"Sudah pergi Mbak Maya?" Mas Satria bertanya saat ia sedang duduk santai di ruangan atas lantai dua. Ia melihat aku muncul dari tangga. "Sudah, Mas. Baru saja." Aku menjawab sambil terus mendekat lalu ikut duduk di dekatnya.Ia lalu menaruh remote kontrol televisi. Mengarahkan badannya ke arahku lalu bicara. "Maaf, ya. Mbak Maya tidak berubah sejak dulu. Tadi dia ngomong apa lagi?" tanyanya.Aku segera mengenakkan posisi duduk lalu tersenyum untuk menanggapi. "Iya, Mas. Aku sudah paham. Aku juga udah maafin. Tadi Mbak Maya gak ngomong banyak kok. Aku tawari dia minum, tapi katanya minuman kurang berkelas. Aku ajak dia ke minibar, malah gak mau. Eh, malah pergi dia." Aku bercerita dengan raut wajah suka."Kamu ini. Dia padahal mau pancing emosi kamu, ya." Mas Satria sudah paham. "Iya, Mas, aku juga tahu. Emosi dengan emosi, itu tak akan menyelesaikan dan tak akan mengakhiri.""Makasih sudah paham, ya," ujarnya lagi lalu mengelus punggung tanganku."Oiya, Mas. Kamu … emangnya kamu sem
"Siapa, Mbak?" Mas Satria menanyakan."Tidak kenal, Pak.""Ya sudah, kami akan turun."Mbak Yul bicara lagi. "Oiya, tadi namanya itu … em, Pak Jimy. Ya, Pak Jimy kalau gak salah dengar."Deg!~Kom Komala~"Jimy? Jimy itu nama mantan suami kamu, ya?"Aku manggut-manggut saja tak kuasa menjawab. Heran dan kaget. Selama bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu lagi, namun sekarang ke mari? Ya, siapa lagi? Apa mungkin Jimy yang lain?"Ayok!"Mas Satria mengajakku untuk segera menemui tamu yang datang. Aku harap ada Jimy lain lagi, bukan dia. Sudah sumpek aku melihat wajahnya. Terakhir kali, aku menemukan dia itu bekerja jadi pelayan. Sekarang, entah bagaimana kabarnya.Atas saran suami, kami pun segera menuruni tangga untuk sampai di lantai dasar. Belum nampak sosok mereka karena ruangan berkelok. Namun saat ini, tamu itu memang sudah kami lihat dari kejauhan. "Mas Jimy?" Hanya batinku yang berucap kaget. Di sana dia datang dengan perempuan lain yang tak aku kenali. Ke mana perempuan yan
Malam ini kuhampiri si sulung ke kamarnya. Pintu membuka, jadi aku langsung masuk setelah memanggil namanya."Ma? Masuk, Ma!"Ia menoleh lalu mempersilahkan aku masuk. Ia ternyata masih terduduk di meja belajar. Di jarinya terselip pena, dan di depannya ada tergeletak handphone. Anak jaman sekarang memang tak bisa menghindari benda itu.Perawanku, dulu yang lucu dan imut, sekarang telah berubah menjadi cantik. Malu aku menyebutnya lucu, usianya sudah remaja dan akan beranjak dewasa. Kamar yang dominan dindingnya diwarnai merah muda, membuat ruangan ini sangat girly sekali. Berbeda dengan Kaila, ia lebih menyukai warna-warna yang menyejukkan seperti warna hijau muda dan sejenisnya. Dari karakter juga beda, Afni lebih manja saat dia sedang kecil, sedangkan Kaila lebih mengerti. Alhamdulillah, sekarat manjanya Afni pun sudah berangsur-angsur menipis. Kurang-kurangnya orang tua berperan dalam segi ini, bahaya kedepannya. Mereka juga tumbuh dengan karakter yang baik. Tidak angkuh dan sede
Kebetulan sekali, arisan Minggu ini giliran di rumah Mbak Anna. Kami pun bersama-sama menuju ke huniannya yang berada di komplek yang sama, blok yang sama dengan alamat rumah Mas Jimy.Kami pun seperti biasa melakukan aktivitas mulai dari makan bersama, kocok arisan, dan juga aktivitas lainnya. Pahamlah, bagaimana emak-emak kalau sudah berkumpul.Karena ini di taman belakang area kolam, aku tidak bisa memantau rumah Mas Jimy. Sekeliling rumah Mbak Anna juga dibenteng. Untuk ke rumah Mas Jimy itu, tentu tidak terlewati oleh jalan ke rumah Mbak Anna. Rumah mantan suamiku itu ada di nomor selanjutnya.Sebenarnya aku memang penasaran, karena Mbak Anna kekeh bilang, rumah Pak Zabran belum dijual. Kalaupun iya, tetangga pasti tahu."Mbak, ini tolong kirim ke rumah tetangga, ya? Ini buat keluarga Pak Zabran, ini buat keluarga Pak Anton. Sama ini juga buat Bu Santika, ya?" Mbak Anne menyuruh asisten rumah tangganya mengantar makanan ke rumah Pak Zabran, yang aku tahu, rumah itu sudah jadi mi
