Dengan terpaksa Satria menurunkan Handa yang memberontak dari gendongannya. Pemandangan yang tak pernah Satria duga, akan menyambut kedatangan istrinya saat pertama kalinya memasuki apartemen yang dia miliki. "Sepertinya habis ada pesta, Mas?" tanya Handa dengan nada menyindir. Senyum yang terukir di bibir kini ditemani oleh lelehan air mata yang hadir dengan lancangnya. "Ini tidak seperti yang pikirkan, Han." Satria menyugar rambutnya dengan kasar, dia tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan penjelasan pada Handa. "Han!" panggil Satria, saat wanita yang bergelar istri baginya itu dengan kasar berusaha melepaskan tangan dari genggamananya. Handa melangkah menuju ke ranjang berukuran king size dengan sprei yang berantakan, dipungutnya lingerie dan pakaian dalam berwarna hitam yang berserakan. Handa mengangkat pakaian dengan minim bahan tersebut untuk ditunjukkan pada Satria sambil tersenyum kecut. Satria menggelengkan kepalanya, dalam hati dia mengumpat pada dirinya sen
Handa hampir terjatuh saat dia menerima tamparan keras dari Lisa. Selayaknya karma yang dibayar dengan lunas setelah sebelumnya dia menampar Satria, kini dia harus menerima balasan dari wanita yang telah melahirkan suaminya tersebut. Ada benarnya juga kata-kata jika pembalasan itu lebih menyakitkan, buktinya Handa sampai menitikkan air mata gara-gara telapak tangan Lisa yang mendarat sempurna di pipinya, Handa merasakan panas di pipi seperti terbakar, dan giginya seperti rontok semua."Apa yang kau lakukan pada putraku?" bentak Lisa tak menghiraukan Handa yang sedang meringis kesakitan. "Kau tahu? Satria adalah putraku satu-satunya, hanya dia yang kumiliki. Dan karenamu, kini dia berjuang antara hidup dan mati," tuduh Lisa dibarengi dengan lelehan air mata yang tak terbendung.Kesedihan dan amarah yang menjadi satu karena melihat keadaan putra semata wayangnya yang sangat memprihatinkan sempat membuat Lisa tantrum hingga sempat tak sadarkan diri. Dan saat dia sudah siuman, Handa menja
"Maaf Pa, Handa tidak bisa menemani Papa," ucap Handa sambil menyeka air matanya. "Nanti kalau Mas Satria sudah mendingan, Handa ke tempat Papa." Handa berusaha berbicara setenang mungkin, karena tidak ingin membuat Gunadi yang sudah mulai membaik kesehatannya menjadi khawatir. Satria dan Gunadi dirawat di dua rumah sakit yang berbeda, Satria dirawat di sebuah rumah sakit elit dengan fasilitas terbaik, sedangkan Gunadi dirawat di rumah sakit umum daerah dengan fasilitas gratis menggunakan BPJS karena dia seorang PNS. Sejujurnya Handa ingin menemani dan merawat Gunadi, papanya, tetapi karena rasa bersalah membuat Handa tetap menunggu kabar perkembangan kesehatan Satria yang masih belum sadarkan diri, meskipun keberadaannya tidak diinginkan oleh Lisa dan membuatnya harus menunggu di depan ruang perawatan suaminya. Setelah mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan sang papa, Handa membalikkan tubuhnya dan melihat Asta yang sudah berdiri di depannya dengan membawa paper bag bergambar
Harris memasuki sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumah sakit, lelaki paruh baya itu tak butuh waktu yang lama untuk menemukan sosok yang dia cari. Di pojokan kafe Selo Ardi duduk sendiri sambil sesekali menyesap kopi yang tampak masih mengebulkan uap panasnya.Selo Ardi segera berdiri saat melihat kedatangan Harris, dan baru kembali duduk setelah Harris menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi yang terletak di depannya. Dan kini mereka berdua duduk saling berhadapan."Ini hasil penyelidikan saya." Selo Ardi menyodorkan sebuah amplop besar kepada Harris. "Untuk bukti rekaman saya simpan di flashdisk, tapi Pak Harris bisa melihat foto-foto yang tercetak untuk mengenali pelaku yang menabrak Mas Satria."Harris segera mengambil amplop yang disodorkan oleh Selo Ardi. Tak ingin membuang-buang waktu, Harris segera membuka amplop tersebut untuk mengetahui orang yang sudah mencelakai Putranya. Foto sosok yang sangat dia kenal terpampang jelas di depan matanya. Ada rasa kecewa dan marah saa
