Handa hampir terjatuh saat dia menerima tamparan keras dari Lisa. Selayaknya karma yang dibayar dengan lunas setelah sebelumnya dia menampar Satria, kini dia harus menerima balasan dari wanita yang telah melahirkan suaminya tersebut. Ada benarnya juga kata-kata jika pembalasan itu lebih menyakitkan, buktinya Handa sampai menitikkan air mata gara-gara telapak tangan Lisa yang mendarat sempurna di pipinya, Handa merasakan panas di pipi seperti terbakar, dan giginya seperti rontok semua."Apa yang kau lakukan pada putraku?" bentak Lisa tak menghiraukan Handa yang sedang meringis kesakitan. "Kau tahu? Satria adalah putraku satu-satunya, hanya dia yang kumiliki. Dan karenamu, kini dia berjuang antara hidup dan mati," tuduh Lisa dibarengi dengan lelehan air mata yang tak terbendung.Kesedihan dan amarah yang menjadi satu karena melihat keadaan putra semata wayangnya yang sangat memprihatinkan sempat membuat Lisa tantrum hingga sempat tak sadarkan diri. Dan saat dia sudah siuman, Handa menja
"Maaf Pa, Handa tidak bisa menemani Papa," ucap Handa sambil menyeka air matanya. "Nanti kalau Mas Satria sudah mendingan, Handa ke tempat Papa." Handa berusaha berbicara setenang mungkin, karena tidak ingin membuat Gunadi yang sudah mulai membaik kesehatannya menjadi khawatir. Satria dan Gunadi dirawat di dua rumah sakit yang berbeda, Satria dirawat di sebuah rumah sakit elit dengan fasilitas terbaik, sedangkan Gunadi dirawat di rumah sakit umum daerah dengan fasilitas gratis menggunakan BPJS karena dia seorang PNS. Sejujurnya Handa ingin menemani dan merawat Gunadi, papanya, tetapi karena rasa bersalah membuat Handa tetap menunggu kabar perkembangan kesehatan Satria yang masih belum sadarkan diri, meskipun keberadaannya tidak diinginkan oleh Lisa dan membuatnya harus menunggu di depan ruang perawatan suaminya. Setelah mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan sang papa, Handa membalikkan tubuhnya dan melihat Asta yang sudah berdiri di depannya dengan membawa paper bag bergambar
Harris memasuki sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumah sakit, lelaki paruh baya itu tak butuh waktu yang lama untuk menemukan sosok yang dia cari. Di pojokan kafe Selo Ardi duduk sendiri sambil sesekali menyesap kopi yang tampak masih mengebulkan uap panasnya.Selo Ardi segera berdiri saat melihat kedatangan Harris, dan baru kembali duduk setelah Harris menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi yang terletak di depannya. Dan kini mereka berdua duduk saling berhadapan."Ini hasil penyelidikan saya." Selo Ardi menyodorkan sebuah amplop besar kepada Harris. "Untuk bukti rekaman saya simpan di flashdisk, tapi Pak Harris bisa melihat foto-foto yang tercetak untuk mengenali pelaku yang menabrak Mas Satria."Harris segera mengambil amplop yang disodorkan oleh Selo Ardi. Tak ingin membuang-buang waktu, Harris segera membuka amplop tersebut untuk mengetahui orang yang sudah mencelakai Putranya. Foto sosok yang sangat dia kenal terpampang jelas di depan matanya. Ada rasa kecewa dan marah saa
"Kamu siapa, Han?"Dalam hati Handa mengulang kembali pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Satria. Terasa ada yang janggal dari pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya Handa memandang dengan lekat mata lelaki yang telah menikahinya, berharap akan menemukan jawaban di sana. Seperti yang Handa harapkan, seolah menemukan titik terang saat Satria memalingkan muka sambil memejamkan matanya."Malaikat izrail tak pernah salah dalam menjalankan tugasnya, Mas. Meski manusia itu lupa ingatan atau mengubah identitasnya. Mungkin Handa bisa membantu Malaikat Izrail menjalankan tugasnya dengan mencabut salah satu selang yang ....""Han!" potong Satria saat tiba-tiba dia merasakan sesak saat bernafas. Bukan hanya takut dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Handa, tetapi karena jaraknya dengan sang istri yang sangat dekat, saat dia akan mengambil sesuatu yang berada di atas brankar Satria. Tubuh bagian atas yang sangat sensitive milik Handa berada tepat di depan wajah Satria."Han apa yang
