Handa melipat mukenanya, lalu dia masukkan kembali ke dalam tas ranselnya. Semua yang dilakukan oleh Handa tak luput dari perhatian Satria. Pewaris tunggal Arga Group itu terbaring di atas brankar, dan pura-pura masih tidur agar bisa dengan leluasa memperhatikan sang istri. Hari yang masih pagi, bahkan matahari pun belum terbit seakan mendukung sandiwara Satria.Handa mendekati brankar dan merapikan selimut yang digunakan oleh suaminya itu. Satria segera meraih tangan Handa saat istrinya hendak menjauh. Handa menatap wajah suaminya, meskipun baru bangun tidur dan masih terlihat ada beberapa luka lecet tetapi gurat ketampanan seakan tak pudar, justru wajah Satria terlihat lebih manly dan macho. Handa menghentikan langkahnya dan mempersembahkan senyum terindahnya sebagai ganti ucapan selamat pagi untuk lelaki yang kini telah bergelar suami baginya."Mas Satria membutuhkan sesuatu?" tanya Handa."Aku butuh kamu di sisiku," ucap Satria sambil menarik kedua tangan Handa, hingga dengan terp
"Tidak perlu, tidak perlu mengirim perawat ke sini. Saya sudah sehat, saya mengerti jika Handa memang harus merawat Nak Satria yang sedang sakit. Tidak apa, di sini masih ada mamanya Handa."Obrolan melalui ponsel antara Gunadi dengan Satria pun berakhir. Akhirnya Gunadi harus menelan kekecewaan karena tidak bisa berlama-lama dengan putri bungsunya itu. Sejak perjalanan pulang dari rumah sakit, Satria terus menerus menghubungi Handa dan Gunadi secara bergantian, meminta atau lebih tepatnya memaksa agar Handa segera kembali ke rumah sakit tempat Satria di rawat.Gunadi merasa tidak bisa melawan kehendak menantunya tersebut. Dia sadar, setelah Handa menikah, maka sang suami lebih berhak atas putrinya dari pada dirinya. Belum hilang rasa rindu itu, Gunadi sudah harus kembali berpisah dengan putri bungsunya. Ada rasa sesal yang menyelinap di hati Gunadi, saat dia mengingat telah menitipkan Handa pada Gunawan sejak kecil, hingga hampir tidak ada moment-moment indah yang mereka lalui bersam
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Satria diijinkan pulang meskipun belum sembuh sepenuhnya. Satria belum bisa beraktifitas seperti biasanya karena dia masih harus berada di atas kursi roda. Satria juga harus menjalani serangkaian fisioterapi agar dia bisa segera berjalan dengan normal kembali.Dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Argawinata, Handa dan Satria duduk di seat kedua sebuah mobil mewah berjenis MPV premium. Satria tahu saat ini Handa sedang gugup, karena hari ini akan menjadi hari pertama bagi Handa memasuki rumah keluarga Argawinata, Handa harus tinggal satu kamar dengan Satria, dan seatap dengan mertua, walaupun hanya sementara sebelum dia kembali lagi ke Semarang. Satria meraih tangan Handa, diusapnya dengan lembut punggung tangan tersebut berharap mampu memberikan ketenangan pada wanita yang telah dia nikahi.Pintu gerbang terbuka lebar, mobil yang membawa Handa dan Satria melaju dengan perlahan. Handa dibuat terperangah saat menyaksikan bangun
Handa sedang duduk di sofa yang berada di kamar yang dia tempati bersama Satria, sofa yang terletak di ujung ruangan dan berada di dekat jendela lebar itu langsung memperlihatkan kolam renang dan taman yang indah. Handa sedang sibuk dengan laptop yang berada di depannya, dilihatnya ada email yang masuk. Revisi skripsi yang dia kirim sudah mendapat balasan dari Pak Alim, sedangkan email yang dia kirim untuk Pak Bayu sepertinya belum juga dibaca. Informasi yang di dapat Handa, istri Pak Bayu sedang sakit, sehingga Pak Bayu hanya akan melakukan bimbingan skripsi pada jam kerjanya saja di kampus, selebihnya akan dia gunakan untuk merawat sang istri.Handa mendengus kasar, pandangannya memindai seisi ruangan, lalu beralih keluar jendela, tampak kolam renang yang menyatu dengan taman yang indah. Kekayaan dan kemewahan yang tak pernah dia bayangkan akan bisa dia nikmati dalam hidupnya, kini ada seorang lelaki yang bergelar suami mengatakan jika dirinya adalah salah satu pemilik dari kemewaha
