"Bentar Non, biar kulihat dulu," ucap sang driver turun dari mobil. Langsung membuka kup mobil untuk melihat permesinan. Tsabi ikut keluar setelah menunggu beberapa menit Pak Supir tak kunjung masuk. "Gimana Pak? Apanya yang rusak?" tanya Tsabi mendekat. Ikut melongok di mana Pak Supir tengah memeriksa satu persatu penyebab mobilnya berhenti. "Astaghfirullah ... bensinnya habis Non, maaf tadi sepertinya masih, tapi ini udah nggak sampai pom. Saya cari bantuan dulu Non.""Waduh, kok bisa sampai kehabisan gitu Pak, jangan lama-lama ya Pak, suami saya sebentar lagi pulang, takutnya marah kalau Mas Shaka sampai rumah lebih dulu sebelum saya sampai," kata Tsabi waswas. Pasalnya pria itu sedari tadi sudah mengabari dalam perjalanan pulang. Perempuan itu takut Shaka sampai lebih dulu. "Ini masih jauh dari pom, Non, bagaimana kalau Non Tsabi memesan taksi lebih dulu," usul Pak Supir takut juga tuannya marah. "Iya, mungkin itu lebih baik," jawab perempuan itu mengiyakan. Belum sempat wani
Tsabi menghela napas kasar, mau tidak mau dia menuruti keinginan suaminya. Melepas hijabnya sebelum masuk ke kamar mandi. "Kamu terlihat tidak senang, susah ya membagi senyum untuk yang halal," protes Shaka melihat istrinya berwajah masam. "Bukan begitu Mas, akan kusiapkan airnya," kata Tsabi beranjak. Shaka menyusul istrinya setelah menghabiskan separo kopinya di meja. Dia begitu bersemangat setelah penat kerja seharian. Pria itu melangkah masuk sembari melepas kencing kemejanya, tanpa kata langsung memeluk Tsabi yang tengah sibuk menyiapkan sabun dan juga sampo di dekat bak."Mas, airnya sudah siap, aku tidak harus ikut berendam kan?" kata Tsabi memejam saat suaminya mengusak lembut belakang lehernya. "Hmm ... tapi menurutku berendam berdua jauh lebih mengasyikkan. Aku ingin kamu juga masuk. Sepertinya kita perlu mencoba sensasi yang berbeda.""Tapi Mas," ujar wanita itu kebingungan. Shaka seperti tak peduli, memutar tubuh Tsabi lalu mengecup bibirnya yang sedari tadi berusaha
"Apa yang kamu pikirkan Tsa? Tidur, kenapa menatapku seperti itu?" tanya Shaka mendapati istrinya tak juga mengantuk. "Apa Mas akan pergi nanti setelah aku lelap?" balas Tsabi sungguh tak rela. Entahlah, malam ini dia tidak ingin ditinggal sama sekali. Shaka menatapnya dalam diam. Rasa hati memang terbesit untuk meninggalkannya, tetapi dia juga akan pulang lagi seperti biasa. Namun, nampaknya mata bening Tsabi masih cukup kuat berjaga. Membuat Shaka mau tidak mau mencoba lelap. Pria itu menemukan mimpinya lebih dulu."Mas, kamu beneran tidur?" tanya Tsabi mendekat. Tak ada sahutan membuat perempuan itu kembali mundur, menarik selimutnya lalu ikut terlelap menjemput pagi. Perempuan itu baru ingin terlelap saat terdengar vibrasi handphone yang menyeru. Tsabi kembali terjaga sembari meraih ponselnya. Ia bangkit terduduk. Itu HP Shaka, mungkin orang di sebrang sana tengah menunggunya, tapi siapa? Entahlah, karena Tsabi tak berani mengangkat telponnya. Takut dianggap melanggar privasi.