Handa melipat mukenanya, lalu dia masukkan kembali ke dalam tas ranselnya. Semua yang dilakukan oleh Handa tak luput dari perhatian Satria. Pewaris tunggal Arga Group itu terbaring di atas brankar, dan pura-pura masih tidur agar bisa dengan leluasa memperhatikan sang istri. Hari yang masih pagi, bahkan matahari pun belum terbit seakan mendukung sandiwara Satria.Handa mendekati brankar dan merapikan selimut yang digunakan oleh suaminya itu. Satria segera meraih tangan Handa saat istrinya hendak menjauh. Handa menatap wajah suaminya, meskipun baru bangun tidur dan masih terlihat ada beberapa luka lecet tetapi gurat ketampanan seakan tak pudar, justru wajah Satria terlihat lebih manly dan macho. Handa menghentikan langkahnya dan mempersembahkan senyum terindahnya sebagai ganti ucapan selamat pagi untuk lelaki yang kini telah bergelar suami baginya."Mas Satria membutuhkan sesuatu?" tanya Handa."Aku butuh kamu di sisiku," ucap Satria sambil menarik kedua tangan Handa, hingga dengan terp
"Tidak perlu, tidak perlu mengirim perawat ke sini. Saya sudah sehat, saya mengerti jika Handa memang harus merawat Nak Satria yang sedang sakit. Tidak apa, di sini masih ada mamanya Handa."Obrolan melalui ponsel antara Gunadi dengan Satria pun berakhir. Akhirnya Gunadi harus menelan kekecewaan karena tidak bisa berlama-lama dengan putri bungsunya itu. Sejak perjalanan pulang dari rumah sakit, Satria terus menerus menghubungi Handa dan Gunadi secara bergantian, meminta atau lebih tepatnya memaksa agar Handa segera kembali ke rumah sakit tempat Satria di rawat.Gunadi merasa tidak bisa melawan kehendak menantunya tersebut. Dia sadar, setelah Handa menikah, maka sang suami lebih berhak atas putrinya dari pada dirinya. Belum hilang rasa rindu itu, Gunadi sudah harus kembali berpisah dengan putri bungsunya. Ada rasa sesal yang menyelinap di hati Gunadi, saat dia mengingat telah menitipkan Handa pada Gunawan sejak kecil, hingga hampir tidak ada moment-moment indah yang mereka lalui bersam
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Satria diijinkan pulang meskipun belum sembuh sepenuhnya. Satria belum bisa beraktifitas seperti biasanya karena dia masih harus berada di atas kursi roda. Satria juga harus menjalani serangkaian fisioterapi agar dia bisa segera berjalan dengan normal kembali.Dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Argawinata, Handa dan Satria duduk di seat kedua sebuah mobil mewah berjenis MPV premium. Satria tahu saat ini Handa sedang gugup, karena hari ini akan menjadi hari pertama bagi Handa memasuki rumah keluarga Argawinata, Handa harus tinggal satu kamar dengan Satria, dan seatap dengan mertua, walaupun hanya sementara sebelum dia kembali lagi ke Semarang. Satria meraih tangan Handa, diusapnya dengan lembut punggung tangan tersebut berharap mampu memberikan ketenangan pada wanita yang telah dia nikahi.Pintu gerbang terbuka lebar, mobil yang membawa Handa dan Satria melaju dengan perlahan. Handa dibuat terperangah saat menyaksikan bangun
Handa sedang duduk di sofa yang berada di kamar yang dia tempati bersama Satria, sofa yang terletak di ujung ruangan dan berada di dekat jendela lebar itu langsung memperlihatkan kolam renang dan taman yang indah. Handa sedang sibuk dengan laptop yang berada di depannya, dilihatnya ada email yang masuk. Revisi skripsi yang dia kirim sudah mendapat balasan dari Pak Alim, sedangkan email yang dia kirim untuk Pak Bayu sepertinya belum juga dibaca. Informasi yang di dapat Handa, istri Pak Bayu sedang sakit, sehingga Pak Bayu hanya akan melakukan bimbingan skripsi pada jam kerjanya saja di kampus, selebihnya akan dia gunakan untuk merawat sang istri.Handa mendengus kasar, pandangannya memindai seisi ruangan, lalu beralih keluar jendela, tampak kolam renang yang menyatu dengan taman yang indah. Kekayaan dan kemewahan yang tak pernah dia bayangkan akan bisa dia nikmati dalam hidupnya, kini ada seorang lelaki yang bergelar suami mengatakan jika dirinya adalah salah satu pemilik dari kemewaha