu ngapain di sini?" Istriku bertanya. Kuharap tidak ada keributan di dalam kantor ini. Aku tak mau itu terjadi."Lah, aku
PoV Hanah**"Silakan dinikmati, Pak, Bu," ucap pelayan resto kepada kami sebagai pengunjung. Dengan anggukkan ramah, aku dan Mas Satria pun sembari menyemai senyuman membalas kesantunannya.Pelayan telah kembali. Ia juga menanyakan lagi apa ada lagi yang bisa kami bantu. Namun rasanya sudah cukup. Makanan dan minuman sudah tersaji di meja bundar.Resto ini menjadi pelarian aku dengan Mas Satria dari perempuan yang lebih bagus disebut Nenek Lampir. Perempuan yang gatal, bahkan eksim perihal cintanya pada suami orang.Tadi sebelumnya memang dia menghubungiku. Entah dapat dari mana nomor pribadiku, pasti dia mengemis pada orang. Hadeuh, sebegitunya dia ya. Tapi aku suka, biar aku simpan kontaknya untuk memanas-manasi dia suatu saat.Inginnya aku tergelak tawa dengan ekspresi Nindi tadi di kantor. Dia bak Perempuan yang tak ada harga dirinya. Sudah sok-sokan, dia juga sok diinginkan oleh Mas Satria. Kebohongannya tadi membuat aku terkekeh tawa.Kopi yang ia bawa jelas bukan kopi yang sel
"Ini kertas apa? Kamu mau kasih aku SP?"Sebelum membuka, Mas Satria sudah suuzon saja. Aku bukannya ingin ketus, tapi aku malah terkekeh. "Iya, itu SP buat kamu dari aku. Itu SP karena kamu telah membuat sesuatu hal yang membuat anak orang jadi mendapatkan akibatnya."Mendengar celotehanku, Mas Satria malah mengernyitkan keningnya. Matanya memicing untuk melihat kertas yang aku berikan. Ternyata dia juga drama sekali. Haha. Dia seperti cemas dengan apa yang aku katakan soal SP. Iya saja, aku ini perusahaan yang tak suka dengan kinerjanya sampai aku kasih dia surat peringatan. Mas, Mas."Hah? Yang?"Nampak dia sangat kaget. Dia telah berhasil membaca surat yang aku berikan untuknya itu. Dia juga nampak memegang benda yang menjadi bukti kuat atas informasi yang dibacanya. Mas Satria kini masih terus membaca sampai akhir untuk memastikan semuanya.Aku di sini tersenyum bahagia. Sungguh, tak ada yang lebih membahagiakan untuk hari ini dibanding semua ini."Mas," ucapku supaya dia cepat-c
"Iya. Aku pikir kamu kesambet gak mau makan yang berlemak. Haha." Dia terkekeh kembali. Kami pun baru mulai menyantap makan siang ini dengan hati yang gembira. Mas Satria juga tak berhenti mengucap terima kasih karena kami akan segera memiliki momongan. Afni dan Kaila akan secepatnya mendapatkan adik baru. Akan ada anggota keluarga baru di rumah kami. Ya ampun, Ya Allah, Alhamdulillah. Aku sangat berterima kasih atas rezeki yang Engkau berikan ini."Kamu kenapa gak ajak aku ke dokter? Kamu gak ngasih tahu aku." Pada akhirnya dia berkomentar juga."Mas, aku ingin memastikan sendiri. Aku terlambat datang bulan soalnya. Dan ternyata … Alhamdulillah.""Sekali lagi makasih ya, Sayang. Makasih banyak."Aku manggut-manggut untuk mendominasi rasa bahagia ini. Benar-benar keajaiban yang menakjubkan. Sekian lama menikah dengan Mas Satria, hari ini kami diberikan amanah ini. Kami ke resto menggunakan kendaraan milik Mas Satria saja. Jadi, mobilku ditinggal di halaman kantor. Saat ini, kami akan
"Oiya, Mas? Sudah ketemu dengan orang Pak Zabran?" Tema beralih karena aku penasaran. Siapa tahu ada bahas mengenai rumah Pak Zabran yang dipindah tangankan. Atau, saudara Pak Zabran yang dimaksudkan.Namun, setelah mendengar pertanyaanku, Mas Satria malah seperti bergeming. Kenapa dia?Mas Satria belum juga menanggapi apa yang aku tanyakan. Apa dia memikirkan sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang aku katakan?“Mas?” Aku membuyarkan lamunannya hingga ia nampak menyemai senyuman terpaksa. Aneh, apa yang sebenarnya terjadi?"Eh, iya. Udah kok, udah ada. Dia asisten Pak Zabran. Tapi aku gak bahas dan nanya-nanya banyak. Aku juga gak enak," jawabnya sembari tersenyum. Aku menanggapi keanehan, sebenarnya Mas Satria ini memikirkan apa?Hari ini aku memang stay di kantor Mas Satria. Seharian melihat dia bekerja, sampai kami pulang ke rumah berdua pula. Afni dan Kaila sudah ada di rumah, tentu hari ini memang tidak ada jadwal bimbel sore. Mereka seperti biasa, di rumah riweuh saling ng
Kini giliran istri dari bapak itu yang bicara. "Wah, Mas Jimy ini memang hebat. Anak saya juga sekolah di sini. Saya beneran salut. Gak murah lho biaya di sini. Saya salut karena Mas Jimy yang hanya seorang asisten, tukang jaga rumah, bisa ambil pendidikan anak di sini. Hebat."Deg!"Asisten?" Aku menganga hebat. Apa maksudnya? Ternyata bukan hanya aku yang kaget, namun juga Mas Jimy dan istrinya itu. Mereka nampak memalingkan wajah dengan tanpa alasan."Kalau begitu saya duduk dulu, Mas." Pria itu menepuk kagum bahu Mas Jimy. Tanda tanya, ini sangat tanda tanya sekali.Kulirik Afni yang menyimpan tanda tanya pula, hanya Mas Satria yang nampak biasa saja, namun ia tak berani melirikku. Ia nampak mengalihkan pandangannya ke arah lain.Acara belum dimulai, kami para hadirin masih menunggu tamu-tamu yang lain. Banyak juga kursi yang masih kosong, makanya aku akan menyempatkan kesempatan ini untuk bertanya."Mas, maksudnya asisten apa? Pembantu rumah tangga, penjaga rumah, apa?" Aku menc
PoV Hanah"Huhu. Maafkan Papa, Nak. Maafkan Papa, ya. Papa gak bisa buat Afni bangga. Huhuhu."Aku melihat Mas Jimy malah seperti menangis. Entah kenapa dia malah begitu. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan dia melankolis seperti itu?"Kenapa, Pa?" Afni bertanya. Aku dan Mas Satria mendekati mereka. Kuraih bahu Afni, mengelusnya sesaat lalu mempertanyakan semuanya."Mas, ada apa?" Lalu kulirik istrinya, "ada apa, Mbak?" tanyaku pada keduanya. Raut wajahku semakin memperlihatkan tanda tanya yang besar. Apa dia terlalu bangga pada putri kami?Mereka hanya menundukkan kepala. Lalu Mas Jimy menyeka wajahnya seperti menyingkirkan buliran bening yang sudah terlanjur menetes."Lebih baik Mas Jimy cerita saja, Mas. Itu akan lebih baik dan lebih nyaman." Seketika aku kaget dengan kalimat Mas Satria barusan. Dia yang berada di dekatku namun kini seakan ikut nimbrung permasalahan kenapa Mas Jimy menangis. "Apa memang, Mas?" Kukernyitkan kening ini karena penasaran."Huhuhu." Mas Jimy
"Afni!" Mas Jimy berteriak sembari menangis."Afni!" Kini Mbak Rahma juga berteriak, tapi dia berusaha mengejar putri sambungnya itu. Ah, aku tak bisa berkata-kata. Kalau sampai Afni kecewa karena harta, aku telah gagal mendidiknya."Afni," ujarku dengan nada yang tak begitu lantang. Hatiku masih sakit melihat kejadian ini. Kulihat Afni masih terus berlari."Aku akan coba bicara pada Afni." Mas Satria menyarankan diri, namun baru saja akan melangkah, Mbak Rahma sudah lebih dulu mencegah langkah Afni yang cepat itu. Aku melihat mereka berdua kini telah saling berhadapan.Mas Jimy pun setelah itu lantas segera lari menghampir Afni kembali. Dia yang baru saja bersimpuh itu lari sembari menyeka air mata terus terusan.Aku melirik Mas Satria, dia pun manggut seakan menawarkan kalau kami juga harus ikut lari menghampiri Afni. Kami pun lari seketika. Aku juga harus memberi pemahaman Afni, bahwa dia tidak boleh kecewa karena ayahnya bukan orang yang seperti dia harapkan."Afni, maafkan papa k
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku