“Ibumu memang sudah pergi, tapi jangan pernah berpikir sekali pun, untuk menyudahi pernikahan kita, oke? Ingat, kamu sudah menandatangani perjanjian denganku!” Tama berkata dengan lembut, setelah itu mencium kening Riti.Meskipun, ia ingin berbuat banyak pada tubuh gadis itu, tapi ia menahannya karena tidak mungkin melakukan kesenangan pada orang yang tengah berduka.Tama kembali bergulir ke samping Riti, sambil menghela nafas dalam-dalam.“Istirahatlah! Kamu pasti lelah!” katanya.“Kamu juga!” kata Riti sambil berbalik membelakangi Tama. Riti sadar tidak bisa menghindar darinya karena belum hamil. Lagi pula Tama memang suaminya yang sah dan juga menyayanginya. Kalau soal cinta, perasaan itu masih samar-samar di hatinya, terkadang hilang terkadang juga datang. Terkadang hanya sebatas kekaguman saja, bahkan, sering hadir rasa terpaksa.Tidak terasa air matanya kembali mengalir tanpa sepengetahuan Tama, membuat bantalnya basah. Ia merasa kehilangan pegangannya.Riti tidak bis
“Nona Riti, perempuan di foto itu mirip denganmu!” kata Sima.Riti menoleh dan tersenyum pada Sima yang berdiri di depannya, sambil menyodorkan camilan. Secangkir teh hangat juga ia hidangkan, di atas meja. Sima mencoba meningkatkan nafsu makan majikannya, yang menurun akhir-akhir ini. Sepertinya hari-hari berjalan begitu sendu bagi Riti.Sima mengetahui kabar kepergian Tina dari Tama dan ia diminta untuk menghibur istrinya. Memberi makanan yang membuatnya tetap sehat, meski, hanya makan sedikit saja.“Ayo! Makan camilan ini, kamu harus tetap sehat! Aku tahu kamu sedang sedih, tapi jangan menyiksa dirimu sendiri!” kata Sima sambil duduk di samping Riti.“Nona tahu, apa isyarat terbesar dari kehilangan orang yang kita cintai?”Riti menggelengkan kepalanya.“Kita harus hidup lebih baik dari sebelumnya ... kalau semua yang sudah pergi bisa bicara, maka mereka akan menceritakan apa yang terjadi setelah kematiannya ... mereka akan berpesan seperti itu, agar kelak kita tidak menyesa
“Kalian berjanji bertemu di tempat seperti ini?” Tama bertanya dengan heran. “Ya, aku yang memilih tempat ini!” sahut Riti. “Kalau begitu aku ikut!” “Tidak!” Riti menolak dengan tegas, sambil memegangi dada Tama agar tidak ikut bersamanya dan tetap di mobil. Tama melihat wajah Riti dengan penuh selidik dan tidak rela kalau gadis itu pergi ke sana sendirian. Tentu saja ia khawatir padanya. Riti berjalan dengan cepat ke arah gedung, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan Tama tidak mengikutinya. “Jangan kuatir aku baik-baik saja! Tetaplah di situ oke?” katanya. Tama diam sambil bersandar di badan mobil serta melipat kedua tangannya di depan dada. Riti tidak melihat siapa pun di dalam, tapi ia merasakan sebuah suara halus dari samping kanannya. Seketika ia menoleh dan membaca gerakan Dion di sampingnya, dengan kaki yang siap menendang. “Hap!” Riti dengan gesit menghindar. Di saat yang bersamaan, tinju Dion pun melayang ke Rti bergerak. “Dion!” kata Riti sambil menangk
"Ingat itu, Riti!"Ucapan Dion membuat Riti tertegun sambil berpikir kalau Tama tidak tahu latar belakang keluarganya. Sementara Dion juga tidak tahu kalau Tama tidak diakui di keluarga Brawijaya. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu khawatir akan hal itu. “Jadi, dia memang benar anak dari keluarga itu?” tanya Riti mencoba meyakinkan diri. “Ya! Makanya kamu harus hati-hati!” “Bagaimana kalau aku menyukainya dan akan menikah dengan Tama?” Dion diam sejenak sambil menggeretakkan gigi. “Terserah! Aku sudah mengingatkanmu, Riti! Kalau terjadi apa-apa, aku tidak peduli! Anggap ini adalah pertemuan terakhir kita!” katanya, sambil mengibaskan tangan dan berlalu meninggalkan Riti. Dion pergi lewat pintu samping gedung, dengan mengendarai motor besarnya. Sementara Riti kembali ke hadapan Tama dengan segudang pikiran dan prasangka dalam benaknya. Namun, perasaan di hatinya lebih kuat dari pada, ketakutannya akan masa depan dirinya sendiri. “Apa aku jatuh cinta pada Tama?” pikirnya. “Sud
