Sekarang mereka sudah berada di depan ruang ICU. Tina sudah dipindahkan ke sana, di mana tidak ada orang yang boleh masuk kecuali, hanya yang berkepentingan saja.Selama menunggu Riti mengirim kabar kepada Yuna dan juga Dion, melalui pesan. Gadis itu merasa perlu untuk mengabarkannya, karena mengetahui keadaan Tina adalah hak dari saudaranya juga.Sementara hari sudah menjelang sore, baik Yuna maupun Dion tidak ada yang membaca pesannya, dikarenakan kesibukan mereka. “Tama, aku mengabarkan keadaan ibu kepada dua saudaraku, seandainya mereka ke sini, apa kamu mengizinkannya?” Riti bertanya pada Tama, sebelum mengirimkan alamat di mana rumah sakit itu berada.Walaupun, Tama tidak mengatakan secara langsung jika rumah sakit itu adalah miliknya, tapi Riti tidak bodoh. Ia bisa menyimpulkan sendiri—dari apa yang dilihatnya pada kamar Delizah dan juga ruangan ibunya—yang menunjukkan dengan jelas siapa pemiliknya.Oleh karena itu ia perlu meminta izin terlebih dahulu. Siapa tahu tempat
“ Apa mereka membalas pesanmu?” Tama bertanya karena melihat gelagat istrinya.“Tidak!”“Biarkan saja kalau begitu, apa pun yang terjadi pada Ibumu itulah yang terbaik untuk kita dan juga mereka!”Riti diam saja, ia beranjak tidur ke brankar yang kemarin di tempati oleh Tina. Ia seolah ingin merasakan tidur bersama dengan ibunya. Sementara itu, tanpa diketahui oleh anak dan menantunya, Delizah mengunjungi tempat di mana Tina berada. Ia melihat ruang ICU itu kosong, hanya ada Nela yang tertidur di kursi ruang tunggu sendirian saja. Tanpa menunggu izin dari siapa pun, wanita itu masuk dan membangunkannya.Delizah melihat Tina dan selembar foto yang ada di tangannya, secara bergantian. Tina memejamkan matanya seperti orang yang sudah tak bernyawa.“Tina Wasta Prapanca! Kamu, kah, itu? Ayo bangun dan kita harus bicara!” katanya.Mendengar ada sebuah suara, Tina pun bangun, karena sakit itu membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Begitu melihat Delizah di sisi-nya seketika ia membeli
“Bu Tina!” seru Nela, wanita yang semula tertidur di kursi itu, sudah terbangun karena mendengar suara tangisan. Selain itu ia juga mendengar suara radiogram yang berbunyi mencurigakan. Tanpa melihat ke dalam, ia langsung memanggil dokter dan saat itu pula, Delizah ke luar ruangan, untuk kembali ke kamarnya. Hatinya berdebar kencang, ia melihat Tina yang dalam keadaan sekarat, tubuhnya lemas dan nafasnya terdengar sangat berat di tenggorokan. Delizah merasa sangat terpukul dan kehilangan, sedih karena nasib yang mempertemukan mereka dalam keadaan demikian. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa ia lakukan adalah melindungi anak dari sepupunya itu. Ia akan menyayanginya sepenuh hati dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Sekarang ia tahu, dari mana Riti mendapatkan keahlian bela dirinya itu. Kemungkinan, tahnik dasar dan jurus yang dimilikinya tidak berbeda jauh dengan Tama. Di dalam kamar, Delizah menangis sendirian. Saat berinisiatif mengunjungi kamar Tina, disebabkan
