"Sebaiknya kamu di rumah Angel, ini bukan acara umum," tolak Shaka tak bisa diganggu gugat. Pria itu paling tidak suka direcokin siapa pun. "Memangnya kenapa kalau aku ikut?" tanya gadis itu tak menyerah. Membuat Shaka sedikit kesal dibuatnya. Sementara Tsabi hanya diam, semua keputusan ada di tangan Shaka walaupun hatinya tidak nyaman. "Tidak ada urusan yang melibatkanmu, jadi jangan datang di mana kamu tidak dibutuhkan," jawab Shaka terang-terangan. Pria dominan itu memang tidak pandai berbasa-basi. "Lantas, apa orang yang hadir di sana akan melibatkan Tsabi?" tantang Angel kesal. Merasa Shaka hanya memperhatikan Tsabi saja. "Ya tentu saja," jawab Shaka yakin. Menjalin hubungan yang baik dengan pasangan akan menarik perhatian rekan bisnisnya sebagai power positif yang kadang akan merubah pola pikir mereka hingga menerima kontrak tanpa basa-basi. Jadi, membawa Tsabi tentu akan membuatnya hoki. Ini bukan hanya sekadar bisnis, tetapi trik di mana orang-orang akan melihat backgrou
Shaka membawa Tsabi keluar menuju mobilnya. Dia harus segera mengamankan istrinya yang tengah sange level akut. Pria itu langsung menyusul masuk dan melakukan mobilnya. "Tsabi, duduk yang tenang di kursimu, kamu mengganggu aku menyetir," omel Shaka pada istrinya yang sedikit rusuh. "Gerah Mas, kenapa kamu mengurungku di sini, nyalain pendingin mobilnya," ucap Tsabi tak karuan. Dia menarik hijabnya hinga terlepas. Sementara Shaka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia hampir tidak berkonsentrasi ketika mendapati tangan istrinya yang mulai nakal menyusuri tubuhnya. "Cepetan dong Mas," rengek Tsabi tak sabaran. Dia seperti cacing kepanasan yang butuh sentuhan hangat dari suaminya. Sebelumnya Tsabi selalu kalem dan malu-malu. Sekarang jangankan menunggu, nyaris tak ada sabar yang tersisa. Shaka sampai keringat dingin dibuatnya. "Sayang jangan begini, aku lagi nyetir." Shaka sampai menepikan mobilnya sebab istrinya meminta pangku. "Mas, jangan buat aku gini, cepetan dikit ke
Tubuh Tsabi terasa sakit semua. Bahkan hari ini Tsabi tidak keluar kamar sama sekali. Hanya makan beberapa suapan saja karena dipaksa Shaka, walaupun hasilnya Tsabi hampir mengeluarkan isi perutnya. "Aku nggak mau makan Mas, rasanya hambar," ujar perempuan itu merasa cita makanan itu sudah tidak begitu terasa. Bahkan Tsabi merasa mulutnya pahit kalau menyentuh makanan. Tsabi benar-benar sakit. "Kalau tidak ada yang masuk, dari mana kamu punya tenaga," bujuk Shaka lembut. Ada rasa iba, apalagi wajahnya menjadi murung seharian gegara semalam. Shaka tidak membahas lagi, takut istrinya tidak nyaman. Hanya saja ia masih kesal, siapa yang tega memberikan obat perangsang itu ke minuman Tsabi. Apa motifnya? "Jangan memaksa ku Mas, aku beneran ingin muntah." Tsabi membungkam mulutnya seraya beranjak dari ranjang. Perempuan itu merasa perutnya begitu bergejolak. Beruntung masih bisa tahan, hingga sesaat setelah ia berjalan tiba-tiba semuanya terasa gelap. Tsabi pingsan begitu saja. Membuat S
Tsabi melangkah dengan ragu, dia perlahan membuka pintu berwarna coklat itu dengan rasa penasaran yang menggebu. Walaupun dinilai telah lancang, tetapi ia tak bisa membendung lagi jiwa keponya yang akut. Perempuan itu membuka pelan, netra lentiknya terpana dengan apa yang dilihatnya di depan mata. Ia terdiam tanpa bisa berkata-kata. "Bos," panggil seseorang menginterupsi Shaka dengan wajah terkejut. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan siapa yang datang. "Kenapa Jon?" tanya Shaka di kursi singgasananya. Tengah memantau sederetan angka yang masuk dan siap diputar untuk di share ke sepenjuru global. "Nona Tsabi," kata pria itu sembari mematau satu server di depannya. "Hah, Tsabi?" jawab Shaka belum ngeh juga. Pria itu baru menoleh saat wajah Jon nampak pucat. "Tsabi? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Shaka mendekat. Dia terlihat salah tingkah mempersiapkan sejuta alasan di otaknya. "Jadi gini pekerjaan kamu kalau malam Mas. Kamu selama ini kasih nafkah aku dengan uang haram?" tan
