“Bu Tina!” seru Nela, wanita yang semula tertidur di kursi itu, sudah terbangun karena mendengar suara tangisan. Selain itu ia juga mendengar suara radiogram yang berbunyi mencurigakan. Tanpa melihat ke dalam, ia langsung memanggil dokter dan saat itu pula, Delizah ke luar ruangan, untuk kembali ke kamarnya. Hatinya berdebar kencang, ia melihat Tina yang dalam keadaan sekarat, tubuhnya lemas dan nafasnya terdengar sangat berat di tenggorokan. Delizah merasa sangat terpukul dan kehilangan, sedih karena nasib yang mempertemukan mereka dalam keadaan demikian. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa ia lakukan adalah melindungi anak dari sepupunya itu. Ia akan menyayanginya sepenuh hati dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Sekarang ia tahu, dari mana Riti mendapatkan keahlian bela dirinya itu. Kemungkinan, tahnik dasar dan jurus yang dimilikinya tidak berbeda jauh dengan Tama. Di dalam kamar, Delizah menangis sendirian. Saat berinisiatif mengunjungi kamar Tina, disebabkan
“Ibu, kenapa kamu pergi secepat itu?” gumam Riti beberapa kali. Matanya sudah bengkak karena terlalu banyak menangis.Ia terus sesenggukan selama perjalanan mengantarkan jenazah ke kota asalnya. Walaupun, Tama sudah menenangkan berulang kali tapi Riti tetap saja menangis. Nela juga sama, ia bersedih justru karena melihat Riti yang tampak begitu kehilangan ibunya—sosok penyemangat jiwa. Ia ikut di mobil Tama, dan duduk di samping Jasin yang memegang kemudi. Mereka berada di belakang mobil khusus jenazah, yang terus-menerus membunyikan sirene, demi mempercepat perjalanan.Saat itu telepon genggam Riti tiba-tiba berdering, saat itu pula ia menghentikan tangis ya untuk menerima panggilan.Ternyata, Yuna yang menelepon. Sejak semalaman gadis itu tidak juga membalas pesan dari adiknya. Namun, saat ini ia langsung menghubungi padahal, hari sudah hampir sore.“Apa maksud kamu ibu sekarang masih kritis, apa yang kamu lakukan padanya? Apa kamu tidak mengurus Ibu dengan baik selama ini?” Y
Yuna ada di sana dan melihat semua adegan itu dengan perasaan yang tidak menentu. “Hei, memangnya iya, harus bersedih itu, hanya karena kehilangan ibu?” katanya, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Hilang sudah rasa sedih dan simpati Yuna pada Riti atas kematian ibunya. Setelah melihat kehangatan sikap Tama, yang ada di hatinya, hanyalah rasa iri dan benci, karena Riti mendapatkan keuntungan yang tidak ia miliki. Riti tidak menanggapi ucapan kakaknya itu, mereka memang sedarah tapi sekarang ikatan saudara itu benar-benar sudah terputus. Yuna sama sekali tidak peduli dan Riti kecewa karena hal ini. Apakah pantas seorang anak yang pernah di sayang dan di besarkan oleh seorang ibu, tapi begitu culas saat sang ibu pergi? Oh, dunia seperti tidak adil bagi orang seperti Riti yang diabaikan saudaranya sendiri. Riti hanya berlutut dan mengusap nisan ibunya dengan lembut. “Apa kamu masih mau di sini semua orang sudah pergi ...!” Tama berkata sambil mengikutinya duduk berlutut.