Melihat kesehatan dua pria yang begitu berharga dalam hidupnya semakin membaik, membuat Handa berharap bisa kembali ke Semarang dengan senyuman. Tetapi semua itu hanya tinggal harapan kosong belaka, setelah Handa mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Marini yang terasa begitu menyakitkan bagaikan belati yang menancap dan mencabik-cabik hatinya.Duduk di seat belakang sebuah mobil mewah, ternyata tidak mampu membuat perjalanan Handa manjadi terasa lebih nyaman. Dengan pandangan nanar menatap keluar jendela, berkali-kali Handa harus menyeka air matanya. Sebuah kenyataan yang masih harus dia tanyakan lagi kebenarannya kepada Gunadi, papanya. Tetapi semua itu tentunya harus menunggu sampai kesehatan sang papa stabil. Menunggu, Handa harus menunggu, sesuatu yang akan membuat Handa dilingkupi oleh rasa penasaran dan merasakan hidup yang tidak tenang.Flashback"Ma, Handa tahu, mungkin saat ini Mama sedang sedih memikirkan Mbak Hanin, ditambah lagi Mama juga capek karena harus merawa
Wajah tampan itu terlihat kelam, tak seperti biasanya yang tetap tersunging senyuman walaupun dalam keadaan yang tak berdaya. Pandangan nanar keluar jendela beralih ke kaki yang masih dibalut dengan gibs, sebuah cangkang untuk membantu memulihkan tulang-tulangnya yang hampir hancur karena tertabrak mobil. Kaki yang selama ini menopang tubuh tegap nan gagah membuatnya tampil menawan dan membuat banyak wanita terpesona, kaki yang dulu mampu mengungkung wanita hingga mendesah saat berbagi kenikmatan. Tetapi kini kaki itu tak berdaya, untuk membantu pergerakannya, dia harus dibantu dengan kursi roda. Bahkan hingga satu bulan kebersamaan dengan sang istri, dia belum mampu memberikan nafkah yang akan membuat wanita yang telah halal baginya itu untuk mendesah.Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Satria, tampak Handa muncul dari balik pintu. Setelah meletakkan tas ranselnya Handa segera menghampiri Satria lalu duduk di sofa yang berada di dekat sang suami."Habis nangis?" tanya Satria saat
Tak ada yang menginginkan perpisahan ini, bahkan Handa sebagai pihak yang paling berkepentingan pun sebenarnya berat untuk meninggalkan Satria yang masih membutuhkan banyak bantuan untuk beraktifitas. Gibs yang masih melekat di kakinya membuat pergerakan Satria tidak leluasa seperti biasanya.Dari kaca yang melekat di pintu lemari pakaiannya, Satria melihat sang istri yang sedang berdiri melamun sambil memegang pakaian yang seharusnya dia gunakan untuk ganti. Dengan saksama Satria mengamati wajah sendu yang akan dia rindukan selama mereka menjalin hubungan jarak jauh. Jika ditanya tentu saja Satria tidak ingin berpisah dengan Handa, tetapi demi masa depan dan kebaikan mereka berdua, Satria rela berpisah dan menahan rindu.Satria hanya ingin fokus, saat ini Handa fokus dengan skripsinya agar segera diwisuda, dan dia fokus dengan proses penyembuhan kakinya agar bisa berjalan dengan normal kembali. Dalam pikiran Satria, meskipun saat ini mereka bersama, mereka berdua tetap belum bisa mem
"Papa tahu, papa salah," ujar Harris, yang berdiri di dekat jendela dengan tatapan mata menerawang jauh keluar. Tidak ada gunanya lagi bagi Harris mengelak dari kesalahannya di masa lalu yang kini seolah mengejar sebuah tanggung jawab yang masih enggan untuk dia tunaikan."Dia hanya ingin papa mengakuinya sebagai anak, itu saja." Satria kini sudah berada di ruang kerja, memeriksa berkas-berkas penting yang sudah menunggu dibubuhi tanda tangan."Maafkan papa, hingga membuatmu harus menanggung semua ini." Harris membalikkan tubuhnya dan memandang lekat pada Satria yang masih membutuhkan alat bantu jalan untuk melakukan aktifitasnya. Rasa bersalah itu bercokol di hatinya, tetapi ego membuat Harris tetap pada pendiriannya. "Tapi mengakuinya sebagai anak papa, adalah sesuatu yang sangat berat dan mungkin tidak bisa papa lakukan."Suasana menjadi hening, anak dan ayah itu saling bertukar pandang dan terdiam, tampaknya pemikiran mereka kini dalam posisi yang sedang berseberangan."Mama sebag