"Tolong kamu bawa Afni ke rumahku. Aku tidak bisa menjemputnya. Aku mau dia main ke rumahku yang mewah ini. Aku juga sudah membelikan segala keperluannya." MasJimy bicara dari kejauhan sana dari balik telepon. Saat itu memang kami bertukar nomor handphone supaya mudah untuk berhubungan mengenai Afni. Tapi aku memberi nomor Mas Satria saja tanpa memberi nomorku. Bagaimanapun aku dan dia itu sudah mantan. Takut ada hal lain yang menduga."Aku tidak akan melarang tapi aku juga akan menanyakan kepada Afni, dia mah atau tidak untuk ke rumahmu," jawabku layu sembari berjalan menuju ke arah jendela. Mas Satria juga ada di kamarku dia menyimak pembicaraan kami karena aku loud speaker."Afni sudah tumbuh remaja. Dia juga pasti sudah punya keputusan dan keinginan sendiri. Tolong kamu antar dia kemari. Ya kalau kamu takut, kamu kemari saja lah dengan suami kamu. Aku hanya ingin kalian berkunjung ke rumahku." Lagi-lagi aku mendengar permintaannya. Aku tak tahu apa rencana dia. Jujur aku juga mas
"Iya, Mas. Tapi aku tak mengijinkan Afni menginap. Aku takut di masa-masa remajanya tumbuh kurang baik kalau menginap ke sana dan ke mari." Lalu aku alihkan pandangan ke istrinya, "oiya, saya juga punya teman yang rumahnya masih satu blok di sini. Mereka pasti tahu kalian berati 'ya?" Aku bertanya pada Mbak Rahma. Sebenarnya ini adalah pertanyaan pancingan untuk ekspresi.Mendengar pertanyaan dariku barusan, entah mengapa wajah keduanya memperlihatkan ekspresi yang berbeda. Bila tadi santai, seakan-akan sekarang mereka terlihat menurun rasa percaya diri."Tetangga?" Mbak Rahma bertanya dengan mimik wajah yang salah tingkah. Bola matanya tak berhenti bergerak sampai tak mampu menatapku balik."Iya, malah di samping rumah ini. Beda satu nomor rumahnya juga. Sering lho saya main ke sana, Mbak," ujarku lagi, "saya sampai gak tahu, papanya Afni di sini juga," sambungku santai."Em, ya, em, tapi kami memang baru sih. Pasti mereka hanya mengenal pemilik rumah ini yang sebelumnya. Jadi, kami
"Halo, Mbak?" Aku langsung sigap menerima panggilan dari Mbak Anna. Kusingkirkan dulu tubuh ini keluar kamar, karena tak enak dengan Mas Satria."Halo, Han? Oh, ternyata dia itu katanya masih saudara Pak Zabran. Ijah bilang gitu. Mereka baru datang dari luar kota. Mereka tinggal di sana selama Pak Zabran pergi. Memang mereka suami dan istri. Baru tahu juga sih Mbak, Han." Akhirnya jawaban Mbak Anna membuat rasa penasaranku terbuka. Tapi masih aneh juga, kenapa Mas Jimy bilang kalau itu adalah rumahnya? Ya, tapi mungkin dia memang merasa bahwa rumah saudara itu rumahnya juga."Oh, gitu ya, Mbak. Makasih ya, Mbak. Maaf aku udah repotin Mbak sampai nanya-nanya. Soalnya aku ingin identitas papanya Afni jelas, Mbak. Lagian selama ini dia tiba-tiba muncul juga. Aku takut dia orang yang mau aneh-aneh." Aku jadi curhat."Oh gak apa-apa. Memang kita perlu hati-hati dengan yang namanya mantan kalau udah lama hilang lalu datang lagi. Ya, semoga kalian masih berhubungan baik, ya. Ini demi Afni j
PoV Jimy***"Iya, Pak Bos, siap, Pak Bos. Saya akan jalan ke kantor pengacara sekarang juga.""Iya. Minta juga untuk disegerakan karena saya tidak ingin lama-lama. Saya juga seminggu lagi pulang. Tidak jadi lama di sini."Deg! Aku kaget."Hah, satu Minggu Pak Bos?" Degup jantungku tidak normal."Iya. Sudah, kamu segera berangkat, saya ada meeting dulu.""A–em, siap, Bos, siap." Aku benar-benar gelagapan."Kenapa kamu a-u-a-u? Saya gak jadi lama karena di sini kondisinya memungkinkan untuk ditinggalkan. Gimana anakmu itu? Sudah kamu temui lagi?""Em, sudah, Bos. Sudah. Dia juga sudah ke mari, Bos. Saya bilang ini rumah saya, Bos. Soalnya saya malu. Masak saya masih miskin.""Ck, Jimy, Jimy. Dasar kamu itu. Ya sudah, terserah kamu. Tapi nanti kalau anakmu tahu kamu bohong, kamu yang berabe.""Tapi, Bos, saya sudah terlanjur bohong. Gimana ya, Bos?" Aku resah."Ya sudah, terserah kamu. Nanti saya kondisikan kalau ada anak kamu ke rumah, kalau saya udah pulang.""Aduh, Bos, makasih ya, B