Di saat yang sama Tama mendapatkan pesan dari Jasin, yang menginformasikan keberhasilannya, dalam penyelidikan selama beberapa hari. Mereka harus membicarakan tentang orang, yang dicurigai terlibat dalam kecelakaan Hadi.Tama mengajak Riti turun dan mengizinkan Riti untuk tetap tinggal di kamarnya.“Hanya kamu yang tahu rahasia tentang kamar ini, Sima juga tidak tahu!” Riti hanya mengangguk, ia mengerti arti ucapan Tama yang mengisyaratkan bahwa, dirinya harus menjaga rahasia, setelah diberi kepercayaan sebesar itu olehnya.“Aku pergi sebentar mungkin nanti malam baru pulang, jangan menungguku!”Tama pergi setelah meletakkan beberapa makanan di kamar dan menutup pintunya.Sebenarnya Tama tidak pergi, ia hanya pindah ke kamar kerjanya. Di sana Jasin sudah menunggu untuk memberikan beberapa file rekaman dari beberapa hari sebelum kejadian itu.Tama duduk dan melihat semua rekaman yang berhasil digabungkan oleh Jasin dalam satu file. Ia bisa menyimpulkan sendiri tentang, apa yang
“Oh! Jadi, sekarang kamu baik-baik saja?” tanya Kia.“Tentu, aku baik, sekarang bisa merelakan kepergian ibuku ... dia memang sudah sakit sejak lama, aku tahu hal ini akan terjadi tetapi, ya, tetap sedih juga!”“Aku tahu bagaimana perasaanmu ... kehilangan orang tua itu tidak mudah untuk dilewati kesedihannya, kamu yang sabar ya!” kata Salu.“Terima kasih, teman-teman! Sudahlah, aku tidak apa, yang penting sekarang kita bekerja!” Riti berkata seraya memaklumi dirinya sendiri.Kesedihan bagi seseorang, belum tentu menjadi kesedihan bagi orang lainnya. Empati terdalam tidak dimiliki oleh setiap orang. Biasanya hanya dimiliki oleh mereka yang sudah pernah merasakan penderitaan yang sama.Semua pekerjaan Riti berjalan lancar seperti biasanya, tapi masalah muncul ketika ia hendak pulang. Seorang wanita memintanya masuk ke mobilnya, saat ia menunggu Jasin yang tidak juga datang menjemputnya. “Kamu Riti, kan? Ayo ikut aku!” “Ya! Siapa kamu?” tanya Riti, pada seorang wanita yang berd
Namun, Riti tidak menggubris ucapan Listi dan pergi ke halaman Haruna lagi.Di mobil, Listi terus mengumpat.“Kurang ajar sekali dia!” katanya, pada teman yang duduk di depannya.“Aku tidak akan bisa tenang kalau punya saudara ipar seperti dia!”“Ya, aku juga begitu untuk saja kami tidak dekat!”“Lalu apa ya kan kamu lakukan sekarang, dia tidak mau mengakuinya!”Listi menggelengkan kepala, dan pindah posisi duduknya ke depan. Awalnya ia hanya ingin membuktikan tentang, apa yang dia dengar bahwa, gadis itu menikah dengan Tama karena terpaksa. Lalu, setelah Riti mengaku, maka ia akan membuat gadis itu pergi dengan suka rela.Namun setelah berbicara dengannya hari ini, Listi melihat jika Riti tidak selemah yang ia kira. Bisa jadi apa yang dia katakan kepada ayahnya adalah kebohongan belaka.Seandainya Riti hamil, maka itu akan menjadi ancaman bagi ibunya yang memiliki saham 20 persen, pada tanah yang akan diwariskan kepada Tama.Beberapa hari setelah kejadian itu, Riti mendapatk
“Oke! Kabari aku kalau kamu sudah pulang!”Keesokan harinya di kantor, Riti kembali bertemu dengan Tina dan seperti biasa, ia mengingatkan tentang Tama.Rina melakukan ancaman itu sesuai perintah Listi, temannya yang sudah memberikan banyak barang bagus padanya. Ia diberi informasi yang salah oleh Listi hingga mau saja mengikuti keinginannya.“Kamu berani juga, ya, tetap bertahan di sini? Dasar tidak tahu malu!” kata Rina.“Menurutmu, aku harus pergi ke mana?” tanya Riti sambil melipat kedua tangannya di depan dada.“Kamu tidak takut mati, kalau nanti kamu hamil dan mereka akan membunuh bayimu!”“Aku akan melindunginya!” kata Riti sambil berbalik badan, dan saat itu Rina menarik tangannya dengan kuat.Riti secara reflex memegang tangan Rina yang mencengkeram tangannya, dalam sekali gerakan. Hal itu membuat Rina tercengang.“Apa yang kamu yang mencoba membunuhku?” kata Riti sambil melancarkan satu totok tubuh, ke tulang pundak Rina sebelah kiri.“Kalau kamu yang diutus keluarg