"Non Tsabi!" Jeritan itu sampai ke telinga Bik Lusi yang tengah sibuk di dapur. Dia setengah berlari menghampiri nyonya rumah. "Apa yang terjadi Non?" tanya Bik Lusi tergesa. "Astaghfirullahalazim ya Allah ... itu Bik, kotaknya," ucap Tsabi dengan tangan menahan perih. "Astaga! Tangan Non Tsabi berdarah," ucap Bik Lusi tertegun. Dia ikut melongok kotak paketan yang tadi diterima olehnya dari seorang kurir. "Allahu Akbar ... apa ini Non?" tanya Bik Lusi keheranan. Sebuah jerami kertas dengan tumpukan silet abstrak dan sebuah boneka bayi berdarah di bawahnya. Terlihat begitu menyeramkan. Tsabi yang membukanya kurang hati-hati sampai terluka. "Singkirin Bik, aku nggak mau lihat itu," kata wanita itu shock seketika. Entah siapa yang mengirimnya dan apa maksudnya. Yang jelas insiden tadi membuat Tsabi tak tenang. "Siap Non," jawab Bik Lusi membuangnya ke sampah. Dia menatap dengan curiga, sayangnya tadi tidak begitu jelas saat menerima sebab orang tersebut memakai penutup wajah, top
"Kita mau ke mana lagi Mas?" tanya Tsabi saat Shaka meminta untuk mengemas barang. "Pindah Tsabi, tempat ini sudah tidak aman," kata Shaka tentu saja demi kebaikan bersama."Pindah lagi?" Jujur Tsabi agak keberatan, dia mulai nyaman di sana walau sempat ada teror. Daripada di rumah besar yang banyak penjaganya. Seperti penjara baginya, tanpa Tsabi tahu, kalau semua itu Shaka lakukan demi untuk menjaga keamanan di rumahnya. "Tidak ada waktu untuk membantah, menurutlah ... aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang," ucap Shaka membuat Tsabi akhirnya terdiam menurut. Sangat terasa sedari awal hidup dengan Shaka banyak kejadian yang janggal. Walaupun Tsabi mencoba memahaminya, dia tetap gagal paham. "Bik Lusi bisa mengosongkan rumah ini besok. Tolong pindahkan semua barang-barang Tsabi dengan mobil yang besok akan menjemputnya. Kami akan meninggalkan tempat ini malam ini," ujar Shaka sebelum beranjak. "Saya duluan Bik, hagi-hati. Jangan lupa kunci pintunya.""Siap Non," jawab Bik
"Tsabi, apa yang kamu lakukan di situ? Bukankah seharusnya istirahat di kamar?" seru Shaka melihat istrinya terdiam. "Ya, aku baru saja mengambil minum," jawabnya sembari menatap perempuan di samping Shaka. Perempuan di sebelah Shaka hanya menatap dengan sinis tanpa menyapa. Membuat Tsabi bingung ingin bertanya. "Angel, kenapa menatap seperti itu? Beri salam yang sopan untuk kakak iparmu," tegur Shaka pada adik angkatnya. Angel selangkah lebih dekat, dia mengulurkan tangannya. "Angel, adik kesayangan Shaka," ucap perempuan itu dengan nada angkuh. "Tsabi," jawab wanita itu menerima uluran tangan Angel dengan sopan. "Aku ke kamar dulu Mas," pamit Tsabi karena bingung hendak menanyakan apalagi. Shaka mengangguk tanpa menjelaskan apa pun, sementara Angel berjalan di sampingnya seraya menggamit tangan Shaka dengan manja. Hal yang membuat pemandangan itu menggelikan. "Adik angkat, kok Shaka nggak pernah cerita? Apakah dia tinggal di sini juga," gumam Tsabi sembari melangkah ke kamar
Tsabi merampungkan makan malamnya dengan suasana kurang nyaman. Tentu saja itu karena Angel yang meninggalkan ruangan itu begitu saja. Bahkan seperti tidak menghargai keberadaan Tsabi sedikit pun. Membuat wanita itu jadi merasa tidak enak. "Habisin Tsabi, jangan melamun," tegur Shaka melihat istrinya seperti tak berselera. "Iya Mas," jawab wanita itu kembali menekuri isi piringnya dengan khusuk. "Mau ke mana? Biarkan tetap di meja saja. Tugasmu hanya melayaniku di sini, jadi tidak usah mengerjakan apa pun," kata Shaka memperingatkan. Tsabi hanya ingin mencuci tangannya dan sekalian membawa piring kotor bekas miliknya ke belakang sekalian. Dia terbiasa seperti itu, tetapi nampaknya kebiasaan itu harus dimusnahkan segera di tempat yang baru. Karena di rumah itu sudah ada pelayanan yang mengerjakan. "Kalau sudah tidak ada urusan, kamu kembali ke kamar. Saya di ruang kerja," ujar Shaka mengabari. "Ruang kerja sebelah mana Mas? Barang kali aku mau mengirim kopi untuk teman kerjamu?"
Shaka menatap lega setelah mendapatkan sentuhan manja dari istrinya pagi ini. Ternyata Tsabi yang polos itu, bisa sangat pandai membuatnya bahagia. Tentu saja membuatnya makin betah bersama. "Bagus sayang, aku menyukaimu yang seperti ini," ucap pria itu tersenyum puas. Shaka bisa beraktivitas pagi ini dengan daya full dan semangat empat lima setelah top up pagi ini. Bahkan tubuhnya merasakan begitu prima setelah hipotalamusnya berpikir keras. Sementara Tsabi, kadang merasa seperti wanita binal jika suaminya meminta lebih. Dia memang harus pandai menguasai situasi demi memuaskan hasrat suaminya. Asal masih dalam jalur halal, tentu tak bisa membuatnya menolak menolak saat kondisi apa pun. Wanita itu keluar setelah membereskan sisanya dan membersihkan diri. Memastikan suaminya pagi ini diurusi dengan benar. Walaupun kadang hatinya sedikit kesal. Shaka memang tipe cuek dan tidak romantis, jadi wanita itu yang kadang harus memulainya. Seperti halnya yang terjadi di pagi hari ini, tepat