“Ibu, kenapa kamu pergi secepat itu?” gumam Riti beberapa kali. Matanya sudah bengkak karena terlalu banyak menangis.Ia terus sesenggukan selama perjalanan mengantarkan jenazah ke kota asalnya. Walaupun, Tama sudah menenangkan berulang kali tapi Riti tetap saja menangis. Nela juga sama, ia bersedih justru karena melihat Riti yang tampak begitu kehilangan ibunya—sosok penyemangat jiwa. Ia ikut di mobil Tama, dan duduk di samping Jasin yang memegang kemudi. Mereka berada di belakang mobil khusus jenazah, yang terus-menerus membunyikan sirene, demi mempercepat perjalanan.Saat itu telepon genggam Riti tiba-tiba berdering, saat itu pula ia menghentikan tangis ya untuk menerima panggilan.Ternyata, Yuna yang menelepon. Sejak semalaman gadis itu tidak juga membalas pesan dari adiknya. Namun, saat ini ia langsung menghubungi padahal, hari sudah hampir sore.“Apa maksud kamu ibu sekarang masih kritis, apa yang kamu lakukan padanya? Apa kamu tidak mengurus Ibu dengan baik selama ini?” Y
Yuna ada di sana dan melihat semua adegan itu dengan perasaan yang tidak menentu. “Hei, memangnya iya, harus bersedih itu, hanya karena kehilangan ibu?” katanya, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Hilang sudah rasa sedih dan simpati Yuna pada Riti atas kematian ibunya. Setelah melihat kehangatan sikap Tama, yang ada di hatinya, hanyalah rasa iri dan benci, karena Riti mendapatkan keuntungan yang tidak ia miliki. Riti tidak menanggapi ucapan kakaknya itu, mereka memang sedarah tapi sekarang ikatan saudara itu benar-benar sudah terputus. Yuna sama sekali tidak peduli dan Riti kecewa karena hal ini. Apakah pantas seorang anak yang pernah di sayang dan di besarkan oleh seorang ibu, tapi begitu culas saat sang ibu pergi? Oh, dunia seperti tidak adil bagi orang seperti Riti yang diabaikan saudaranya sendiri. Riti hanya berlutut dan mengusap nisan ibunya dengan lembut. “Apa kamu masih mau di sini semua orang sudah pergi ...!” Tama berkata sambil mengikutinya duduk berlutut.
“Riti, ada hubungan apa kamu dengan laki-laki yang ada di sampingmu itu? Aku melihat kalian bersama di pemakaman!” begitu tulis Dion. “Riti, jawab aku! Kalau kamu tahu siapa sebenarnya laki-laki itu, maka kamu tidak akan mendekatinya sebab dia sangat berbahaya!” tulis Dion lagi. “Riti segera menjauh dari laki-laki itu! Atau kamu akan mendapatkan masalah dengan keluarga besar kita!” “Kalau kamu memilih tetap berada di sisinya, siapa pun dia bagimu, itu artinya kamu sudah memilih bermusuhan denganku!” Namun, karena semua pesannya tidak juga mendapat respons dari sepupunya, maka Dion memilih mengabaikannya. Lagi-lagi itu pergi ke sisi makan tina dan berjongkok di sana, sambil memegang nisannya. “Tante, apa Tante tahu sekarang Riti punya teman atau kekasih dari salah satu anggota keluarga Brawijaya? Sepertinya tidak, karena kalau tahu, mungkin anak Tante tidak sedang bersama dengan orang itu!” kata Dion sambil meletakkan rangkaian bunga. “Aku tahu, Riti sangat menurut dan sayang sam
“Ibumu memang sudah pergi, tapi jangan pernah berpikir sekali pun, untuk menyudahi pernikahan kita, oke? Ingat, kamu sudah menandatangani perjanjian denganku!” Tama berkata dengan lembut, setelah itu mencium kening Riti.Meskipun, ia ingin berbuat banyak pada tubuh gadis itu, tapi ia menahannya karena tidak mungkin melakukan kesenangan pada orang yang tengah berduka.Tama kembali bergulir ke samping Riti, sambil menghela nafas dalam-dalam.“Istirahatlah! Kamu pasti lelah!” katanya.“Kamu juga!” kata Riti sambil berbalik membelakangi Tama. Riti sadar tidak bisa menghindar darinya karena belum hamil. Lagi pula Tama memang suaminya yang sah dan juga menyayanginya. Kalau soal cinta, perasaan itu masih samar-samar di hatinya, terkadang hilang terkadang juga datang. Terkadang hanya sebatas kekaguman saja, bahkan, sering hadir rasa terpaksa.Tidak terasa air matanya kembali mengalir tanpa sepengetahuan Tama, membuat bantalnya basah. Ia merasa kehilangan pegangannya.Riti tidak bis
