"Oiya, Mas? Sudah ketemu dengan orang Pak Zabran?" Tema beralih karena aku penasaran. Siapa tahu ada bahas mengenai rumah Pak Zabran yang dipindah tangankan. Atau, saudara Pak Zabran yang dimaksudkan.Namun, setelah mendengar pertanyaanku, Mas Satria malah seperti bergeming. Kenapa dia?Mas Satria belum juga menanggapi apa yang aku tanyakan. Apa dia memikirkan sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang aku katakan?“Mas?” Aku membuyarkan lamunannya hingga ia nampak menyemai senyuman terpaksa. Aneh, apa yang sebenarnya terjadi?"Eh, iya. Udah kok, udah ada. Dia asisten Pak Zabran. Tapi aku gak bahas dan nanya-nanya banyak. Aku juga gak enak," jawabnya sembari tersenyum. Aku menanggapi keanehan, sebenarnya Mas Satria ini memikirkan apa?Hari ini aku memang stay di kantor Mas Satria. Seharian melihat dia bekerja, sampai kami pulang ke rumah berdua pula. Afni dan Kaila sudah ada di rumah, tentu hari ini memang tidak ada jadwal bimbel sore. Mereka seperti biasa, di rumah riweuh saling ng
Kini giliran istri dari bapak itu yang bicara. "Wah, Mas Jimy ini memang hebat. Anak saya juga sekolah di sini. Saya beneran salut. Gak murah lho biaya di sini. Saya salut karena Mas Jimy yang hanya seorang asisten, tukang jaga rumah, bisa ambil pendidikan anak di sini. Hebat."Deg!"Asisten?" Aku menganga hebat. Apa maksudnya? Ternyata bukan hanya aku yang kaget, namun juga Mas Jimy dan istrinya itu. Mereka nampak memalingkan wajah dengan tanpa alasan."Kalau begitu saya duduk dulu, Mas." Pria itu menepuk kagum bahu Mas Jimy. Tanda tanya, ini sangat tanda tanya sekali.Kulirik Afni yang menyimpan tanda tanya pula, hanya Mas Satria yang nampak biasa saja, namun ia tak berani melirikku. Ia nampak mengalihkan pandangannya ke arah lain.Acara belum dimulai, kami para hadirin masih menunggu tamu-tamu yang lain. Banyak juga kursi yang masih kosong, makanya aku akan menyempatkan kesempatan ini untuk bertanya."Mas, maksudnya asisten apa? Pembantu rumah tangga, penjaga rumah, apa?" Aku menc
PoV Hanah"Huhu. Maafkan Papa, Nak. Maafkan Papa, ya. Papa gak bisa buat Afni bangga. Huhuhu."Aku melihat Mas Jimy malah seperti menangis. Entah kenapa dia malah begitu. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan dia melankolis seperti itu?"Kenapa, Pa?" Afni bertanya. Aku dan Mas Satria mendekati mereka. Kuraih bahu Afni, mengelusnya sesaat lalu mempertanyakan semuanya."Mas, ada apa?" Lalu kulirik istrinya, "ada apa, Mbak?" tanyaku pada keduanya. Raut wajahku semakin memperlihatkan tanda tanya yang besar. Apa dia terlalu bangga pada putri kami?Mereka hanya menundukkan kepala. Lalu Mas Jimy menyeka wajahnya seperti menyingkirkan buliran bening yang sudah terlanjur menetes."Lebih baik Mas Jimy cerita saja, Mas. Itu akan lebih baik dan lebih nyaman." Seketika aku kaget dengan kalimat Mas Satria barusan. Dia yang berada di dekatku namun kini seakan ikut nimbrung permasalahan kenapa Mas Jimy menangis. "Apa memang, Mas?" Kukernyitkan kening ini karena penasaran."Huhuhu." Mas Jimy
"Afni!" Mas Jimy berteriak sembari menangis."Afni!" Kini Mbak Rahma juga berteriak, tapi dia berusaha mengejar putri sambungnya itu. Ah, aku tak bisa berkata-kata. Kalau sampai Afni kecewa karena harta, aku telah gagal mendidiknya."Afni," ujarku dengan nada yang tak begitu lantang. Hatiku masih sakit melihat kejadian ini. Kulihat Afni masih terus berlari."Aku akan coba bicara pada Afni." Mas Satria menyarankan diri, namun baru saja akan melangkah, Mbak Rahma sudah lebih dulu mencegah langkah Afni yang cepat itu. Aku melihat mereka berdua kini telah saling berhadapan.Mas Jimy pun setelah itu lantas segera lari menghampir Afni kembali. Dia yang baru saja bersimpuh itu lari sembari menyeka air mata terus terusan.Aku melirik Mas Satria, dia pun manggut seakan menawarkan kalau kami juga harus ikut lari menghampiri Afni. Kami pun lari seketika. Aku juga harus memberi pemahaman Afni, bahwa dia tidak boleh kecewa karena ayahnya bukan orang yang seperti dia harapkan."Afni, maafkan papa k