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
“Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora
“Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad
“Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i
“Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng
“Saat ini kami sedang butuh modal, jadi saya akan menjual rumah itu,” ucap Hanin di hadapan kedua orang tuanya.Setelah menikah dengan Dharma Hanin menetap di Semarang, dan hanya sesekali mendatangi kedua orang tuanya di Jakarta. Bahkan jika Marini merasakan rindu yang sangat pada cucunya, dia dan Gunadi yang berkunjung ke Semarang.“Kenapa tidak pinjam bank saja, kan bisa dicicil?” tanya Marini yang merasa sayang untuk menjual rumah milik Hanindya.Sedangkan Gunadi baru mengetahui jika selama ini putrinya memiliki rumah di pinggiran kota Jakarta. Padahal rumah itu sudah lama dimiliki oleh putri sulungnya, bahkan sejak mereka masih tinggal bersama. Ingin rasanya bertanya kepada Hanin, tetapi tampaknya Gunadi lebih memilik untuk menunggu kejujuran dari putri sulungnya tersebut.“Sebenarnya Mas Dharma juga berpikiran seperti itu, tetapi kebutuhan kami sudah terlalu banyak. Anak-anak sudah sekolah semua, kalau kami mengajukan pinjaman lagi, takutnya justru membuat kami tidak bisa fokus d
“Mbak Dia!” panggil Handa kepada wanita yang sudah hampir memasuki mobilnya. “Maafkan, Mas Satria! Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya,” sambung Handa berusaha untuk menenangkan hati salah satu tamunya.Wanita yang bernama Nadia itu hanya menganggukkan kepala sambil memeluk erat Rio, seolah takut kehilangan putranya. Bukan untuk pertama kalinya dia mendengar jika Satria ingin mengadopsi Rio. Apalagi setelah Nadia hamil anak ke tiga, Satria semakin dekat Rio.“Tidak apa-apa.” Nadia terlihat berat untuk berbicara di depan Handa. “Semoga kalian segera diberi momongan,” sambung Nadia dengan wajah yang sendu.“Amin, terima kasih atas doanya.” Handa hanya bisa mengaminkan doa baik yang terucap dari mulut Nadia, meskipun terdengar tidak tulus.Handa merasa, Nadia mengucapkannya sebagai bentuk rasa tidak sukanya dengan Satria yang terlalu dekat dengan putra sulungnya. Dan juga sikap Satria yang secara terang-terangan ingin mengadopsi Rio.“Kami pamit dulu, terima kasih atas undangannya
“Tidak!” jawab Satria dengan tegas. “Aku yakin kau akan memberi keturunan kepada keluarga Argawinata, jangan kau bunuh keyakinanku itu!” sambung Satria di akhiri dengan kecupan lembut di kening Handa.Satria memiliki alasan lain tidak ingin mengadopsi Arjuna Palguna Gunawan. Meskipun sudah tidak memiliki rasa cinta kepada Hanindya, tetapi tidak mudah bagi Satria untuk melupakan begitu saja kebersamaan mereka yang pernah terjalin dahulu.Mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Hanin membuat Satria merasa bersalah kepada Handa. Hubungannya dengan Hanin yang sudah melampaui batas kadang membuatnya merasa menjadi lelaki yang tidak layak untuk Handa, apalagi saat dia teringat dengan rencananya bersama Hanin untuk menghancurkan hidup Handa kala itu, benar-benar membuat Satria merasa menjadi lelaki yang jahat karena memiliki niat untuk menghancurkan hidup istrinya.“Ayo bangun! Mama dan papa pasti sudah menunggu kita untuk sarapan bersama mereka!” ajak Satria kepada istrinya. “Apa mau dige