“Nona Riti, perempuan di foto itu mirip denganmu!” kata Sima.Riti menoleh dan tersenyum pada Sima yang berdiri di depannya, sambil menyodorkan camilan. Secangkir teh hangat juga ia hidangkan, di atas meja. Sima mencoba meningkatkan nafsu makan majikannya, yang menurun akhir-akhir ini. Sepertinya hari-hari berjalan begitu sendu bagi Riti.Sima mengetahui kabar kepergian Tina dari Tama dan ia diminta untuk menghibur istrinya. Memberi makanan yang membuatnya tetap sehat, meski, hanya makan sedikit saja.“Ayo! Makan camilan ini, kamu harus tetap sehat! Aku tahu kamu sedang sedih, tapi jangan menyiksa dirimu sendiri!” kata Sima sambil duduk di samping Riti.“Nona tahu, apa isyarat terbesar dari kehilangan orang yang kita cintai?”Riti menggelengkan kepalanya.“Kita harus hidup lebih baik dari sebelumnya ... kalau semua yang sudah pergi bisa bicara, maka mereka akan menceritakan apa yang terjadi setelah kematiannya ... mereka akan berpesan seperti itu, agar kelak kita tidak menyesa
“Apa aku salah menjadi orang seperti itu?” Tama dia meski dia tidak tahan, ia hanya melirik istrinya yang tertawa geli di sampingnya. Riti menahan tawanya saat melihat ibu dan anak yang beradu argumen karena berbeda pandangan. “Riti, bagaimana pendapatmu kalau suamimu kehilangan semua kekayaannya dan kamu terpaksa hidup di desa seperti yang kemarin-kemarin kamu lakukan?” tanya Deliza dengan tatapan serius kepada menantunya. Riti tahu bahwa Tama memang kehilangan kekayaannya selama mereka bersembunyi di desa. Namun, Iya juga tahu bahwa sekarang Tama kembali memiliki semua perusahaannya. “Apa Ibu kira hidup di desa itu susah? Itu tidak sulit, lebih sulit lagi saat aku harus hidup sendiri dan mengurus ibuku!” “Oh!” gumam Deliza, “Maafkan aku soal ibumu, Riti, Aku senang bertemu denganmu, dan aku lebih senang lagi setelah tahu bahwa kamu adalah, anak dari saudaraku!” “Aku mengerti! Tapi, Bu! hidup di desa itu sangat menyenangkan dan di sana semua orang hidup seperti
Tama kembali menemui Riti dan ibunya di rumah sakit yang menjadi rumah mereka. Sementara itu Jasin sudah kembali ke perusahaan dan menenangkan semua pemegang saham. Lalu, ia menyelesaikan masalah di sana satu persatu. Tentu saja ia bekerja sama dengan semua teman dan orang-orang kepercayaan Tama, hingga keadaan Grup Unitama dan perusahaan-perusahaan Pratama, kembali seperti semula. Hando sebentar lagi akan mendapatkan jadwal sidangnya, dan sudah dipastikan hukuman seumur hidup yang akan diterimanya. Kerusakan yang dilakukannya di berbagai tempat, juga memberatkan pasal-pasal yang dituduhkan padanya. Demikian juga Sony ia mendapatkan pengadilan juga, tapi ia tidak di hukum dengan hukuman seumur hidup. Ia mendapatkan hukuman 20 tahun penjara. Wisa sangat bersedih, karenanya, secara tidak sengaja wanita itu mengucapkan kekhawatirannya, “Sony, Bagaimana kalau kamu dihukum selama itu Bagaimana jika terjadi apa-apa denganku dan anakmu Listi?” katanya sambil menangis. Dari
