"Tidak perlu, tidak perlu mengirim perawat ke sini. Saya sudah sehat, saya mengerti jika Handa memang harus merawat Nak Satria yang sedang sakit. Tidak apa, di sini masih ada mamanya Handa."Obrolan melalui ponsel antara Gunadi dengan Satria pun berakhir. Akhirnya Gunadi harus menelan kekecewaan karena tidak bisa berlama-lama dengan putri bungsunya itu. Sejak perjalanan pulang dari rumah sakit, Satria terus menerus menghubungi Handa dan Gunadi secara bergantian, meminta atau lebih tepatnya memaksa agar Handa segera kembali ke rumah sakit tempat Satria di rawat.Gunadi merasa tidak bisa melawan kehendak menantunya tersebut. Dia sadar, setelah Handa menikah, maka sang suami lebih berhak atas putrinya dari pada dirinya. Belum hilang rasa rindu itu, Gunadi sudah harus kembali berpisah dengan putri bungsunya. Ada rasa sesal yang menyelinap di hati Gunadi, saat dia mengingat telah menitipkan Handa pada Gunawan sejak kecil, hingga hampir tidak ada moment-moment indah yang mereka lalui bersam
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Satria diijinkan pulang meskipun belum sembuh sepenuhnya. Satria belum bisa beraktifitas seperti biasanya karena dia masih harus berada di atas kursi roda. Satria juga harus menjalani serangkaian fisioterapi agar dia bisa segera berjalan dengan normal kembali.Dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Argawinata, Handa dan Satria duduk di seat kedua sebuah mobil mewah berjenis MPV premium. Satria tahu saat ini Handa sedang gugup, karena hari ini akan menjadi hari pertama bagi Handa memasuki rumah keluarga Argawinata, Handa harus tinggal satu kamar dengan Satria, dan seatap dengan mertua, walaupun hanya sementara sebelum dia kembali lagi ke Semarang. Satria meraih tangan Handa, diusapnya dengan lembut punggung tangan tersebut berharap mampu memberikan ketenangan pada wanita yang telah dia nikahi.Pintu gerbang terbuka lebar, mobil yang membawa Handa dan Satria melaju dengan perlahan. Handa dibuat terperangah saat menyaksikan bangun
Handa sedang duduk di sofa yang berada di kamar yang dia tempati bersama Satria, sofa yang terletak di ujung ruangan dan berada di dekat jendela lebar itu langsung memperlihatkan kolam renang dan taman yang indah. Handa sedang sibuk dengan laptop yang berada di depannya, dilihatnya ada email yang masuk. Revisi skripsi yang dia kirim sudah mendapat balasan dari Pak Alim, sedangkan email yang dia kirim untuk Pak Bayu sepertinya belum juga dibaca. Informasi yang di dapat Handa, istri Pak Bayu sedang sakit, sehingga Pak Bayu hanya akan melakukan bimbingan skripsi pada jam kerjanya saja di kampus, selebihnya akan dia gunakan untuk merawat sang istri.Handa mendengus kasar, pandangannya memindai seisi ruangan, lalu beralih keluar jendela, tampak kolam renang yang menyatu dengan taman yang indah. Kekayaan dan kemewahan yang tak pernah dia bayangkan akan bisa dia nikmati dalam hidupnya, kini ada seorang lelaki yang bergelar suami mengatakan jika dirinya adalah salah satu pemilik dari kemewaha
Melihat kesehatan dua pria yang begitu berharga dalam hidupnya semakin membaik, membuat Handa berharap bisa kembali ke Semarang dengan senyuman. Tetapi semua itu hanya tinggal harapan kosong belaka, setelah Handa mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Marini yang terasa begitu menyakitkan bagaikan belati yang menancap dan mencabik-cabik hatinya.Duduk di seat belakang sebuah mobil mewah, ternyata tidak mampu membuat perjalanan Handa manjadi terasa lebih nyaman. Dengan pandangan nanar menatap keluar jendela, berkali-kali Handa harus menyeka air matanya. Sebuah kenyataan yang masih harus dia tanyakan lagi kebenarannya kepada Gunadi, papanya. Tetapi semua itu tentunya harus menunggu sampai kesehatan sang papa stabil. Menunggu, Handa harus menunggu, sesuatu yang akan membuat Handa dilingkupi oleh rasa penasaran dan merasakan hidup yang tidak tenang.Flashback"Ma, Handa tahu, mungkin saat ini Mama sedang sedih memikirkan Mbak Hanin, ditambah lagi Mama juga capek karena harus merawa
Wajah tampan itu terlihat kelam, tak seperti biasanya yang tetap tersunging senyuman walaupun dalam keadaan yang tak berdaya. Pandangan nanar keluar jendela beralih ke kaki yang masih dibalut dengan gibs, sebuah cangkang untuk membantu memulihkan tulang-tulangnya yang hampir hancur karena tertabrak mobil. Kaki yang selama ini menopang tubuh tegap nan gagah membuatnya tampil menawan dan membuat banyak wanita terpesona, kaki yang dulu mampu mengungkung wanita hingga mendesah saat berbagi kenikmatan. Tetapi kini kaki itu tak berdaya, untuk membantu pergerakannya, dia harus dibantu dengan kursi roda. Bahkan hingga satu bulan kebersamaan dengan sang istri, dia belum mampu memberikan nafkah yang akan membuat wanita yang telah halal baginya itu untuk mendesah.Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Satria, tampak Handa muncul dari balik pintu. Setelah meletakkan tas ranselnya Handa segera menghampiri Satria lalu duduk di sofa yang berada di dekat sang suami."Habis nangis?" tanya Satria saat
Tak ada yang menginginkan perpisahan ini, bahkan Handa sebagai pihak yang paling berkepentingan pun sebenarnya berat untuk meninggalkan Satria yang masih membutuhkan banyak bantuan untuk beraktifitas. Gibs yang masih melekat di kakinya membuat pergerakan Satria tidak leluasa seperti biasanya.Dari kaca yang melekat di pintu lemari pakaiannya, Satria melihat sang istri yang sedang berdiri melamun sambil memegang pakaian yang seharusnya dia gunakan untuk ganti. Dengan saksama Satria mengamati wajah sendu yang akan dia rindukan selama mereka menjalin hubungan jarak jauh. Jika ditanya tentu saja Satria tidak ingin berpisah dengan Handa, tetapi demi masa depan dan kebaikan mereka berdua, Satria rela berpisah dan menahan rindu.Satria hanya ingin fokus, saat ini Handa fokus dengan skripsinya agar segera diwisuda, dan dia fokus dengan proses penyembuhan kakinya agar bisa berjalan dengan normal kembali. Dalam pikiran Satria, meskipun saat ini mereka bersama, mereka berdua tetap belum bisa mem
"Papa tahu, papa salah," ujar Harris, yang berdiri di dekat jendela dengan tatapan mata menerawang jauh keluar. Tidak ada gunanya lagi bagi Harris mengelak dari kesalahannya di masa lalu yang kini seolah mengejar sebuah tanggung jawab yang masih enggan untuk dia tunaikan."Dia hanya ingin papa mengakuinya sebagai anak, itu saja." Satria kini sudah berada di ruang kerja, memeriksa berkas-berkas penting yang sudah menunggu dibubuhi tanda tangan."Maafkan papa, hingga membuatmu harus menanggung semua ini." Harris membalikkan tubuhnya dan memandang lekat pada Satria yang masih membutuhkan alat bantu jalan untuk melakukan aktifitasnya. Rasa bersalah itu bercokol di hatinya, tetapi ego membuat Harris tetap pada pendiriannya. "Tapi mengakuinya sebagai anak papa, adalah sesuatu yang sangat berat dan mungkin tidak bisa papa lakukan."Suasana menjadi hening, anak dan ayah itu saling bertukar pandang dan terdiam, tampaknya pemikiran mereka kini dalam posisi yang sedang berseberangan."Mama sebag
Di sebuah sudut kafe, seorang wanita muda nan cantik duduk dengan anggunnya, mengenakan mini dress berwarna mint dengan aksen ruffle yang cantik membuat penampilan Hanin semakin terlihat anggun. Polesan make up tebal dan lipstick dengan warna merah menyala sepertinya berhasil menutupi gurat-gurat kesedihan di wajahnya, hingga yang kini terlihat adalah kecantikan yang paripurna dari seorang Hanindya Maheswari Gunadi.Disesapnya perlahan vanilla cappuccino yang selama ini menjadi minuman favoritnya. Lagi-lagi dilihatnya jam tangan mewah pemberian Satria yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya Hanin sedang menunggu kedatangan seseorang. Berkali-kali pandangannya beralih pada pintu masuk, penuh harap sosok yang dia tunggu segera hadir di depannya.Dari kaca besar yang menjadi dinding kafe, pandangan Hanin memindai sebuah mobil mewah yang sedang parkir. Dahulu dia sering bepergian dengan mobil itu, duduk berdampingan sambil bercengkerama dengan sang pengemudi yang tak lain adal