"Jangan membuat pilihan yang aku sendiri bahkan tidak tahu harus memilih yang mana," jawab Shaka nampak bingung. "Kalau kamu tidak bisa memutuskan dalam waktu tiga hari ini, aku anggap kamu mengiyakan apa pun keputusanku. Selama tiga hari ini aku ingin kita tidur terpisah," kata Tsabi membuat keputusan. Dia memang tidak seharusnya bersikap kejam seperti itu dengan suaminya. Tetapi apa yang dihadapinya sekarang terlampaui serius. Bahkan menyangkut aqidah yang akan dipertanggungjawabkannya nanti di akhirat. Seumur hidup itu terlalu lama jika dihabiskan dengan orang yang tidak mau diajak dalam kebaikan. "Kamu tidak berhak mengambil keputusan itu sendiri. Bagaimanapun kamu istriku, dan kamu tidak boleh lalai dengan tanggung jawabmu.""Aku ingat kok Mas, jangan khawatir. Setiap pagi, aku akan tetap menyiapkan keperluanmu dan juga menyajikan minum serta makananmu. Pakaianmu, dan memastikan kamar ini selalu rapih dan bersih. Tapi aku tidak bisa memenuhimu satu hal," ucap Tsabi serius, dan
Pria itu baru bisa lelap setelah menemukan guling hidupnya, entahlah, kamar serasa begitu hampa tanpa istrinya. Shaka sengaja menghidupkan alarm di ponselnya. Dia harus bangun lebih pagi dari Tsabi. Keesokan paginya, benar saja pria itu terjaga lebih dulu. Sebenarnya mata itu masih mengantuk, tetapi demi ketentraman jiwanya melakukan kerepotan sendiri di pagi hari. Pria itu perlahan menggendong Tsabi, lalu mengembalikan ke kamar sebelah lagi. Dia masih bingung untuk menentukan hatinya. Dengan hati-hati Shaka menurunkan istrinya dari gendongan. Perlahan merapatkan selimutnya agar tidurnya kembali pulas. Pria itu tersenyum tenang kembali ke kamarnya. Dia tidak tidur lagi, entahlah hatinya tergerak untuk bersuci. Hal yang tidak pernah Shaka lakukan. Tiba-tiba seperti ada dorongan untuk melaksanakan sunah dua rakaat. Ada jiwa yang tenang di tengah rasa hambar. Ada hati yang damai di tengah banyaknya guncangan. Semua mengalir malam itu begitu saja. Selama ini memang Shaka mempunyai kekua
"Mas butuh minum obat," saran Tsabi setelah menelisik wajah Shaka yang nampak seperti sakit betulan. "Aku tidak butuh obat," jawab Shaka terdengar angkuh. "Oke, apa maumu, adakah yang bisa aku bantu?" tanya Tsabi bersabar. Suaminya masih mode menjengkelkan. Butuh diperhatikan tetapi masih bernada datar. "Aku tidak suka diperintah. Aku mau kamu melayaniku seperti biasanya tanpa batasan.""Yakin? Apa Mas sudah mengambil keputusan untuk hubungan kita?" tanya wanita itu tetap dengan pendiriannya. Memang terkesan memenuhi dosa karena menolak ajakan makruf suaminya. Namun, Tsabi tidak bisa melakukan itu dengan hati terpaksa. "Lupakan apa pun itu, biarlah itu menjadi urusanku. Aku yang menanggung semuanya di akhirat nanti. Tak perlu kamu khawatir, tunaikan saja tugasmu sebagai istri," kata Shaka menggebu. "Maaf Mas, aku tidak bisa. Aku minta maaf," ucap Tsabi dengan penuh rasa bersalah. Namun, itulah keputusan yang sudah Tsabi ambil. Rezeki bisa dicari, jodoh bisa diganti, dengan orang y