“Kalau begitu, aku tarik kata-kataku kalau dia baik!” kata Riti dan Tama tertawa.“Tidak boleh bilang laki-laki lain itu baik, kecuali aku, oke?” kata Tama sambil mencium istrinya.Setelah itu Tama mengajak Dion pergi ke tempat yang pernah ia gunakan untuk menyekap Sony. Mereka pergi diiringi dengan beberapa pengawal Tama. Tentu saja Jasin ikut bersama dengan mereka. Sony terlihat kurus dan luka-lukanya belum sembuh sempurna, masih banyak bekas luka yang diakibatkan oleh pukulan dari Tama. Pria itu hanya diam dan pasrah akan dibawa ke mana pun juga.Tama langsung membawa Sony ke lokasi yang sudah dibagikan, oleh orang tak di kenal yang menghubunginya. Ternyata ia adalah seorang pria bertubuh kurus yang mengaku sebagai adik sepupu ibunya.Di tempat itu mereka merekam pengakuan Sony dan mengirimkannya pada Brawijaya. Tentu saja disertai ancaman.Mereka ingin agar Hando, anak bungsunya itu, mau mengaku dan mengembalikan semua aset milik Tama yang sudah diambilnya. Jika tidak, maka
Keesokan harinya, Tama memuaskan istrinya hingga seharian penuh, dengan berbelanja di kota. Ia membeli apa pun yang diinginkannya. Terakhir mereka menyewa sebuah salon dan memanjakan tubuh hanya berdua dengan pelayanan VIP yang pernah ada.Riti sangat bahagia dan bersyukur dengan kemanjaan yang diberikan Tama. Sungguh, menghabiskan sepanjang sore dengan dipijat, itu hal yang luar biasa. Apalagi ia melakukannya berdua dengan suami tercinta.Mereka selesai dipijat dan melakukan rangkaian pelayanan di salon sampai puas. Baik Tama dan Riti kini terlihat segar kembali, dan acara di akhiri dengan makan malam. Setelah itu, mereka memutuskan untuk menginap di hotel karena besok akan melanjutkan perjalanan menengok Delizah.Keesokan harinya, saat sepasang suami istri itu tiba di kamar Delisa, yang terdapat di sebuah rumah sakit swasta, mereka melihat wanita paruh baya itu, dalam keadaan baik-baik saja. Riti ingin menghabiskan beberapa hari bersama ibu mertuanya dan sang suami pun setuj
“Bukannya kamu mau berhenti peduli? Atau sebenarnya kamu ini terlalu cerdik, sengaja membuat syarat-syarat itu, karena kamu tahu Hando akan membuat kekacauan?” Jasin balik bertanya.“Jas, aku hanya penasaran! Awalnya aku hanya tidak mau keuntungan proyek kita berada di tangannya semuanya! Enak saja dia!”Jasin pergi dari rumah itu dan kembali ke kota seorang diri, demi memuaskan keinginan Tama untuk mencari informasi. Ia juga untuk sementara tidak mengaktifkan ponselnya. Oleh karena itu ia menemui beberapa orang secara langsung. Dari pertemuan dengan mereka, ia tahu bahwa ada beberapa investor yang ternyata akrab dengan anggota keluarga Prapanca. Mereka ini yang memiliki ide untuk menarik uangnya dan mereka tahu bersamaan dengan kejadian Hando yang pergi ke kantor pusat grup Pratama.Mengetahui hal itu, Jasin senagaja makan malam sambil mengikuti salah satu anggota keluarga Prapanca yang mengadakan pertemuan dengan para pemegang saham ini.Jasin mendengar sendiri strategi mereka
“Ibuku itu sama seperti aku! Jadi untuk apa aku berharap pada keluarga itu?”Tiba-tiba perang kesedihan di hati Tama, dirinya dan istrinya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama dikucilkan dari keluarganya.“Tapi, Tama! Apa kira-kira yang dilakukan oleh ibu dan Dion, saat kalian bertemu sebulan yang lalu?” Jasin berusaha menginformasikan dugaannya tentang, sikap Dion dan Delizah saat mereka bertemu dikuburan Tina.“Memangnya apa yang bisa dilakukan dua orang itu? Baru kemarin kamu bilang kalau Dion itu bekerja menjadi satpam!”“Ya, dia itu bukan satpam biasa, dia seorang informan juga!”“Kenapa baru bilang sekarang?”“Aku pikir itu tidak penting!” kata Jasin sambil mengingat kembali informasi tentang Dion. Tidak banyak yang ia dapatkan, selain informasi tentang tanggal lahir, orang tua, tempat tinggal dan pekerjaannya. Namun, setelah menyelidiki lebih lanjut, ternyata Dion orang yang hampir sama dengan dirinya. Dahulu, mereka juga pernah bekerja sama, tapi kemudian Dion membat
