"Jadi benar 'kan?" ujar Mas Satria dengan santainya. Mbak Maya seakan termakan oleh alur yang aku saja tidak paham. "Benar apanya? Kamu jangan menghakimi mbakmu ini seperti penjahat deh, Sat!" pekik Mbak Maya. Dia seakan tak ingin ada di posisi yang salah."Mbak jangan bohong, itu tidak baik. Di usia Mbak saat ini seharusnya Mbak rajin-rajinlah beribadah dan berbuat baik. Bukan harus mengurusi kehidupan orang lain dan malah membuat onar keluarga adik Mbak sendiri. Maksud Mbak ingin mendekatkan aku dengan Nindi yang sudah pisah dari suaminya 'kan?" celetuk Mas Satria. Saat ini aku seperti sedang menonton sebuah drama perfilman di mana tokoh yang selalu jahat itu mati karena omongan-omongan protagonisnya."Aduh, Sat. Kayaknya kamu ini cuma ngarang, ya? Udahlah, Mbak sekarang mau pulang. Mbak mau ke mall." Mbak Maya malah seperti tak ingin memperpanjang persoalan ini. Dia seakan tak mau lagi bersilat lidah karena dirinya tahu mengenai hal yang Mas Satria duga.Mbak Maya malah berdiri ak
"Kamu jangan berani-beraninya merendahkan suami Mbak. Jelas Mas Brata itu tidak ada bandingannya dibandingkan istrimu ini yang hanya lulusan SMA." Angkuh Mbak Maya menanggapi. Tapi sebenarnya dia tidak tahu bagaimana kelakuan suaminya di belakang."Ya sudah terserah Mbak. Tapi aku hanya camkan bahwa pendidikan tinggi itu tidak menjamin sebuah kebaikan dan juga sebuah kesetiaan. Coba Mbak cek di mana Mas Brata sekarang. Apa benar dia di Surabaya?"Deg!Apa maksud suamiku? Apa dia juga tahu Mas Brata suka main perempuan? Padahal aku juga tak pernah cerita."Apaan sih kamu? Jangan perkeruh suasana hati Mbak, deh. Kamu mau buat supaya Mbak cekcok, ya?" Mbak Maya masih tak terima. Apa dia sebenarnya sudah curiga?"Kenapa memperkeruh, memangnya sudah tak jernih lagi? Atau Mbak memang menangkap keganjilan?" ujar Mas Satria lagi."Mas, sudah. Jangan panasin Mbak Maya." Aku memperingati Mas Satria. Padahal jauh di lubuk hati ini, aku senang karena Mbak Maya tak berhasil membuat kami cekcok."A
"Sudah pergi Mbak Maya?" Mas Satria bertanya saat ia sedang duduk santai di ruangan atas lantai dua. Ia melihat aku muncul dari tangga. "Sudah, Mas. Baru saja." Aku menjawab sambil terus mendekat lalu ikut duduk di dekatnya.Ia lalu menaruh remote kontrol televisi. Mengarahkan badannya ke arahku lalu bicara. "Maaf, ya. Mbak Maya tidak berubah sejak dulu. Tadi dia ngomong apa lagi?" tanyanya.Aku segera mengenakkan posisi duduk lalu tersenyum untuk menanggapi. "Iya, Mas. Aku sudah paham. Aku juga udah maafin. Tadi Mbak Maya gak ngomong banyak kok. Aku tawari dia minum, tapi katanya minuman kurang berkelas. Aku ajak dia ke minibar, malah gak mau. Eh, malah pergi dia." Aku bercerita dengan raut wajah suka."Kamu ini. Dia padahal mau pancing emosi kamu, ya." Mas Satria sudah paham. "Iya, Mas, aku juga tahu. Emosi dengan emosi, itu tak akan menyelesaikan dan tak akan mengakhiri.""Makasih sudah paham, ya," ujarnya lagi lalu mengelus punggung tanganku."Oiya, Mas. Kamu … emangnya kamu sem
"Siapa, Mbak?" Mas Satria menanyakan."Tidak kenal, Pak.""Ya sudah, kami akan turun."Mbak Yul bicara lagi. "Oiya, tadi namanya itu … em, Pak Jimy. Ya, Pak Jimy kalau gak salah dengar."Deg!~Kom Komala~"Jimy? Jimy itu nama mantan suami kamu, ya?"Aku manggut-manggut saja tak kuasa menjawab. Heran dan kaget. Selama bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu lagi, namun sekarang ke mari? Ya, siapa lagi? Apa mungkin Jimy yang lain?"Ayok!"Mas Satria mengajakku untuk segera menemui tamu yang datang. Aku harap ada Jimy lain lagi, bukan dia. Sudah sumpek aku melihat wajahnya. Terakhir kali, aku menemukan dia itu bekerja jadi pelayan. Sekarang, entah bagaimana kabarnya.Atas saran suami, kami pun segera menuruni tangga untuk sampai di lantai dasar. Belum nampak sosok mereka karena ruangan berkelok. Namun saat ini, tamu itu memang sudah kami lihat dari kejauhan. "Mas Jimy?" Hanya batinku yang berucap kaget. Di sana dia datang dengan perempuan lain yang tak aku kenali. Ke mana perempuan yan