"Terima kasih Ummi," jawab Tsabi memang terasa lapar. Hanya saja, selera makannya menghilang. "Ajak sekalian suamimu makan, Nak!" titah Ummi, membuat anak pertama Pak Kiai akhirnya melesakan tangis yang sedari tadi tersumbat. "Tsabi pulang sendiri Mi," jawabnya dengan wajah mendung. DegSeketika Ummi Shali menangkap sesuatu yang tak baik di matanya. Ada apa dengan rumah tangga putrinya. "Kamu berantem, Nak?" tanya Ummi Shali lembut. Berusaha menggali informasi tanpa melukai perasaannya. Sejak melihat kepulangannya yang muncul tiba-tiba, sudah menyiratkan tanda tanya besar di hatinya. Shali terdiam, bingung mengiyakan, tetapi nyatanya ia tetap pergi dari rumah dengan amarah. Sesuatu yang sangat ia inginkan dulu, berpisah dengan Shaka, dan kali ini benar-benar menjadi nyata. "Yang sabar, tidak ada satu pun rumah tangga tanpa ujian. Tergantung dari bagaimana kedua belah pihak menyikapinya. Kenapa meninggalkan rumah suamimu? Apakah Shaka melakukan suatu yang dzolim?" tanya Ummi Shal
"Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Kamu juga capek kan Mas, kenapa mijitin?" tanya wanita itu sembari menyender di kepala ranjang. "Lelahku hilang saat melihat senyum kamu sayang," ujar Shaka jujur. Sedamai itu ketika menatap wajahnya yang teduh. Selalu menenangkan. "Bisa aja kamu Mas," jawab Tsabi tersenyum. Ditemani gini saja sudah mengembalikan moodnya. Apalagi dipijitin begini, sungguh Mas Shaka suami yang romantis dan pengertian. Perlahan netra itu mulai berat. Seiring sentuhan lembut yang mendamaikan. Tsabi terlelap begitu saja. Melihat itu, Shaka baru menyudahi pijitanya, dia membenahi posisi tidur istrinya agar lebih nyaman. Sebenarnya ada hasrat rindu yang menggebu, apalagi memang pria itu sudah beberapa hari tak berkunjung. Namun, nampaknya waktu dan keadaan kurang memberikan kesempatan. Tsabi juga terlihat lelah akibat aktivitas seharian di luar. Shaka akan menundanya besok sampai waktu memungkinkan. Agar keduanya sama-sama nyaman. Terutama Tsabi yang saat ini tengah hamil muda. Kadang moodian. Shaka h
"Nggak jadi aja ya, perasaan aku nggak enak," kata Shaka yang sebenarnya takut kalau nanti istrinya bakalan sakit hati lagi. "Kenapa, kalau dia nggak mau ketemu sama aku, mungkin mau dijengukin kamu. Kita bisa bawakan makanan kesukaan Angel dan mukena. Aku yakin dia mau berubah. Kita tidak boleh memusuhinya Mas.""Kenapa sih kamu jadi orang baik banget. Dia udah jahat banget loh sama kamu, sama keluarga kita. Wajar kan kalau pada akhirnya aku nggak respect.""Sangat wajar, itu namanya naluriah. Ketika seseorang disakiti terus membalas. Aku cuma mau kasih ini Mas, mana tahu dia bisa terketuk hatinya untuk melakukan kebaikan.""Oke, nanti aku antar," ucap Shaka pada akhirnya. Mereka benar-benar mengunjungi Angel yang saat ini dalam tahanan. Akibat perbuatannya, Angel harus menerima sanksi berat. Mendapatkan kurungan yang tak sebentar. Karena mencoba melakukan penganiayaan dan juga pembunuhan."Ngapain kalian ke sini? Puas lihat aku di sini seperti ini," sentak Angel menatap sinis pasu
Sepekan telah berlalu, tapi kesedihan nampaknya masih membekas di hati Shaka. Suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beruntung Tsabi adalah istri yang begitu perhatian dan pengertian. Wanita itu sangat sabar menemani suaminya yang dalam suasana duka.Hari ini pria itu sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Toko dan bengkelnya juga sudah mulai dibuka kembali. Setelah sepekan tutup total karena dalam suasana berkabung. Ibunya memang belum meninggalkan banyak kenangan manis dengannya. Namun, sebagai seorang anak pasti sangat kehilangan ditinggalkan orang yang telah melahirkannya untuk selamanya. "Mas, ini ganti kamu hari ini," ujar Tsabi menyiapkan pakaian ganti suaminya. Walaupun beraktivitas di samping rumahnya, tentu Tsabi tak pernah lupa mengurusi pakaian suaminya juga untuk kesehariannya. Santai, tapi bersih dan tertata. "Makasih sayang," jawab Shaka memakainya begitu saja di depan istrinya. Sudah tidak tabu lagi. Bahkan menjadi pemandangan men