“Apa Ibu dan Ayah masih mengingatku?” tanya Deliza, dengan menahan air matanya sekuat tenaga.Ibunya menghambur dalam pelukannya, mana ada ibu yang rela melihat kondisi anaknya hingga terlihat lebih tua dari dirinya. Delizah tahu jika ilmunya sangat merasa bersalah karena penampilannya itu. “Ibu jangan kuatir aku baik-baik saja aku tidak selama yang ibu kira, selama ini aku sudah bertahan tanpa kalian jadi apa yang aku alami sekarang bukanlah apa-apa!” kata Delizah sambil menepuk bahu ibu yang sedang memeluknya. “Maafkan Ibu dan Ayahmu yang tak berguna ini, yang tidak mampu membela di hadapan kakakmu saat itu!”“Ibu tidak perlu meminta maaf padaku, aku tetap akan menjadi anak ibu untuk selamanya! Sekarang lihatlah, mungkin kita tidak akan lama lagi kembali bersatu seperti dulu, kita hanya perlu menyelesaikan masalah ini bukan?”Sang ibu mengangguk dan mengusap air matanya, setelah itu Deliza melambaikan tangan. Ia dan Dion terus berlalu, sambil mendorong kursi rodanya sampai ke
Tanpa sepengetahuan Tama dan Riti, dua orang itu pergi menuju ke rumah keluarga Prapanca.Saat Delizah dan Dion tiba di kediaman keluarga itu, mereka tidak mengalami hambatan yang berarti. Para pengawal yang ada di sana mempersilahkan mereka, karena Deliza dan Dion memakai tanda kebesaran keluarga itu di pakaiannya. Mereka memang orang-orang terbuang dan memilih untuk, keluar dari keanggotaan keluarga terpandang. Namun, bukan berarti kedua belah pihak saling melupakan. “Sudah aku duga, kalian akan datang ke sini juga pada akhirnya!” kata Prapanca, ia muncul setelah dua tahunnya menunggu satu jam lamanya. Namun, Deliza dan Dion merasa lega karena orang tua itu, akhirnya mau menemui mereka setelah sekian lama.“Kakek! Haruskah aku berlutut padamu, untuk meminta maaf atas kekeliruanku?” kata Deliza.“Ya! Memohonlah dan berlututlah!” kata Prapanca.Deliza berlagak begitu kesulitan turun dari kursi roda, hingga dua orang pengawalnya membantunya untuk, bisa berlutut dengan posisi
Setelah kedatangan Dion hari itu, Tama dan istrinya pergi ke kota di mana ibunya berada. Namun, setelah sampai di sana para penjaga mengatakan jika ibunya sedang berkunjung ke rumah keluarganya. Riti khawatir jika ibu mertuanya pergi ke keluarga besar Prapanca. Sehingga ia mencoba menghubungi Dion untuk menanyakan kebenarannya.“Halo! Dion, apa kamu tahu, ibu Deli pergi ke keluarga Prapanca?” “Aku tidak tahu, aku belum siap mengatakan semuanya pada Bibi Deliza!” Kata dion dari balik telepon.“Jadi kamu belum menemui Ibu Deliza?” “Riti, seharusnya kamu dan suamimu lah yang harus mengatakan secara langsung pada ibu mertuamu itu! Bilang padaku kalau kamu menemuinya aku akan datang juga!”Sementara Tama masih mencoba menghubungi ibunya tapi tidak bisa juga.Akhirnya Rity mengusulkan agar mereka pergi menengok makam ibunya. Kebetulan ia sudah lama tidak ke sana. Laki-laki itu pun setuju dan langsung mengadakan perjalanan ke pemakaman Ibu mertuanya. Tak lupa mereka membawa rangk