PoV Hanah"Huhu. Maafkan Papa, Nak. Maafkan Papa, ya. Papa gak bisa buat Afni bangga. Huhuhu."Aku melihat Mas Jimy malah seperti menangis. Entah kenapa dia malah begitu. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan dia melankolis seperti itu?"Kenapa, Pa?" Afni bertanya. Aku dan Mas Satria mendekati mereka. Kuraih bahu Afni, mengelusnya sesaat lalu mempertanyakan semuanya."Mas, ada apa?" Lalu kulirik istrinya, "ada apa, Mbak?" tanyaku pada keduanya. Raut wajahku semakin memperlihatkan tanda tanya yang besar. Apa dia terlalu bangga pada putri kami?Mereka hanya menundukkan kepala. Lalu Mas Jimy menyeka wajahnya seperti menyingkirkan buliran bening yang sudah terlanjur menetes."Lebih baik Mas Jimy cerita saja, Mas. Itu akan lebih baik dan lebih nyaman." Seketika aku kaget dengan kalimat Mas Satria barusan. Dia yang berada di dekatku namun kini seakan ikut nimbrung permasalahan kenapa Mas Jimy menangis. "Apa memang, Mas?" Kukernyitkan kening ini karena penasaran."Huhuhu." Mas Jimy
"Afni!" Mas Jimy berteriak sembari menangis."Afni!" Kini Mbak Rahma juga berteriak, tapi dia berusaha mengejar putri sambungnya itu. Ah, aku tak bisa berkata-kata. Kalau sampai Afni kecewa karena harta, aku telah gagal mendidiknya."Afni," ujarku dengan nada yang tak begitu lantang. Hatiku masih sakit melihat kejadian ini. Kulihat Afni masih terus berlari."Aku akan coba bicara pada Afni." Mas Satria menyarankan diri, namun baru saja akan melangkah, Mbak Rahma sudah lebih dulu mencegah langkah Afni yang cepat itu. Aku melihat mereka berdua kini telah saling berhadapan.Mas Jimy pun setelah itu lantas segera lari menghampir Afni kembali. Dia yang baru saja bersimpuh itu lari sembari menyeka air mata terus terusan.Aku melirik Mas Satria, dia pun manggut seakan menawarkan kalau kami juga harus ikut lari menghampiri Afni. Kami pun lari seketika. Aku juga harus memberi pemahaman Afni, bahwa dia tidak boleh kecewa karena ayahnya bukan orang yang seperti dia harapkan."Afni, maafkan papa k
"Heh, Hanah!"Saat di mall, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seorang perempuan. Begitu kagetnya aku sembari membalikkan badan. Ternyata eh ternyata, yang menjamah tanganku adalah Nindi. Oh, dia mau macam-macam denganku lagi di mall? Tidak salah?"Iya, ada apa? Dan bicaranya tidak usah keras-keras ya, indra pendengaranku ini masih sangat berfungsi dengan baik," tandasku sembari menatap wajahnya yang semakin ke sini semakin jelek karena kepribadiannya."Heh, Hanah, tolong jawab, pasti kamu kan yang memprovokasi Satria sehingga dia tidak mau menjadi pengacara aku? Pasti kamu yang menghasut Satria supaya dia tidak ingin mengurusi permasalahanku. Jadi kamu itu memang ingin menghancurkan karier suamimu ya?" Tiba-tiba perempuan itu langsung saja nyerocos membahas mengenai Mas Satria yang katanya menolak menjadi pengacaranya.Aku mana tahu soal ini, Mas Satria tidak pernah bercerita apapun mengenai perempuan ini. Lagi pula dia memang bukan orang yang penting di hidupku, jadi sepertinya aku jug
"Kamu itu memang semakin tidak tahu diri. Kamu itu memang seharusnya berpikir kalau Satria itu menikahimu karena ingin mengangkat harkat derajatmu itu yang miskin dan rendahan menjadi wanita yang terhormat. Kamu itu jangan terlalu tinggi dan kepedean deh." Crocosannya itu panjang kali lebar tanpa ada titik dan koma. Aku sedikit suka mendengar dia yang begitu terpancing oleh omonganku."Kepedean? Apa kamu lupa aku ini siapa? Aku ini seorang perempuan yang hanya lulusan SMA namun sekarang aku telah menjadi seorang desainer. Oh iya catatan, sebelum aku menikah dengan Mas Satria posisiku sudah menjadi perempuan yang berkarir di dunia tata busana. Karirku di bidang tata busana itu telah aku capai sebelum aku menikah dengan Mas Satria. Kenapa sekarang kamu jadi pura-pura bodoh ya? Malu ya hanya jadi perempuan murahan sedangkan kamu itu lulusan sekolah tinggi? Lupa kemarin kamu ditertawakan karena kamu bekerja tidak seperti bidang yang kamu geluti saat kamu masuk fakultas? Aku mengingatkan
PoV Hanah***"Hanah, tunggu! Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu!" teriaknya. Jujur aku di sini bingung harus diam atau harus terus melaju. Selama ini aku dengan Mas Brata tidak pernah ada masalah. Apa yang ingin dia bicarakan?Karena aku tahu bukan begal, langsung saja aku menepi. Mematikan mesin kendaraan dan langsung melepas sabuk pengaman. Aku turun dari mobil setelah melihat Mas Brata turun pula dari kendaraannya.Aku heran, apa yang ingin dia katakan? Kulihat juga dia tidak datang dengan Mbak Maya. Sepertinya dia hanya seorang diri dan di mobilnya tidak ada siapa-siapa lagi."Mas Brata, apa ada yang bisa saya bantu?" tanyaku seketika setelah dia mendekat. Usia kami sangat jauh berbeda. Ia hampir akan sama dengan usia bapakku."Bagaimana kalau kita bicara di resto atau di kafe. Apa bisa?" tawarnya. Sungguh aneh sekali pria ini. Kalau untuk mengajak ke kafe, lalu kenapa dia meminta aku berhenti di sini."Memang ada apa ya, Mas? Apa urgent?" Keningku mengernyit heran. Karena k
"Mbak Maya?"Aku melebarkan pandangan, tentu saja pandangan Mbak Maya pun menyalak seperti macan ingin menerkam mangsanya. Atas apa yang dia suarakan barusan, itu membuat para pengunjung kafe fokus kepada kami. Ah, dasar! Pasti masalah lagi. Dia pasti salah paham melihat kami berdua di sini. "Iya, ini saya. Kamu kaget, ya?" gumamnya dengan mimik wajah yang sangat horor. Aku hanya mendenguskan napas sembari berpikir dengan resah. Aku tahu bagaimana Mbak Maya yang selalu sinis dan negatif thinking saja padaku.Mbak Maya berkacak pinggang, sedangkan sepasang bola matanya itu memang masih tak berkedip. Dia sedang tersulut api emosi. Kenapa bisa Mbak Maya mengikut ke mari?"Ma, Mama jangan emosi, Ma. Ini tidak seperti yang Mama pikirkan." Mas Brata bangkit dan menahan Mbak Maya. Semakin jadi pusat perhatian saja kami saat ini, aku benar-benar telah salah ikut Mas Brata ke mari. Yang aku herankan juga ekspresi Mas Brata seperti ketakutan. Padahal kami tidak ada hubungan apa-apa. Tak perlu
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria