Melihat kesehatan dua pria yang begitu berharga dalam hidupnya semakin membaik, membuat Handa berharap bisa kembali ke Semarang dengan senyuman. Tetapi semua itu hanya tinggal harapan kosong belaka, setelah Handa mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Marini yang terasa begitu menyakitkan bagaikan belati yang menancap dan mencabik-cabik hatinya.Duduk di seat belakang sebuah mobil mewah, ternyata tidak mampu membuat perjalanan Handa manjadi terasa lebih nyaman. Dengan pandangan nanar menatap keluar jendela, berkali-kali Handa harus menyeka air matanya. Sebuah kenyataan yang masih harus dia tanyakan lagi kebenarannya kepada Gunadi, papanya. Tetapi semua itu tentunya harus menunggu sampai kesehatan sang papa stabil. Menunggu, Handa harus menunggu, sesuatu yang akan membuat Handa dilingkupi oleh rasa penasaran dan merasakan hidup yang tidak tenang.Flashback"Ma, Handa tahu, mungkin saat ini Mama sedang sedih memikirkan Mbak Hanin, ditambah lagi Mama juga capek karena harus merawa
Wajah tampan itu terlihat kelam, tak seperti biasanya yang tetap tersunging senyuman walaupun dalam keadaan yang tak berdaya. Pandangan nanar keluar jendela beralih ke kaki yang masih dibalut dengan gibs, sebuah cangkang untuk membantu memulihkan tulang-tulangnya yang hampir hancur karena tertabrak mobil. Kaki yang selama ini menopang tubuh tegap nan gagah membuatnya tampil menawan dan membuat banyak wanita terpesona, kaki yang dulu mampu mengungkung wanita hingga mendesah saat berbagi kenikmatan. Tetapi kini kaki itu tak berdaya, untuk membantu pergerakannya, dia harus dibantu dengan kursi roda. Bahkan hingga satu bulan kebersamaan dengan sang istri, dia belum mampu memberikan nafkah yang akan membuat wanita yang telah halal baginya itu untuk mendesah.Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Satria, tampak Handa muncul dari balik pintu. Setelah meletakkan tas ranselnya Handa segera menghampiri Satria lalu duduk di sofa yang berada di dekat sang suami."Habis nangis?" tanya Satria saat
Tak ada yang menginginkan perpisahan ini, bahkan Handa sebagai pihak yang paling berkepentingan pun sebenarnya berat untuk meninggalkan Satria yang masih membutuhkan banyak bantuan untuk beraktifitas. Gibs yang masih melekat di kakinya membuat pergerakan Satria tidak leluasa seperti biasanya.Dari kaca yang melekat di pintu lemari pakaiannya, Satria melihat sang istri yang sedang berdiri melamun sambil memegang pakaian yang seharusnya dia gunakan untuk ganti. Dengan saksama Satria mengamati wajah sendu yang akan dia rindukan selama mereka menjalin hubungan jarak jauh. Jika ditanya tentu saja Satria tidak ingin berpisah dengan Handa, tetapi demi masa depan dan kebaikan mereka berdua, Satria rela berpisah dan menahan rindu.Satria hanya ingin fokus, saat ini Handa fokus dengan skripsinya agar segera diwisuda, dan dia fokus dengan proses penyembuhan kakinya agar bisa berjalan dengan normal kembali. Dalam pikiran Satria, meskipun saat ini mereka bersama, mereka berdua tetap belum bisa mem
"Papa tahu, papa salah," ujar Harris, yang berdiri di dekat jendela dengan tatapan mata menerawang jauh keluar. Tidak ada gunanya lagi bagi Harris mengelak dari kesalahannya di masa lalu yang kini seolah mengejar sebuah tanggung jawab yang masih enggan untuk dia tunaikan."Dia hanya ingin papa mengakuinya sebagai anak, itu saja." Satria kini sudah berada di ruang kerja, memeriksa berkas-berkas penting yang sudah menunggu dibubuhi tanda tangan."Maafkan papa, hingga membuatmu harus menanggung semua ini." Harris membalikkan tubuhnya dan memandang lekat pada Satria yang masih membutuhkan alat bantu jalan untuk melakukan aktifitasnya. Rasa bersalah itu bercokol di hatinya, tetapi ego membuat Harris tetap pada pendiriannya. "Tapi mengakuinya sebagai anak papa, adalah sesuatu yang sangat berat dan mungkin tidak bisa papa lakukan."Suasana menjadi hening, anak dan ayah itu saling bertukar pandang dan terdiam, tampaknya pemikiran mereka kini dalam posisi yang sedang berseberangan."Mama sebag