"Kamu siapa, Han?"Dalam hati Handa mengulang kembali pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Satria. Terasa ada yang janggal dari pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya Handa memandang dengan lekat mata lelaki yang telah menikahinya, berharap akan menemukan jawaban di sana. Seperti yang Handa harapkan, seolah menemukan titik terang saat Satria memalingkan muka sambil memejamkan matanya."Malaikat izrail tak pernah salah dalam menjalankan tugasnya, Mas. Meski manusia itu lupa ingatan atau mengubah identitasnya. Mungkin Handa bisa membantu Malaikat Izrail menjalankan tugasnya dengan mencabut salah satu selang yang ....""Han!" potong Satria saat tiba-tiba dia merasakan sesak saat bernafas. Bukan hanya takut dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Handa, tetapi karena jaraknya dengan sang istri yang sangat dekat, saat dia akan mengambil sesuatu yang berada di atas brankar Satria. Tubuh bagian atas yang sangat sensitive milik Handa berada tepat di depan wajah Satria."Han apa yang
Handa melipat mukenanya, lalu dia masukkan kembali ke dalam tas ranselnya. Semua yang dilakukan oleh Handa tak luput dari perhatian Satria. Pewaris tunggal Arga Group itu terbaring di atas brankar, dan pura-pura masih tidur agar bisa dengan leluasa memperhatikan sang istri. Hari yang masih pagi, bahkan matahari pun belum terbit seakan mendukung sandiwara Satria.Handa mendekati brankar dan merapikan selimut yang digunakan oleh suaminya itu. Satria segera meraih tangan Handa saat istrinya hendak menjauh. Handa menatap wajah suaminya, meskipun baru bangun tidur dan masih terlihat ada beberapa luka lecet tetapi gurat ketampanan seakan tak pudar, justru wajah Satria terlihat lebih manly dan macho. Handa menghentikan langkahnya dan mempersembahkan senyum terindahnya sebagai ganti ucapan selamat pagi untuk lelaki yang kini telah bergelar suami baginya."Mas Satria membutuhkan sesuatu?" tanya Handa."Aku butuh kamu di sisiku," ucap Satria sambil menarik kedua tangan Handa, hingga dengan terp
"Tidak perlu, tidak perlu mengirim perawat ke sini. Saya sudah sehat, saya mengerti jika Handa memang harus merawat Nak Satria yang sedang sakit. Tidak apa, di sini masih ada mamanya Handa."Obrolan melalui ponsel antara Gunadi dengan Satria pun berakhir. Akhirnya Gunadi harus menelan kekecewaan karena tidak bisa berlama-lama dengan putri bungsunya itu. Sejak perjalanan pulang dari rumah sakit, Satria terus menerus menghubungi Handa dan Gunadi secara bergantian, meminta atau lebih tepatnya memaksa agar Handa segera kembali ke rumah sakit tempat Satria di rawat.Gunadi merasa tidak bisa melawan kehendak menantunya tersebut. Dia sadar, setelah Handa menikah, maka sang suami lebih berhak atas putrinya dari pada dirinya. Belum hilang rasa rindu itu, Gunadi sudah harus kembali berpisah dengan putri bungsunya. Ada rasa sesal yang menyelinap di hati Gunadi, saat dia mengingat telah menitipkan Handa pada Gunawan sejak kecil, hingga hampir tidak ada moment-moment indah yang mereka lalui bersam
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Satria diijinkan pulang meskipun belum sembuh sepenuhnya. Satria belum bisa beraktifitas seperti biasanya karena dia masih harus berada di atas kursi roda. Satria juga harus menjalani serangkaian fisioterapi agar dia bisa segera berjalan dengan normal kembali.Dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Argawinata, Handa dan Satria duduk di seat kedua sebuah mobil mewah berjenis MPV premium. Satria tahu saat ini Handa sedang gugup, karena hari ini akan menjadi hari pertama bagi Handa memasuki rumah keluarga Argawinata, Handa harus tinggal satu kamar dengan Satria, dan seatap dengan mertua, walaupun hanya sementara sebelum dia kembali lagi ke Semarang. Satria meraih tangan Handa, diusapnya dengan lembut punggung tangan tersebut berharap mampu memberikan ketenangan pada wanita yang telah dia nikahi.Pintu gerbang terbuka lebar, mobil yang membawa Handa dan Satria melaju dengan perlahan. Handa dibuat terperangah saat menyaksikan bangun