"Heh, Hanah!"Saat di mall, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seorang perempuan. Begitu kagetnya aku sembari membalikkan badan. Ternyata eh ternyata, yang menjamah tanganku adalah Nindi. Oh, dia mau macam-macam denganku lagi di mall? Tidak salah?"Iya, ada apa? Dan bicaranya tidak usah keras-keras ya, indra pendengaranku ini masih sangat berfungsi dengan baik," tandasku sembari menatap wajahnya yang semakin ke sini semakin jelek karena kepribadiannya."Heh, Hanah, tolong jawab, pasti kamu kan yang memprovokasi Satria sehingga dia tidak mau menjadi pengacara aku? Pasti kamu yang menghasut Satria supaya dia tidak ingin mengurusi permasalahanku. Jadi kamu itu memang ingin menghancurkan karier suamimu ya?" Tiba-tiba perempuan itu langsung saja nyerocos membahas mengenai Mas Satria yang katanya menolak menjadi pengacaranya.Aku mana tahu soal ini, Mas Satria tidak pernah bercerita apapun mengenai perempuan ini. Lagi pula dia memang bukan orang yang penting di hidupku, jadi sepertinya aku jug
"Kamu itu memang semakin tidak tahu diri. Kamu itu memang seharusnya berpikir kalau Satria itu menikahimu karena ingin mengangkat harkat derajatmu itu yang miskin dan rendahan menjadi wanita yang terhormat. Kamu itu jangan terlalu tinggi dan kepedean deh." Crocosannya itu panjang kali lebar tanpa ada titik dan koma. Aku sedikit suka mendengar dia yang begitu terpancing oleh omonganku."Kepedean? Apa kamu lupa aku ini siapa? Aku ini seorang perempuan yang hanya lulusan SMA namun sekarang aku telah menjadi seorang desainer. Oh iya catatan, sebelum aku menikah dengan Mas Satria posisiku sudah menjadi perempuan yang berkarir di dunia tata busana. Karirku di bidang tata busana itu telah aku capai sebelum aku menikah dengan Mas Satria. Kenapa sekarang kamu jadi pura-pura bodoh ya? Malu ya hanya jadi perempuan murahan sedangkan kamu itu lulusan sekolah tinggi? Lupa kemarin kamu ditertawakan karena kamu bekerja tidak seperti bidang yang kamu geluti saat kamu masuk fakultas? Aku mengingatkan
PoV Hanah***"Hanah, tunggu! Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu!" teriaknya. Jujur aku di sini bingung harus diam atau harus terus melaju. Selama ini aku dengan Mas Brata tidak pernah ada masalah. Apa yang ingin dia bicarakan?Karena aku tahu bukan begal, langsung saja aku menepi. Mematikan mesin kendaraan dan langsung melepas sabuk pengaman. Aku turun dari mobil setelah melihat Mas Brata turun pula dari kendaraannya.Aku heran, apa yang ingin dia katakan? Kulihat juga dia tidak datang dengan Mbak Maya. Sepertinya dia hanya seorang diri dan di mobilnya tidak ada siapa-siapa lagi."Mas Brata, apa ada yang bisa saya bantu?" tanyaku seketika setelah dia mendekat. Usia kami sangat jauh berbeda. Ia hampir akan sama dengan usia bapakku."Bagaimana kalau kita bicara di resto atau di kafe. Apa bisa?" tawarnya. Sungguh aneh sekali pria ini. Kalau untuk mengajak ke kafe, lalu kenapa dia meminta aku berhenti di sini."Memang ada apa ya, Mas? Apa urgent?" Keningku mengernyit heran. Karena k
"Mbak Maya?"Aku melebarkan pandangan, tentu saja pandangan Mbak Maya pun menyalak seperti macan ingin menerkam mangsanya. Atas apa yang dia suarakan barusan, itu membuat para pengunjung kafe fokus kepada kami. Ah, dasar! Pasti masalah lagi. Dia pasti salah paham melihat kami berdua di sini. "Iya, ini saya. Kamu kaget, ya?" gumamnya dengan mimik wajah yang sangat horor. Aku hanya mendenguskan napas sembari berpikir dengan resah. Aku tahu bagaimana Mbak Maya yang selalu sinis dan negatif thinking saja padaku.Mbak Maya berkacak pinggang, sedangkan sepasang bola matanya itu memang masih tak berkedip. Dia sedang tersulut api emosi. Kenapa bisa Mbak Maya mengikut ke mari?"Ma, Mama jangan emosi, Ma. Ini tidak seperti yang Mama pikirkan." Mas Brata bangkit dan menahan Mbak Maya. Semakin jadi pusat perhatian saja kami saat ini, aku benar-benar telah salah ikut Mas Brata ke mari. Yang aku herankan juga ekspresi Mas Brata seperti ketakutan. Padahal kami tidak ada hubungan apa-apa. Tak perlu