Di sebuah sudut kafe, seorang wanita muda nan cantik duduk dengan anggunnya, mengenakan mini dress berwarna mint dengan aksen ruffle yang cantik membuat penampilan Hanin semakin terlihat anggun. Polesan make up tebal dan lipstick dengan warna merah menyala sepertinya berhasil menutupi gurat-gurat kesedihan di wajahnya, hingga yang kini terlihat adalah kecantikan yang paripurna dari seorang Hanindya Maheswari Gunadi.Disesapnya perlahan vanilla cappuccino yang selama ini menjadi minuman favoritnya. Lagi-lagi dilihatnya jam tangan mewah pemberian Satria yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya Hanin sedang menunggu kedatangan seseorang. Berkali-kali pandangannya beralih pada pintu masuk, penuh harap sosok yang dia tunggu segera hadir di depannya.Dari kaca besar yang menjadi dinding kafe, pandangan Hanin memindai sebuah mobil mewah yang sedang parkir. Dahulu dia sering bepergian dengan mobil itu, duduk berdampingan sambil bercengkerama dengan sang pengemudi yang tak lain adal
Gemericik suara air yang keluar dari shower seakan mengiringi tangis pilu Hanin. Setelah mengulang pergulatan panas dengan Asta, kini yang tersisa tinggalah sebuah penyesalan. Sungguh Hanin tidak menduga jika akhirnya dia harus kembali terbuai rayuan mantan atasannya itu.Flashback :"Jangan terus kau pupuk kebencian di hatimu, Nin! Apalagi yang kau benci adalah keluargamu sendiri. Seburuk-buruknya papamu, dia adalah lelaki yang telah mengorbankan kesenangannya untuk mencari nafkah, untuk bisa memenuhi segala kebutuhanmu. Sedangkan Handa, dia tidak bersalah, dia tidak tahu apa-apa."Dharma dan Hanin duduk di lesehan di atas hamparan pasir putih, menikmati indahnya pemandangan di Pantai Ancol. Liburan sekolah tahun ini Dharma mengantar Handa ke Jakarta untuk melepas rindu dengan keluarganya. Dan kini mereka sedang menikmati liburan di Pantai Ancol."Mungkin karena Mas Dharma mempunyai keluarga yang sempurna, tidak seperti keluargaku.""Setiap orang, setiap keluarga pasti mempunyai coba
Dengan perlahan Handa meletakkan ponsel di samping laptopnya. Benda itu tak lagi bisa menghubungkan dirinya dengan Satria walaupun baru saja diisi ulang paket datanya. Terlihat jelas gurat kekecewaan dan kesedihan di wajah Handa, meskipun sejak awal Handa sudah menyiapkan diri jika akhirnya Satria akan meninggalkannya, tetapi tidak bisa Handa pungkiri jika sampai detik ini dirinya tetap tidak siap.Malam yang semakin larut membuat suasana hati Handa semakin tidak menentu. Sepinya malam menemani kesendirian Handa, rindu yang menggebu di hatinya seolah tak berbalas, saat Satria tak lagi bisa dia hubungi, mungkin saat ini suaminya sedang menghabiskan malam dengan yang lain. Dan yang paling menyakitkan bagi Handa, saat dia terbayang wajah cantik Hanin sedang berdua bersama suaminya.Handa mendengus kasar, sungguh dirinya tidak ingin berlarut-larut menghabiskan waktu dan energi dengan membayangkan suaminya sedang bersama wanita lain, karena halite hanya akan menambah rasa sesak di dada. In
"Han! Handa!" Handa terjingkat kaget saat dia mendengar suara Bu Najwa yang cukup keras memanggil namanya.Panggilan Bu Najwa akhirnya berhasil menyadarkan Handa dari lamunannya. Beberapa kali Handa menarik nafas panjang untuk mengembalikan kesadarannya. Dipandanginya sang suami yang kini berdiri tepat di samping Pak Alim. Beruntung semua hanyalah lamunan belaka, bagaiman seandainya Handa benar-benar mencium Satria di depan banyak orang, terutama tepat di depan mata Pak Alim dan Bu Najwa, tentu saja Handa akan merasa sangat malu dan mungkin akan memilih untuk tidak pernah datang ke kampus lagi.Ternyata panggilan Bu Najwa bukan hanya menyadarkan Handa dari lamunannya, tetapi juga berhasil mengalihkan perhatian Satria dan Pak Alim yang telah melangkah menuju ruang yayasan. Satria dan Pak Alim menghentikan langkah mereka. Dua pria itu akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Handa yang sedari tadi masih bergeming di depan ruang yang biasa Pak Alim tempati.Pak Alim merasa bersalah, karena