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
“Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora
“Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad
“Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i
“Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng
“Saat ini kami sedang butuh modal, jadi saya akan menjual rumah itu,” ucap Hanin di hadapan kedua orang tuanya.Setelah menikah dengan Dharma Hanin menetap di Semarang, dan hanya sesekali mendatangi kedua orang tuanya di Jakarta. Bahkan jika Marini merasakan rindu yang sangat pada cucunya, dia dan Gunadi yang berkunjung ke Semarang.“Kenapa tidak pinjam bank saja, kan bisa dicicil?” tanya Marini yang merasa sayang untuk menjual rumah milik Hanindya.Sedangkan Gunadi baru mengetahui jika selama ini putrinya memiliki rumah di pinggiran kota Jakarta. Padahal rumah itu sudah lama dimiliki oleh putri sulungnya, bahkan sejak mereka masih tinggal bersama. Ingin rasanya bertanya kepada Hanin, tetapi tampaknya Gunadi lebih memilik untuk menunggu kejujuran dari putri sulungnya tersebut.“Sebenarnya Mas Dharma juga berpikiran seperti itu, tetapi kebutuhan kami sudah terlalu banyak. Anak-anak sudah sekolah semua, kalau kami mengajukan pinjaman lagi, takutnya justru membuat kami tidak bisa fokus d
“Mbak Dia!” panggil Handa kepada wanita yang sudah hampir memasuki mobilnya. “Maafkan, Mas Satria! Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya,” sambung Handa berusaha untuk menenangkan hati salah satu tamunya.Wanita yang bernama Nadia itu hanya menganggukkan kepala sambil memeluk erat Rio, seolah takut kehilangan putranya. Bukan untuk pertama kalinya dia mendengar jika Satria ingin mengadopsi Rio. Apalagi setelah Nadia hamil anak ke tiga, Satria semakin dekat Rio.“Tidak apa-apa.” Nadia terlihat berat untuk berbicara di depan Handa. “Semoga kalian segera diberi momongan,” sambung Nadia dengan wajah yang sendu.“Amin, terima kasih atas doanya.” Handa hanya bisa mengaminkan doa baik yang terucap dari mulut Nadia, meskipun terdengar tidak tulus.Handa merasa, Nadia mengucapkannya sebagai bentuk rasa tidak sukanya dengan Satria yang terlalu dekat dengan putra sulungnya. Dan juga sikap Satria yang secara terang-terangan ingin mengadopsi Rio.“Kami pamit dulu, terima kasih atas undangannya
“Tidak!” jawab Satria dengan tegas. “Aku yakin kau akan memberi keturunan kepada keluarga Argawinata, jangan kau bunuh keyakinanku itu!” sambung Satria di akhiri dengan kecupan lembut di kening Handa.Satria memiliki alasan lain tidak ingin mengadopsi Arjuna Palguna Gunawan. Meskipun sudah tidak memiliki rasa cinta kepada Hanindya, tetapi tidak mudah bagi Satria untuk melupakan begitu saja kebersamaan mereka yang pernah terjalin dahulu.Mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Hanin membuat Satria merasa bersalah kepada Handa. Hubungannya dengan Hanin yang sudah melampaui batas kadang membuatnya merasa menjadi lelaki yang tidak layak untuk Handa, apalagi saat dia teringat dengan rencananya bersama Hanin untuk menghancurkan hidup Handa kala itu, benar-benar membuat Satria merasa menjadi lelaki yang jahat karena memiliki niat untuk menghancurkan hidup istrinya.“Ayo bangun! Mama dan papa pasti sudah menunggu kita untuk sarapan bersama mereka!” ajak Satria kepada istrinya. “Apa mau dige