“Riti, ada hubungan apa kamu dengan laki-laki yang ada di sampingmu itu? Aku melihat kalian bersama di pemakaman!” begitu tulis Dion. “Riti, jawab aku! Kalau kamu tahu siapa sebenarnya laki-laki itu, maka kamu tidak akan mendekatinya sebab dia sangat berbahaya!” tulis Dion lagi. “Riti segera menjauh dari laki-laki itu! Atau kamu akan mendapatkan masalah dengan keluarga besar kita!” “Kalau kamu memilih tetap berada di sisinya, siapa pun dia bagimu, itu artinya kamu sudah memilih bermusuhan denganku!” Namun, karena semua pesannya tidak juga mendapat respons dari sepupunya, maka Dion memilih mengabaikannya. Lagi-lagi itu pergi ke sisi makan tina dan berjongkok di sana, sambil memegang nisannya. “Tante, apa Tante tahu sekarang Riti punya teman atau kekasih dari salah satu anggota keluarga Brawijaya? Sepertinya tidak, karena kalau tahu, mungkin anak Tante tidak sedang bersama dengan orang itu!” kata Dion sambil meletakkan rangkaian bunga. “Aku tahu, Riti sangat menurut dan sayang sam
“Ibumu memang sudah pergi, tapi jangan pernah berpikir sekali pun, untuk menyudahi pernikahan kita, oke? Ingat, kamu sudah menandatangani perjanjian denganku!” Tama berkata dengan lembut, setelah itu mencium kening Riti.Meskipun, ia ingin berbuat banyak pada tubuh gadis itu, tapi ia menahannya karena tidak mungkin melakukan kesenangan pada orang yang tengah berduka.Tama kembali bergulir ke samping Riti, sambil menghela nafas dalam-dalam.“Istirahatlah! Kamu pasti lelah!” katanya.“Kamu juga!” kata Riti sambil berbalik membelakangi Tama. Riti sadar tidak bisa menghindar darinya karena belum hamil. Lagi pula Tama memang suaminya yang sah dan juga menyayanginya. Kalau soal cinta, perasaan itu masih samar-samar di hatinya, terkadang hilang terkadang juga datang. Terkadang hanya sebatas kekaguman saja, bahkan, sering hadir rasa terpaksa.Tidak terasa air matanya kembali mengalir tanpa sepengetahuan Tama, membuat bantalnya basah. Ia merasa kehilangan pegangannya.Riti tidak bis
“Nona Riti, perempuan di foto itu mirip denganmu!” kata Sima.Riti menoleh dan tersenyum pada Sima yang berdiri di depannya, sambil menyodorkan camilan. Secangkir teh hangat juga ia hidangkan, di atas meja. Sima mencoba meningkatkan nafsu makan majikannya, yang menurun akhir-akhir ini. Sepertinya hari-hari berjalan begitu sendu bagi Riti.Sima mengetahui kabar kepergian Tina dari Tama dan ia diminta untuk menghibur istrinya. Memberi makanan yang membuatnya tetap sehat, meski, hanya makan sedikit saja.“Ayo! Makan camilan ini, kamu harus tetap sehat! Aku tahu kamu sedang sedih, tapi jangan menyiksa dirimu sendiri!” kata Sima sambil duduk di samping Riti.“Nona tahu, apa isyarat terbesar dari kehilangan orang yang kita cintai?”Riti menggelengkan kepalanya.“Kita harus hidup lebih baik dari sebelumnya ... kalau semua yang sudah pergi bisa bicara, maka mereka akan menceritakan apa yang terjadi setelah kematiannya ... mereka akan berpesan seperti itu, agar kelak kita tidak menyesa
“Kalian berjanji bertemu di tempat seperti ini?” Tama bertanya dengan heran. “Ya, aku yang memilih tempat ini!” sahut Riti. “Kalau begitu aku ikut!” “Tidak!” Riti menolak dengan tegas, sambil memegangi dada Tama agar tidak ikut bersamanya dan tetap di mobil. Tama melihat wajah Riti dengan penuh selidik dan tidak rela kalau gadis itu pergi ke sana sendirian. Tentu saja ia khawatir padanya. Riti berjalan dengan cepat ke arah gedung, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan Tama tidak mengikutinya. “Jangan kuatir aku baik-baik saja! Tetaplah di situ oke?” katanya. Tama diam sambil bersandar di badan mobil serta melipat kedua tangannya di depan dada. Riti tidak melihat siapa pun di dalam, tapi ia merasakan sebuah suara halus dari samping kanannya. Seketika ia menoleh dan membaca gerakan Dion di sampingnya, dengan kaki yang siap menendang. “Hap!” Riti dengan gesit menghindar. Di saat yang bersamaan, tinju Dion pun melayang ke Rti bergerak. “Dion!” kata Riti sambil menangk
"Ingat itu, Riti!"Ucapan Dion membuat Riti tertegun sambil berpikir kalau Tama tidak tahu latar belakang keluarganya. Sementara Dion juga tidak tahu kalau Tama tidak diakui di keluarga Brawijaya. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu khawatir akan hal itu. “Jadi, dia memang benar anak dari keluarga itu?” tanya Riti mencoba meyakinkan diri. “Ya! Makanya kamu harus hati-hati!” “Bagaimana kalau aku menyukainya dan akan menikah dengan Tama?” Dion diam sejenak sambil menggeretakkan gigi. “Terserah! Aku sudah mengingatkanmu, Riti! Kalau terjadi apa-apa, aku tidak peduli! Anggap ini adalah pertemuan terakhir kita!” katanya, sambil mengibaskan tangan dan berlalu meninggalkan Riti. Dion pergi lewat pintu samping gedung, dengan mengendarai motor besarnya. Sementara Riti kembali ke hadapan Tama dengan segudang pikiran dan prasangka dalam benaknya. Namun, perasaan di hatinya lebih kuat dari pada, ketakutannya akan masa depan dirinya sendiri. “Apa aku jatuh cinta pada Tama?” pikirnya. “Sud