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba
"Ide menarik, boleh dicoba kalau nanti gagal.""Maaf ya, belum bisa bahagiakan kamu," ucap Shaka tiba-tiba. Baru saja mau bangkit, sepertinya ada saja halangannya. "Aku nggak ngerasa gitu kok, maaf juga kalau masih banyak mengeluh selama jadi istri kamu." Tsabi mencoba menerima dan bersabar dengan ujian yang datang dari keluarga Shaka. Dia juga harus bisa menerima keluarganya juga bukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hampir satu purnama Angel menumpang di rumah mereka. Semua Tsabi lalui dengan tidak mudah. Karena wanita itu sering berulah dengan sengaja. Beruntung Shaka yang pengertian memperlakukan Tsabi dengan penuh perhatian. "Sayang, kamu pucet sakit?" tanya Shaka memperhatikan istrinya yang sepertinya kurang enak badan. "Agak pusing Mas, perlu minum obat kayaknya." Beruntung ini hari libur, jadi Tsabi tidak harus berangkat mengajar. "Ya sudah tiduran saja, mumpung libur juga. Tidak usah mengerjakan apa pun. Zayba hari ini full sama abi.""Makasih Mas," jawab
"Nggak bisa Mas, aku kan kemarin sudah izin. Kamu sarapan dulu ya, terus minum obat. Nanti biar Zayba sama Mbok Tini. Kemarin juga seharian sama Mbok Tini."Shaka yang tengah rebahan meraih pinggang istrinya agar duduk makin dekat. Pria itu memposisikan kepalanya tepat di pangkuan istrinya dengan manja. "Obatnya kamu," katanya sembari menenggelamkan wajahnya ke perut Tsabi. Tangan kanannya memeluk erat. Seolah tidak mengizinkan wanita itu untuk beranjak dari sisinya."Aku bikinin sarapan ya, terus minum obat.""Pingin sarapan kamu, yank, aku tidak semangat," kata pria itu mode rewel. Bisa begini juga ternyata cowok yang super dominan itum"Dih ... aku belum bersih lah. Tapi udah mau sembuh kok. Kamu kenapa jadi manja gini sih Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai.""Kangen, namanya juga kangen ya gini. Kamu cuek banget dari kemarin."Repot kalau suaminya mode rewel. Sakit sedikit manjanya ngalahin bayi. Tsabi tidak leluasa bergerak sama sekali. Tiba-tiba Zayba juga merengek. Tsab
"Kamu ngapain sih Mas ngikutin mulu, tidur sana!" omel Tsabi melihat suaminya mengekor dirinya. "Ya itu Zayba rewel, mana tahu kamu butuh bantuan.""Nggak, aku pikir kamu malah nggak ingat pulang," jawabnya ketus. Efek lelah dan juga tubuhnya sedikit tidak enak badan, membuat Tsabi sewot sendiri. "Kok ngomongnya gitu, aku pasti pulang lah. Ya walaupun akhirnya malam. Maaf, tadi ikut ngaji dulu.""Ya nggak pa-pa kan, aku juga nggak pernah ngelarang juga. Kamu mau ngapain aja terserah kamu. Lagian ada Khalif kok yang bisa bantuin ke mana-mana.""Memangnya tadi ke mana? Kamu nggak telpon kan?""Seharusnya kamu ingat memberi kabar. Bukannya nungguin aku hubungi kamu. Memangnya aku sempat apa telpan telpon terus Zayba sakit begini.""Zayba masih sakit?" Tsabi tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan merotasi matanya jengah. Bukankah pria itu tahu tadi pagi juga Tsabi sudah mengeluh kalau bayinya sakit. Apa seorang pria tidak sepeka itu. Perempuan itu kembali masuk ke kamar seraya me