Malam ini kuhampiri si sulung ke kamarnya. Pintu membuka, jadi aku langsung masuk setelah memanggil namanya."Ma? Masuk, Ma!"Ia menoleh lalu mempersilahkan aku masuk. Ia ternyata masih terduduk di meja belajar. Di jarinya terselip pena, dan di depannya ada tergeletak handphone. Anak jaman sekarang memang tak bisa menghindari benda itu.Perawanku, dulu yang lucu dan imut, sekarang telah berubah menjadi cantik. Malu aku menyebutnya lucu, usianya sudah remaja dan akan beranjak dewasa. Kamar yang dominan dindingnya diwarnai merah muda, membuat ruangan ini sangat girly sekali. Berbeda dengan Kaila, ia lebih menyukai warna-warna yang menyejukkan seperti warna hijau muda dan sejenisnya. Dari karakter juga beda, Afni lebih manja saat dia sedang kecil, sedangkan Kaila lebih mengerti. Alhamdulillah, sekarat manjanya Afni pun sudah berangsur-angsur menipis. Kurang-kurangnya orang tua berperan dalam segi ini, bahaya kedepannya. Mereka juga tumbuh dengan karakter yang baik. Tidak angkuh dan sede
Kebetulan sekali, arisan Minggu ini giliran di rumah Mbak Anna. Kami pun bersama-sama menuju ke huniannya yang berada di komplek yang sama, blok yang sama dengan alamat rumah Mas Jimy.Kami pun seperti biasa melakukan aktivitas mulai dari makan bersama, kocok arisan, dan juga aktivitas lainnya. Pahamlah, bagaimana emak-emak kalau sudah berkumpul.Karena ini di taman belakang area kolam, aku tidak bisa memantau rumah Mas Jimy. Sekeliling rumah Mbak Anna juga dibenteng. Untuk ke rumah Mas Jimy itu, tentu tidak terlewati oleh jalan ke rumah Mbak Anna. Rumah mantan suamiku itu ada di nomor selanjutnya.Sebenarnya aku memang penasaran, karena Mbak Anna kekeh bilang, rumah Pak Zabran belum dijual. Kalaupun iya, tetangga pasti tahu."Mbak, ini tolong kirim ke rumah tetangga, ya? Ini buat keluarga Pak Zabran, ini buat keluarga Pak Anton. Sama ini juga buat Bu Santika, ya?" Mbak Anne menyuruh asisten rumah tangganya mengantar makanan ke rumah Pak Zabran, yang aku tahu, rumah itu sudah jadi mi
"Tolong kamu bawa Afni ke rumahku. Aku tidak bisa menjemputnya. Aku mau dia main ke rumahku yang mewah ini. Aku juga sudah membelikan segala keperluannya." MasJimy bicara dari kejauhan sana dari balik telepon. Saat itu memang kami bertukar nomor handphone supaya mudah untuk berhubungan mengenai Afni. Tapi aku memberi nomor Mas Satria saja tanpa memberi nomorku. Bagaimanapun aku dan dia itu sudah mantan. Takut ada hal lain yang menduga."Aku tidak akan melarang tapi aku juga akan menanyakan kepada Afni, dia mah atau tidak untuk ke rumahmu," jawabku layu sembari berjalan menuju ke arah jendela. Mas Satria juga ada di kamarku dia menyimak pembicaraan kami karena aku loud speaker."Afni sudah tumbuh remaja. Dia juga pasti sudah punya keputusan dan keinginan sendiri. Tolong kamu antar dia kemari. Ya kalau kamu takut, kamu kemari saja lah dengan suami kamu. Aku hanya ingin kalian berkunjung ke rumahku." Lagi-lagi aku mendengar permintaannya. Aku tak tahu apa rencana dia. Jujur aku juga mas
"Iya, Mas. Tapi aku tak mengijinkan Afni menginap. Aku takut di masa-masa remajanya tumbuh kurang baik kalau menginap ke sana dan ke mari." Lalu aku alihkan pandangan ke istrinya, "oiya, saya juga punya teman yang rumahnya masih satu blok di sini. Mereka pasti tahu kalian berati 'ya?" Aku bertanya pada Mbak Rahma. Sebenarnya ini adalah pertanyaan pancingan untuk ekspresi.Mendengar pertanyaan dariku barusan, entah mengapa wajah keduanya memperlihatkan ekspresi yang berbeda. Bila tadi santai, seakan-akan sekarang mereka terlihat menurun rasa percaya diri."Tetangga?" Mbak Rahma bertanya dengan mimik wajah yang salah tingkah. Bola matanya tak berhenti bergerak sampai tak mampu menatapku balik."Iya, malah di samping rumah ini. Beda satu nomor rumahnya juga. Sering lho saya main ke sana, Mbak," ujarku lagi, "saya sampai gak tahu, papanya Afni di sini juga," sambungku santai."Em, ya, em, tapi kami memang baru sih. Pasti mereka hanya mengenal pemilik rumah ini yang sebelumnya. Jadi, kami
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku